Naskah ini
menganalisis relevansi Bab I The Concept of Law karya H.L.A. Hart
tentang Perplexities of Legal Theory terhadap eksistensi dan praktik
Pengadilan Pajak di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2002.
Analisis
difokuskan pada tiga isu abadi: hubungan hukum dengan ancaman, skeptisisme
aturan dalam putusan hakim, dan definisi hukum. Melalui analogi "Pencatat
Skor" dan "Penodong Senjata", naskah ini mengurai posisi
Pengadilan Pajak sebagai institusi yang mentransformasi perintah koersif
menjadi kewajiban hukum yang terlegitimasi.
Pendahuluan:
Anomali Dalam Definisi Hukum
Baca Juga: Memahami Sengketa Pajak: Ketika Kepentingan Negara Bertemu Hak Wajib Pajak
Dalam
kajian yurisprudensi, H.L.A. Hart menyoroti sebuah anomali mendasar: tidak
seperti ilmu kimia atau kedokteran di mana praktisinya jarang berdebat tentang
definisi bidang mereka, pertanyaan "Apa itu hukum?" terus menghantui
para ahli dengan jawaban yang paradoks.
Pernyataan
seperti "hukum hanyalah apa yang dilakukan pengadilan" atau
"hukum adalah prediksi atas sanksi" sering muncul, yang sekilas
tampak bertentangan dengan fakta bahwa masyarakat umum mengetahui hukum itu ada
dalam bentuk undang-undang, bukan sekadar prediksi.
Konteks
ini sangat relevan dengan Pengadilan Pajak di Indonesia. Berdasarkan UU No. 14
Tahun 2002, Pengadilan Pajak dibentuk untuk menjamin keadilan dan kepastian
hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
Namun,
dalam praktiknya, sering timbul kebingungan teoretis: Apakah ketetapan pajak
hanyalah ancaman negara? Apakah hukum pajak baru dianggap "hukum"
setelah Hakim Pengadilan Pajak mengetuk palu? Naskah ini akan membedah
kebingungan tersebut menggunakan kerangka Hart.
Hukum
Pajak: Antara "Gunman Situation"
dan Kewajiban
Hart
mengidentifikasi isu pertama yang membingungkan: hubungan antara hukum dan
ancaman. Teori imperatif (seperti Austin) melihat hukum sebagai perintah yang
didukung ancaman. Hart menggunakan analogi Situasi Penodong Senjata (The
Gunman Situation): Seorang penodong berkata kepada korbannya,
"Serahkan uangmu atau saya tembak". Dalam situasi ini, korban terpaksa
(obliged) menyerahkan uangnya, tetapi ia tidak memiliki kewajiban
(obligation) untuk melakukannya.
Dalam
konteks perpajakan Indonesia, surat ketetapan pajak sering kali dipandang oleh
Wajib Pajak sebagai situasi gunman writ large (penodong dalam skala
besar)—perintah negara yang didukung ancaman penyitaan atau denda. Namun, jika
Pengadilan Pajak hanya dianggap sebagai perpanjangan tangan dari ancaman ini,
kita kehilangan esensi hukumnya.
UU No. 14
Tahun 2002 menegaskan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak yang mencari keadilan.
Keberadaan pengadilan ini mengubah sifat "paksaan" menjadi
"kewajiban". Hakim memutus sengketa berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan keyakinan. Ini menunjukkan bahwa pajak bukan sekadar
upeti yang dipaksakan oleh "penodong" yang kuat, melainkan kewajiban
yang lahir dari aturan yang valid.
Jika hukum
pajak hanya soal ancaman, maka ketika ancaman itu hilang (misalnya karena luput
dari pemeriksaan), kewajiban itu hilang. Namun, dalam sistem hukum, kewajiban
pajak tetap ada karena adanya standar normatif, bukan sekadar ketakutan
psikologis.
Skeptisisme
Aturan dan Posisi Hakim Pajak
Isu kedua
yang diangkat Hart adalah skeptisisme terhadap aturan. Kaum Realis Hukum sering
menyatakan bahwa "hukum adalah apa yang diputuskan oleh pengadilan".
Dalam pandangan ini, undang-undang perpajakan hanyalah sumber hukum, bukan
hukum itu sendiri sampai diterapkan oleh hakim.
Ini memicu
pertanyaan di Pengadilan Pajak: Mengingat putusan Pengadilan Pajak merupakan
putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 77 UU 14/2002), apakah
ini berarti hukum pajak sebenarnya tidak pasti sampai hakim memutuskannya?
Analogi
Pencatat Skor (The Scorer Analogy): Hart menyangkal skeptisisme ekstrem
ini dengan analogi permainan olahraga. Bayangkan sebuah permainan di mana
keputusan wasit atau pencatat skor (scorer) bersifat final. Seorang
skeptis akan berkata, "Skor adalah apa yang dikatakan pencatat skor".
Namun, Hart membantah: jika pencatat skor bisa menuliskan skor semau dia tanpa
merujuk pada aturan permainan, maka permainan itu bukan lagi sepak bola atau
kriket, melainkan permainan "diskresi pencatat skor".
Hal yang
sama berlaku bagi Hakim Pengadilan Pajak. Meskipun putusan mereka final (Pasal
77) dan mereka memiliki wewenang untuk menilai pembuktian (Pasal 76, 78),
mereka tidak bebas menciptakan hukum sesuka hati. Mereka terikat oleh aturan
main (UU Perpajakan).
Fakta
bahwa hakim bisa salah atau memiliki diskresi dalam menafsirkan open texture
(tekstur terbuka) dari aturan, tidak berarti aturan itu tidak ada sebelum
putusan dibuat. Hakim tidak memprediksi putusan mereka sendiri; mereka
menggunakan aturan sebagai alasan pembenar untuk menghukum atau membatalkan
ketetapan pajak.
Definisi
dan Penyatuan Aturan
Kebingungan
terakhir menyangkut definisi. Hart menolak definisi tradisional yang kaku dan
menawarkan konsep hukum sebagai penyatuan aturan primer (kewajiban) dan aturan
sekunder (pengakuan, perubahan, dan ajudikasi).
Pengadilan
Pajak adalah manifestasi dari Rules of Adjudication (Aturan Ajudikasi).
Tanpa aturan sekunder ini, sengketa pajak hanya akan menjadi benturan kekuatan
antara fiskus dan wajib pajak (inefisiensi tekanan sosial difus). UU No. 14
Tahun 2002 memberikan wewenang otoritatif kepada hakim untuk menentukan apakah
aturan primer (kewajiban membayar pajak) telah dilanggar.
Lebih
jauh, "Aturan Pengakuan" (Rule of Recognition) dalam sistem
pajak Indonesia terlihat dalam praktik pengadilan yang mengakui hierarki
peraturan—dari Undang-Undang hingga peraturan pelaksana—sebagai kriteria
validitas hukum. Ketika Hakim Pajak memutuskan sengketa, mereka tidak sedang
melakukan prediksi, melainkan menerapkan aturan sekunder untuk memvalidasi
penerapan aturan primer.
Kesimpulan
Baca Juga: Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Kesembilan
Melalui
lensa Hart, kita dapat memahami bahwa "kebingungan" dalam memahami
Pengadilan Pajak—apakah ia alat pemaksa atau penegak keadilan, apakah ia
pembuat hukum atau pelaksana hukum—dapat diurai dengan membedakan antara:
- Dipaksa (Obliged) vs. Berkewajiban (Obligation):
Pajak bukan sekadar ancaman gunman, tetapi kewajiban yang lahir
dari aturan yang diakui.
- Finalitas vs. Infalibilitas: Seperti scorer,
putusan Hakim Pajak bersifat final, tetapi itu tidak berarti mereka
bekerja tanpa aturan yang mengikat sebelumnya.
UU No. 14
Tahun 2002 menyediakan kerangka institusional (aturan sekunder) yang mengangkat
sengketa pajak dari sekadar benturan kekuasaan menjadi proses hukum yang
terukur, di mana aturan berfungsi sebagai standar kritik dan pembenaran, bukan
sekadar prediksi sanksi. (ldr)
Daftar
Pustaka:
- Hart, H.L.A. (2012). The Concept of Law
(3rd ed.). Oxford University Press.
Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI