Cari Berita

Deponeering Pertama Pasca Indonesia Merdeka

Eliyas Eko Setyo - Dandapala Contributor 2025-07-30 16:00:02
Dok. Istimewa

Tahukah Sobat Dandafelas sejarah Deponeering pertama paskah Indonesia merdeka ? sebelum membahas Deponering baiknya kita mengenal dulu apa itu yang dimaksud dengan Deponeering, sebagaimana penulis kutip dari aturan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Kejaksaan RI,dijabarkan diaturan itu Deponeering merupakan bentuk pelaksanaan dari asas Oportunitas yang dipegang oleh Jaksa Agung terkait penyampingan perkara atau Deponeering yang dijelaskan oleh Darmono dalam bukunya mengartikan Deponeering dalam bahasa belanda bermakna menyampingkan perkara. 

Sebagaimana yang penulis kutip dalam makalah A. Karim Nasution, (Prakoso 1981:102) menjelaskan bahwa Kewenangan untuk tidak menuntut atas dasar pertimbangan kepentingan umum, disebabkan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kemaslahatan masyarakat. Bisa dikatakan tindakan Jaksa Agung tersebut sebenarnya merupakan tindakan diskresi di bidang penuntutan. 

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Lembaga Kejaksaan lewat Jaksa Agungnya merupakan institusi yang fungsinya berkaitan memberikan wewenang untuk melakukan penyampingan perkara dengan menganut Asas oportunitas. Sedangkan Asas oportunitas pada mulanya itu timbul dalam praktik yang berlakunya didasarkan pada hukum kebiasaan (hukum non kodifikasi), yang aturan itu dimasukkan ke dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 (Lembaran Negara RI Tahun 1961 No 254) tertanggal 30 Juni 1961, namun undang-undang ini tidak berlaku lagi setelah keluarnya Undang-Undang No 5 Tahun 1991 (Lembaran Negara RI Tahun 1991 No 59) tertanggal 22 Juli 1991, dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 32 sub c. 

Baca Juga: MA Susun Regulasi Penyelesaian Sengketa Likuidasi Perbankan dan Asuransi

Beberapa tahun kemudian, undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No 67) tertanggal 26 Juli 2004 diterbitkan, berdasarkan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak lain sebagai perwujudan dari asas oportunitas yang isinya mengatur bahwa Jaksa Agung mengesampingkan perkara (Deponering) demi kepentingan umum sebagai hak prerogatif Jaksa Agung.

Pada zaman orde lama pada tahun 1953 Jaksa Agung Republik Indonesia, saat dijabat oleh R. Soeprapto pernah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dalam perkara atas nama tersangka Asa Bafagih. Perkara tersebut terjadi pada tanggal 18 Maret 1953 sewaktu Surat Kabar Pemandangan tempat Asa Bafagih,telah memberitakan rencana penanaman modal asing baru di 21 (dua puluh satu) macam industri. Berita tersebut dianggap oleh Perdana Menteri Wilopo sebagai pembocoran rahasia negara. 

Dalam catatan sejarah Perdana Menteri Wilopo saat itu menghubungi Jaksa Agung melalui surat dan meminta agar Kejaksaan Agung mengusut bocornya suatu rahasia negara, untuk selanjutnya mengambil tindakan terhadap Asa Bafagih yang ternyata bersalah dalam perkara tersebut.Selanjutnya pada tanggal 9 April 1953 Asa Bafagih diperiksa, namun dalam pemeriksaan tersebut Asa Bafagih menolak untuk memberitahukan sumber beritanya dengan alasan kode etik jurnalistik. Hingga kemudian Asa Bafagih kala itu didakwa melanggar Pasal 224 KUHP yang isinya tidak mau memberikan keterangan sebagai saksi.

Hal tersebut mendapatkan reaksi keras dari kalangan pers, baik berupa pemberitaan di media cetak atau media elektronik yakni radio, para wartawan juga membuat nota kepada pemerintah dan melakukan aksi demonstrasi menuntut agar penuntutan terhadap Asa Bafagih dibatalkan.Parlemen Indonesia pada saat itu yang mendukung Asa Bafagih, menyatakan bahwa pemberitaan tersebut bukanlah rahasia negara dan melindungi sumber berita merupakan bagian dari hak kemerdekaan pers.    

Kemudian Jaksa Agung mengingatkan bahwa kasus tersebut harus dianggap satu keputusan insidental, dan tidak akan melepaskan berbagai pendirian tentang hak ingkar wartawan yang pada saat itu masih menjadi pembicaraan dalam Panitia Undang-undang Pers. Kemudian pada akhirnya penyampingan perkara demi kepentingan umum pada perkara atas nama Asa Bafagih dilaksanakan oleh Jaksa Agung pada tanggal 1 September 1953.  

Saat itu Jaksa Agung juga mempertimbangkan Petunjuk Presiden dalam mengesampingkan perkara. Aturan ini dijadikan salah satu pertimbangan dalam penyampingan perkara tersebut, karena pada saat itu KUHAP belum ada jadi Petunjuk Presiden itu dijadikan dasar hukum acara penyampingan perkara demi kepentingan umum.        

Kini dalam KUHAP telah diatur tentang deponeering dalam Pasal 14 huruf h menyebutkan: “Menutup perkara demi kepentingan hukum”. Pasal 14 huruf h KUHAP menentukan bahwa salah satu wewenang penuntut umum adalah perbuatan untuk menutup perkara demi kepentingan hukum diperkuat dengan Putusan MK Nomor 29/PUU-XIV/2016 yang menyatakan mengesampingkan perkara merupakan pelaksanaan dari asas Opurtunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Hal ini dilaksanakan guna sebagai sarana agar tidak semua perkara berakhir di Pengadilan selain itu bermanfaaat bagi penghematan anggran negara.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menerapkan deponeering. 

Pertama, apakah tersangka akan memperbaiki perilakunya.

Kedua, apakah norma-norma hukum yang mendasari suatu tuntutan tindak pidana itu akan lebih sering dilanggar kalau tuntutan disisihkan.

Ketiga, apakah akan timbul keresahan masyarakat kalau tindak pidana tidak dituntut. 

Dikutip penulis dari tulisan Ferdy Saputra, Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan dengan Asas Oportunitas dan Undang Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Vol. II-No.1 Arin Karniasari, 2012, “Tinjauan Teoritis, Historis, Yuridis Dan Praktis Terhadap Wewenang Jaksa Agung Dalam Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum”,Vol. 3. Paskah reformasi Jaksa Agung HM Prasetyo juga pernah memutuskan untuk mengesampingkan (deponering) dalam dua perkara yang melibatkan mantan ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Jaksa Agung pada waktu itu menggunakan hak prerogatif yang diberikan oleh pasal 35 huruf C Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, untuk mengambil keputusan. Dan keputusan yang diambil Jaksa Agung adalah mengesampingkan (deponeering) perkara atas nama saudara Abraham Samad dan saudara Bambang Wijoyanto adalah demi kepentingan umum.(fac)

Referensi :

Baca Juga: Arsip Pengadilan Den Haag 1928: Gemuruh Pledoi Bung Hatta Indonesie Vrij

Djoko Prakoso. 1985. Eksisitensi Jaksa Ditengah-tengah Masyarakat, Jakarta; Ghalia Indonesia. 

Hernold Ferry Makawimbang, 2014, kerugian keuangan Negara, yogyakarta: Penerbit Thafa Media.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI