Cari Berita

Perjalanan NAPZA dari Zaman ke Zaman hingga Lahirnya UU Narkotika Tahun 2009

article | History Law | 2025-04-17 11:05:35

Dandafellas, tahukah Kamu sejarah Narkotika? Sebagaimana dikutip oleh Dandapala dan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), narkotika adalah “zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi hingga menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam beberapa golongan.”Lalu, bagaimana perjalanan panjang zat yang dikenal dengan opium, dan belakangan lebih dikenal sebagai narkoba atau NAPZA, dari masa ke masa? Dikutip dari Dandapala (16/4/2025), dalam buku Menumpas Bandar Menyongsong Fajar: Sejarah Penanganan Narkotika di Indonesia (Prenada Media, Jakarta, Desember 2021) yang ditulis oleh tiga alumni Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia—Ardi Subandri, Suradi, dan Toto Widyarsono—dijelaskan bahwa sejarah dan perkembangan narkotika bermula sejak 2000 SM, masa kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, pasca-kemerdekaan, hingga masa kini.Periode 2000 SMPada sekitar tahun 2000 SM, dikenal sebuah tanaman bernama Papaver somniferum (candu), yang tumbuh di berbagai wilayah seperti Tiongkok, India, dan negara lainnya. Pada tahun 330 SM, Alexander the Great memperkenalkan candu di India dan Persia. Saat itu, masyarakat India dan Persia menggunakannya dalam jamuan makan dan saat bersantai (Dikutip dari Antonio Escohotado, General History of Drugs, Grafitti Militante, Santiago: 2010).Di wilayah Sumeria, ditemukan pula sari bunga opion, yang juga dikenal dengan nama opium. Tumbuhan ini tumbuh subur di dataran tinggi Sumeria, di atas ketinggian 500 meter dari permukaan laut, dan kemudian menyebar ke India, Tiongkok, serta wilayah Asia lainnya.Tahun 1806, Friedrich Wilhelm, seorang dokter dari Westphalia, berhasil memodifikasi candu dengan campuran amonia menjadi morfin, dinamai dari dewa mimpi Yunani, Morpheus. Morfin kemudian digunakan secara luas selama Perang Saudara di Amerika Serikat sebagai penghilang rasa sakit.Pada tahun 1874, Alder Wright, ahli kimia dari London, merebus morfin dengan asam anhidrat, dan hasilnya diuji coba pada anjing. Reaksinya menunjukkan gejala seperti tiarap, takut, mengantuk, dan muntah. Tahun 1898, perusahaan Bayer mulai memproduksi senyawa tersebut dengan nama heroin sebagai obat resmi penghilang nyeri. Kini, heroin tak lagi digunakan dalam pengobatan; hanya morfin yang masih digunakan.Kokain, zat narkotik lain, berasal dari tanaman coca yang tumbuh di Peru dan Bolivia.Setelah Perang Dunia II dan selama era Perang Dingin, ancaman narkotika mulai dilihat sebagai masalah global, bukan hanya persoalan kriminal atau medis, tetapi juga sebagai ancaman terhadap keamanan. Hal ini dibuktikan dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional Pertama tentang Narkotika di Shanghai tahun 1909, didorong oleh Presiden AS Theodore Roosevelt dan tokoh gereja Charles H. Brent, serta dihadiri oleh Inggris, Jepang, Tiongkok, dan Rusia.Periode Kolonial BelandaDi Indonesia, penggunaan opium mulai dikenal pada masa penjajahan Belanda. Penggunanya sebagian besar adalah etnis Tionghoa. Pemerintah Belanda melegalkan penggunaannya melalui Verdovende Middelen Ordonantie yang diberlakukan pada tahun 1927. Undang-undang ini mengatur penggunaan opium secara legal di tempat-tempat tertentu. Opium dikonsumsi dengan cara tradisional, diisap melalui pipa panjang.Periode Kolonial JepangSaat pendudukan Jepang, Verdovende Middelen Ordonantie dihapuskan. Pemerintah Jepang melarang penggunaan candu dan menutup kawasan gang Madat, tempat para pecandu biasa mengisap opium. Di sana terdapat kamar-kamar kecil tempat para pecandu berbaring sambil mengisap zat terlarang tersebut.Periode Pasca-KemerdekaanSetelah Indonesia merdeka, pemerintah mulai menyusun peraturan perundang-undangan terkait pelarangan narkotika. Kewenangan diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk mengatur produksi, distribusi, dan penggunaan zat berbahaya.Tahun 1970-an, penyalahgunaan narkoba meningkat, terutama di kalangan generasi muda, mengikuti tren yang awalnya muncul di Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia merespons dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Narkotika, yang mengatur penyelundupan gelap serta pelibatan dokter dan rumah sakit di bawah arahan Menteri Kesehatan. Namun, penyalahgunaan narkotika tetap sulit dikendalikan.Mengutip Dandapala (16/4/2025) dari Amin, W. (2012), dalam tesisnya di Universitas Pelita Harapan, Presiden RI kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971 yang membentuk BAKOLAK INPRES 6/71 (Badan Koordinasi Pelaksana Instruksi Presiden) untuk menangani segala bentuk ancaman terhadap keamanan negara, termasuk penyalahgunaan narkotika.Pemerintah kemudian menyusun Undang-Undang Antinarkotika Nomor 22 Tahun 1997 serta Undang-Undang Psikotropika Nomor 5 Tahun 1997, yang memberlakukan sanksi pidana hingga hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkotika.Lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009Karena semakin maraknya penyalahgunaan narkotika, pemerintah kemudian menyatukan regulasi yang sebelumnya terpisah antara psikotropika dan antinarkotika. Hal ini melahirkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam UU ini, penyalahgunaan narkotika dikenakan sanksi pidana berupa penjara, denda, bahkan hukuman mati.Melalui tulisan singkat ini, sejarah perjalanan narkotika dari masa ke masa mengingatkan kita akan bahaya laten yang telah menyertai umat manusia sejak ribuan tahun lalu. (EES, LDR, SNR)

Kritisi Fenomena Penegakan Hukum Narkotika, Hakim Sigit Tuangkan ke Buku

article | Berita | 2025-04-09 20:15:07

Kaur- Hakim yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bintuhan, Kaur, Bengkulu, Sigit Subagiyo meluncurkan buku karya tulis terbarunya. Buku tersebut disarikan dari pengalamannya sebagai hakim melihat fenomena penegakan hukum dalam tindak pidana narkotika yang telah keluar dari konsep pencapaian tujuan hukum.Buku yang berisi kumpulan teori, norma, dan pedoman penegakan hukum dalam tindak pidana narkotika tersebut bertajuk ‘TINDAK PIDANA NARKOTIKA-PEDOMAN PENEGAKAN HUKUM DALAM MENCAPAI TUJUAN HUKUM KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM DAN KEMANFAATAN’. Peluncuran buku tersebut dirangkaikan dengan Silaturahmi dalam rangka Hari Ulang Tahun IKATAN HAKIM INDONESIA (IKAHI) ke-72 yang digelar di Kantor Pengadilan Tinggi (PT) Bengkulu, pada Selasa (8/4) kemarin. Dalam kesempatan tersebut, turut hadir Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Prof Herlambang, Ketua PT Bengkulu Prof Lilik Mulyadi, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Bengkulu Dr Riky Musriza, Perwakilan BNNP Bengkulu Kombes Alexander S. Soeki, serta para hakim dan aparatur peradilan se-wilayah hukum PT Bengkulu.Dalam kesempatan tersebut, Sigit Subagiyo menjelaskan mengenai latar belakang munculnya ide penulisan buku tersebut. Menurutnya, buku tersebut disarikan dari pengalamannya sebagai Hakim selama kurang lebih 15 tahun dan melihat fenomena penegakan hukum dalam tindak pidana narkotika yang telah keluar dari konsep pencapaian tujuan hukum. “Hal ini yang kemudian menyebabkan tujuan undang-undang untuk memberantas tindak pidana Narkotika dan menjaga ketahanan negara (SDM dan Ekonomi) dari penyalahgunaan Narkotika menjadi tidak tercapai,” kata Sigit.Ia menambahkan bahwa dalam praktek penegakan hukum tindak pidana narkotika telah terjadi banyak permasalahan hukum yang harus diselesaikan di masa mendatang. “Sejumlah permasalahan hukum kerap terjadi. Misalnya, pengertian tindak pidana dalam UU tidak jelas, sering terjadi ketidakadilan dimana terhadap peristiwa hukum yang sama diterapkan ketentuan hukum pidana berbeda, ketentuan proses penegakan hukum tidak sinkron dengan tujuan UU, penjatuhan pidana tidak sesuai dan tidak mencapai tujuan hukum dengan adanya ketentuan batas minimal pidana dalam UU, serta berujung pada penegakan hukum tindak pidana narkotika selama ini tidak memberi hasil untuk memberantas peredaran gelap narkotika dan penyalahgunaan narkotika,” tutur Sigit.Buku setebal 378 halaman ini juga menyoroti beberapa hal yang menjadi kendala di lapangan. Misalnya saja tentang kewajiban tes urin serta tes assesmen yang tidak dituangkan dalam UU. Menurut Sigit, tidak adanya kewajiban tes urin dan tes assesmen bagi pelaku tindak pidana narkotika menjadikan tujuan hukum tidak tercapai. “Pemulihan SDM tidak tercapai. Tanpa assemen, tidak dapat diketahui apakah Tersangka/Terdakwa menggunakan Narkotika dan apakah mengalami ketergantungan narkotika. Akibatnya, penegak hukum tidak dapat memerintahkan Rehabilitasi,” lanjutnya.Prof Herlambang menyampaikan apresiasinya terhadap penulisan buku karya Sigit Subagiyo. Ia menyebutkan bahwa hakim sebagai praktisi hukum sangat dinantikan pikirannya dalam memperkaya khazanah dan keilmuan hukum di tanah air. “Buah karya Pak Sigit ini layak diapresiasi. Buku ini sangat bermanfaat dan penting bagi seluruh aparat penegak hukum (penyidik, jaksa dan hakim) agar ada keseragaman penerapan hukum UU Narkotika. Dan khusus bagi para Hakim, agar juga berani mengambil putusan dan melahirkan hukum baru melalui putusannya agar tercapainya keadilan dan tujuan hukum lain, meski harus dengan putusan berbeda,” tutur Prof Herlambang. Senada dengan Prof Herlambang, Ketua PT Bengkulu, Prof Lilik Mulyadi menyebutkan bahwa buku karya Sigit Subagiyo adalah bukti bahwa para hakim juga mampu melahirkan karya-karya yang tak lekang oleh zaman. “Apresiasi untuk Pak Sigit. Intinya, pembuktian harus lebih terang dari cahaya, sehingga putusan yang diambil berdasarkan kebenaran materiil,” tutur Prof Lilik. Sedangkan Dr Riky Musriza juga memberikan apresiasinya. “Kita mengapresiasi adanya buku ini. Sebagai salah satu aparat penegak hukum, kami juga menemukan permasalahan yang sama seperti yang dipaparkan oleh Pak Sigit di lapangan. Ke depannya, kita akan sedang melakukan perbaikan dalam sistem dan penerapan hukum UU Narkotika,” terang Dr Riky.Saat ditanya mengenai tujuan penulisan buku, Sigit berharap agar buku ini dapat menjadi salah satu referensi bagi seluruh Aparat Penegak Hukum dalam memaknai penegakan hukum dalam tindak pidana narkotika dan tentu saja agar dapat bermanfaat bagi kalangan akademisi, praktisi, dan masyarakat umum. “Semoga dengan hadirnya buku ini akan terjadi keseragaman pemahaman dan penerapan UU Tindak Pidana Narkotika diantara penegak hukum (penyidik, penuntut umum dan hakim), sehingga tercipta kepastian hukum dan keadilan. Dan yang paling penting, agar penegak hukum dalam menangani tindak pidana narkotika memperhatikan dan memastikan bahwa tujuan hukum dan hak-hak hukum pelaku tindak pidana maupun korban terpenuhi,” tutur Sigit saat berbincang dengan DANDAPALA.Profil Sigit SubagiyoSigit Subagiyo, lahir pada tanggal 7 Maret 1982, mengawali karier sebagai Hakim di PN Ranai sejak tahun 2010 dan dimutasi sebagai Hakim pada Pengadilan Negeri Tais di tahun 2014. Kemudian, 6 tahun berselang, tepatnya pada tahun 2020, Sigit dipromosikan sebagai Hakim pada PN Bantul. Kariernya sebagai hakim terus berkembang seiring dengan dilantiknya ia sebagai Wakil Ketua PN Bintuhan sejak tanggal 9 Agustus 2024 hingga sekarang. (AAR, CAS, YBB)