Cari Berita

Ada Konflik Agraria Dengan Masyarakat Adat, MA Benarkan Putusan Onslag PT Medan

Aryatama Hibrawan - Dandapala Contributor 2025-10-13 19:15:41
dok. MA

Jakarta — Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan Kejaksaan Negeri (Kejari) Simalungun terhadap putusan Pengadilan Tinggi Medan, sehingga menilai telah tepat Putusan PT Medan yang memutus Terdakwa lepas dari segala tuntutan Penuntut Umum terkait penguasaan dan penanaman pada lahan dalam konsesi PT. TPL. 

Putusan kasasi tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 4398 K/Pid.Sus-LH/2025, yang diucapkan dalam sidang terbuka pada Jumat (13/06/25) dan telah diunggah pada Direktori Putusan MA, Senin (06/10/2025).

Dalam Perkara ini, Penuntut Umum Kejari Simalungun telah menghadapkan Terdakwa Inisial SS. Ia dituduh telah dengan sengaja mengerjakan, menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah atas kawasan hutan yang merupakan areal kerja konsesi PT TPL di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun.

Baca Juga: Putusan Pengadilan sebagai Wadah Rekognisi Hak Ulayat

Berdasarkan pertimbangan Majelis Kasasi, kasus bermula pada hari Rabu, tanggal 7 September 2022 sekitar pukul 10.00 WIB, terjadi pembakaran lahan di kawasan Huta Dolok Parmonangan Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun. 

Kemudian tim pemadam kebakaran dari PT TPL turun ke lokasi hendak melakukan pemadaman, namun tidak diberi akses untuk masuk oleh Komunitas Ompu Umbak Siallagan yang diketuai Terdakwa, yang melakukan perlawanan dan menghalang-halangi upaya pemadaman tersebut, sehingga tim pemadam kebakaran pulang, dan api perlahan-lahan padam dengan sendirinya.

Terdakwa bersama dengan Komunitas Ompu Umbak Siallagan menguasai lahan tersebut dengan cara membangun pondok sebanyak 5 (lima) unit dan melakukan penanaman palawija berupa ubi, jahe, cabe dan jagung serta tanaman lainya pada areal yang sebelumnya terbakar.

Pada tahun 2019 di lokasi lahan tersebut masih tumbuh Pohon eucalyptus milik PT TPL, dan setelah pihak dari PT TPL melakukan pemanenan dan pemotongan kayu, Terdakwa membersihkan sisa potongan kayu dan kemudian mendirikan pondok yang Terdakwa dibangun sendiri yang terbuat dari bambu yang Terdakwa gunakan sebagai tempat tinggal dan menanami lahan tersebut dengan tanaman kemiri, pokat dan kemenyan.

Pada sisi lain, Komunitas Ompu Umbak Siallagan yang diketuai Terdakwa manyatakan lahan atau lokasi tersebut merupakan tanah keturunan marga Siallagan yang diperoleh dari Opungnya yakni Opung Umbak Siallagan pada tahun 1700-an, dan Terdakwa mengklaim tanah adat milik nenek moyangnya tersebut dikuasai oleh PT TPL seluas kurang lebih 800 (delapan ratus) hektar.

Dalam tingkat pertama, Pengadilan Negeri (PN) Simalungun sempat memutus Terdakwa bersalah namun Pengadilan Tingkat Banding membatalkan putusan tersebut dan menilai perbuatan Terdakwa merupakan bersifat perdata. 

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim yang diketuai oleh Prim Haryadi dan beranggotakan Sugeng Sutrisno serta Sigid Triyono memberikan pertimbangan diperlukannya penyelesaian secara perdata terlebih dahulu untuk memastikan status kepemilikan tanah.

“Dalam situasi konflik agraria, terlebih dahulu harus dilakukan penyelesaian perdata untuk memastikan kepemilikan tanah dan hak-hak masyarakat adat” ucap Ketua Majelis.

Selain itu, Majelis Hakim juga memberikan pertimbangan mengenai status adat Komunitas Ompu Umbak Siallagan.

“Meskipun belum memperoleh sertifikat atau dokumen administrasi lainnya terkait keberadaannya namun berdasarkan fakta persidangan Komunitas Ompu Umbak Siallagan telah beritikad baik untuk memperoleh pengakuan dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan telah nyata menguasai hutan tersebut,” tambah Majelis Kasasi dalam pertimbangan.

Majelis Hakim tingkat kasasi ini menilai judex facti (pengadilan tingkat sebelumnya) telah mempertimbangkan fakta-fakta relevan secara yuridis dan tidak salah menerapkan hukum. 

MA juga mencatat bukti-bukti yang menunjukkan eksistensi fisik komunitas, termasuk pondok-pondok, areal tanam, dan pendaftaran ke BRWA sebagai indikasi itikad mencari pengakuan hak adat, sehingga hak-hak komunitas perlu dilindungi sampai proses pengakuan administratif atau perdata selesai. 

Baca Juga: Interpretasi Pengadilan Atas Hak Tradisional Masyarakat Adat Timor Tengah Selatan

Dengan pertimbangan tersebut, MA menyatakan putusan Pengadilan Tinggi Medan tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang dan menolak permintaan kasasi Penuntut Umum.

“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Simalungun tersebut” bunyi amar putusan. (zm/wi)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI