Cari Berita

To Kill a Mockingbird: Keadilan yang Informal

article | Opini | 2025-04-24 10:00:57

PADA awal abad ke 20 di suatu daerah bernama Maycomb County yang terletak di selatan Amerika Serikat tersebar berita dugaan pemerkosaan dan pemukulan kepada seorang perempuan kulit putih bernama Mayella Ewell oleh seorang kulit hitam bernama Tom Robinson.  Di masa ketika sentimen antar ras terasa sangat kental, berita itu sontak membuat gempar masyarakat. Tom Robinson ditangkap dan dibawa ke persidangan untuk diadili.Di persidangan, setelah melalui serangkaian pemeriksaan oleh para penegak hukum, terkuaklah fakta bahwa semua tuduhan yang diarahkan kepada Tom tidak terbukti. Semua orang yang hadir dan menyaksikan persidangan itu tahu, Tom tidak bersalah. Meski demikian, para juri (semuanya kulit putih) tetap memutuskan bahwa Tom bersalah dan layak dihukum mati. Orang-orang dewasa yang menyaksikan hanya dapat terdiam, meski dalam hati mereka terasa ada kejanggalan, mereka tampak tidak terkejut. Di sisi lain, tiga anak kecil yang menyelinap menyaksikan peristiwa tersebut itu sepakat bahwa ada yang salah dengan apa yang baru saja terjadi. Seorang anak menangis, seorang lagi mengeram marah, dan satu orang lagi tidak mampu berkata-kata. Di daerah yang sama, selang beberapa waktu kemudian, ditemukan seorang kulit putih bernama Bob Ewell tewas bersimbah darah dengan pisau dapur menancap di salah satu bagian tubuhnya. Setelah dilakukan penyelidikan oleh penegak hukum, akhirnya kasus kematian itu ditutup dan dianggap hanya sebagai kasus kecelakaan yang mengakibatkan kematian diri sendiri sehingga tidak diperlukan proses hukum lebih lanjut.Dua kasus di atas adalah fiksi yang terdapat dalam sebuah novel berjudul To Kill a Mockingbird karya Harper Lee yang berhasil memenangkan penghargaan bergengsi Pulitzer. Novel yang berhasil memancing perdebatan di kalangan para lawyers selama bertahun-tahun sejak diterbitkan ini sukses mengajak para pembacanya untuk memikirkan ulang hukum dari berbagai dimensi. Dari hasil refleksi dan retrospeksi setelah membaca novel ini, ada hal tersirat dari novel ini yang penulis soroti dan kira cukup penting. Hal ini menyangkut tentang begitu pentingnya partisipasi aktif para penegak hukum dalam mendorong penyelesaian 'beberapa' masalah hukum di luar pengadilan.Bagi mereka yang telah membaca novel ini, tentu tahu bahwa Bob Ewell sebenarnya tewas ditikam 'seseorang'. Para pembaca juga pasti tahu, fakta bahwa sebelum tewas, Bob Ewell tertangkap basah oleh orang yang menikamnya, sedang melakukan kekerasan terhadap dua anak kecil pada di malam hari. Namun demikian, setiap orang yang telah membaca buku ini akan setuju pula bahwa langkah dari penegak hukum (setelah melakukan penyelidikan) untuk tidak melanjutkan kasus ini ke persidangan sudah tepat. Bahkan terasa sangat adil terlebih jika kasus kematian ini dibandingkan pada kasus yang dialami Tom Robinson yang berakhir dengan begitu obscure sekalipun kasusnya diselesaikan dalam forum resmi tempat keadilan bersemayam (pengadilan).Hal inilah yang barangkali dapat menjadi pengingat bagi kita semua. Bahwa keadilan tidak hanya berada di satu tempat. Keadilan ada di mana-mana. Dan dalam 'beberapa' masalah hukum, keadilan hadir dengan wujudnya yang lebih kasual. Di luar pengadilan. Keadilan yang informal.Referensi:Harper Lee, 2015, To Kill a Mockingbird, Penerbit Qanita.

Absurditas Hukum dalam Novel Letranger Karya Albert Camus

article | Opini | 2025-04-17 08:20:33

Summum ius, summa iniuria adalah sebuah adagium klasik dalam tradisi ilmu hukum. Secara historis, adagium ini diajukan oleh Cicero untuk mengkritik penegakan hukum yang legalistik dan formalistis di era Romawi. Secara harfiah, summum ius, summa iniuria diartikan sebagai: keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi.Apa maksud adagium itu? Secara ideal, setiap hakim dalam memutus perkara pasti yakin bahwa putusannya berdasarkan keadilan. Namun secara realistis, dari sudut pandang terdakwa, korban, atau publik, putusan tersebut dapat dianggap tidak adil. Artinya, hukum itu relatif. Relativitas hukum ini bahkan diamini oleh Prof. J.E. Sahetapy, yang pernah menyatakan: Law is the art of interpretation (hukum adalah seni menafsirkan). Bahkan dengan gaya satir, Beliau mengumpamakan hukum seperti kecantikan. Kecantikan tergantung mata yang memandang.Potret keadilan yang bersifat relatif bahkan absurd digambarkan secara jelas, dramatis, dan tragis oleh Albert Camus dalam novelnya The Stranger (L’Étranger), yang terbit pada 1942 di Prancis. Terjemahan Indonesianya berjudul Orang Asing, diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Novel tersebut berkontribusi besar dalam membawa Camus meraih penghargaan Nobel Sastra pada 1957, dan mencatatkan namanya sebagai seorang filsuf absurditas, sejajar dengan Sartre dan Kafka. Novel L’Étranger mengisahkan seorang tokoh bernama Meursault, yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan karena dinyatakan bersalah telah membunuh seorang pria Arab di pantai. Namun, jika kita membaca novel tersebut dengan pendekatan ilmu hukum pidana modern, kita akan menilai bahwa Meursault bukanlah pembunuh yang layak dijatuhi hukuman mati. Mengapa? Karena hakim tidak menghukum Meursault berdasarkan alat bukti yang kuat atau saksi mata yang melihat langsung pembunuhan. Meursault justru dihukum karena hakim menilai moralnya tidak wajar. Ia dianggap “tidak berperasaan” karena tidak menangis atau menunjukkan kesedihan saat ibunya meninggal di panti jompo. Karena itu, ia dianggap tidak memiliki simpati. Dan karenanya, ia pasti tega membunuh pria Arab secara berencana. Sesederhana itu!Padahal, Camus menggambarkannya Meursault sebagai seseorang yang tengah mengalami krisis eksistensial (keterasingan). Ia adalah pribadi yang mempertanyakan segala nilai hidup: mengapa manusia harus hidup? Apa makna hidup? Ia tidak bersedih bukan karena tidak mencintai ibunya, melainkan karena ia sendiri tidak lagi menemukan titik makna dalam hidup. Ia tidak bisa berpura-pura merasakan sesuatu yang tidak ia rasakan. Di tengah absurditas tersebut, ia justru diadili dan dihukum bukan semata karena perbuatannya, tetapi karena cara ia menjalani hidup yang tidak sesuai dengan ekspektasi sosial.Camus melalui tokoh Meursault memperlihatkan betapa kehidupan yang absurd dapat berakhir tragis dalam sistem hukum yang rigid dan hitam-putih. Meursault dianggap melakukan pembunuhan berencana, padahal jika ditelaah dari narasi peristiwa, ia menembak karena dorongan spontan dan situasi yang membingungkan, bahkan disebutkan karena silau matahari—sebuah metafora dari absurditas itu sendiri.Melalui novel L’Étranger, Camus menunjukkan bahwa dalam hidup manusia yang absurd, manusia harus berhadapan dengan hukum yang tak kalah absurd: bersifat rigid, objektif, dan mengabaikan keberadaan manusia sebagai makhluk yang mengalami kebimbangan, kesepian, dan keterasingan. Novel seperti L’Étranger adalah pelajaran fiksi hukum yang wajib direnungkan. Sebab tantangan hukum modern, seperti dikatakan Prof. Satjipto Rahardjo, adalah: hukum modern tidak menjamin bahwa yang benar akan menang dan yang salah akan kalah. (LDR)