Cari Berita

Absurditas Hukum dalam Novel Letranger Karya Albert Camus

Fikran Warnangan (Hakim PN Bobong) - Dandapala Contributor 2025-04-17 08:20:33
Fikran Warnangan

Summum ius, summa iniuria adalah sebuah adagium klasik dalam tradisi ilmu hukum. Secara historis, adagium ini diajukan oleh Cicero untuk mengkritik penegakan hukum yang legalistik dan formalistis di era Romawi. Secara harfiah, summum ius, summa iniuria diartikan sebagai: keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi.

Apa maksud adagium itu? Secara ideal, setiap hakim dalam memutus perkara pasti yakin bahwa putusannya berdasarkan keadilan. Namun secara realistis, dari sudut pandang terdakwa, korban, atau publik, putusan tersebut dapat dianggap tidak adil. Artinya, hukum itu relatif. Relativitas hukum ini bahkan diamini oleh Prof. J.E. Sahetapy, yang pernah menyatakan: Law is the art of interpretation (hukum adalah seni menafsirkan). Bahkan dengan gaya satir, Beliau mengumpamakan hukum seperti kecantikan. Kecantikan tergantung mata yang memandang.

Potret keadilan yang bersifat relatif bahkan absurd digambarkan secara jelas, dramatis, dan tragis oleh Albert Camus dalam novelnya The Stranger (L’Étranger), yang terbit pada 1942 di Prancis. Terjemahan Indonesianya berjudul Orang Asing, diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Novel tersebut berkontribusi besar dalam membawa Camus meraih penghargaan Nobel Sastra pada 1957, dan mencatatkan namanya sebagai seorang filsuf absurditas, sejajar dengan Sartre dan Kafka.

Novel L’Étranger mengisahkan seorang tokoh bernama Meursault, yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan karena dinyatakan bersalah telah membunuh seorang pria Arab di pantai. Namun, jika kita membaca novel tersebut dengan pendekatan ilmu hukum pidana modern, kita akan menilai bahwa Meursault bukanlah pembunuh yang layak dijatuhi hukuman mati.

Mengapa? Karena hakim tidak menghukum Meursault berdasarkan alat bukti yang kuat atau saksi mata yang melihat langsung pembunuhan. Meursault justru dihukum karena hakim menilai moralnya tidak wajar. Ia dianggap “tidak berperasaan” karena tidak menangis atau menunjukkan kesedihan saat ibunya meninggal di panti jompo. Karena itu, ia dianggap tidak memiliki simpati. Dan karenanya, ia pasti tega membunuh pria Arab secara berencana. Sesederhana itu!

Padahal, Camus menggambarkannya Meursault sebagai seseorang yang tengah mengalami krisis eksistensial (keterasingan). Ia adalah pribadi yang mempertanyakan segala nilai hidup: mengapa manusia harus hidup? Apa makna hidup? Ia tidak bersedih bukan karena tidak mencintai ibunya, melainkan karena ia sendiri tidak lagi menemukan titik makna dalam hidup. Ia tidak bisa berpura-pura merasakan sesuatu yang tidak ia rasakan. Di tengah absurditas tersebut, ia justru diadili dan dihukum bukan semata karena perbuatannya, tetapi karena cara ia menjalani hidup yang tidak sesuai dengan ekspektasi sosial.

Camus melalui tokoh Meursault memperlihatkan betapa kehidupan yang absurd dapat berakhir tragis dalam sistem hukum yang rigid dan hitam-putih. Meursault dianggap melakukan pembunuhan berencana, padahal jika ditelaah dari narasi peristiwa, ia menembak karena dorongan spontan dan situasi yang membingungkan, bahkan disebutkan karena silau matahari—sebuah metafora dari absurditas itu sendiri.

Melalui novel L’Étranger, Camus menunjukkan bahwa dalam hidup manusia yang absurd, manusia harus berhadapan dengan hukum yang tak kalah absurd: bersifat rigid, objektif, dan mengabaikan keberadaan manusia sebagai makhluk yang mengalami kebimbangan, kesepian, dan keterasingan. Novel seperti L’Étranger adalah pelajaran fiksi hukum yang wajib direnungkan. Sebab tantangan hukum modern, seperti dikatakan Prof. Satjipto Rahardjo, adalah: hukum modern tidak menjamin bahwa yang benar akan menang dan yang salah akan kalah. (LDR)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum