Cari Berita

Meninjau Peradilan Pajak Indonesia Melalui Lensa "Kebingungan Teori Hukum" H.L.A. Hart

Ari Julianto-Hakim Pengadilan Pajak - Dandapala Contributor 2025-12-15 15:05:03
Dok. Ist.

Naskah ini menganalisis relevansi Bab I The Concept of Law karya H.L.A. Hart tentang Perplexities of Legal Theory terhadap eksistensi dan praktik Pengadilan Pajak di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2002.

Analisis difokuskan pada tiga isu abadi: hubungan hukum dengan ancaman, skeptisisme aturan dalam putusan hakim, dan definisi hukum. Melalui analogi "Pencatat Skor" dan "Penodong Senjata", naskah ini mengurai posisi Pengadilan Pajak sebagai institusi yang mentransformasi perintah koersif menjadi kewajiban hukum yang terlegitimasi.

Pendahuluan: Anomali Dalam Definisi Hukum

Baca Juga: Memahami Sengketa Pajak: Ketika Kepentingan Negara Bertemu Hak Wajib Pajak

Dalam kajian yurisprudensi, H.L.A. Hart menyoroti sebuah anomali mendasar: tidak seperti ilmu kimia atau kedokteran di mana praktisinya jarang berdebat tentang definisi bidang mereka, pertanyaan "Apa itu hukum?" terus menghantui para ahli dengan jawaban yang paradoks.

Pernyataan seperti "hukum hanyalah apa yang dilakukan pengadilan" atau "hukum adalah prediksi atas sanksi" sering muncul, yang sekilas tampak bertentangan dengan fakta bahwa masyarakat umum mengetahui hukum itu ada dalam bentuk undang-undang, bukan sekadar prediksi.

Konteks ini sangat relevan dengan Pengadilan Pajak di Indonesia. Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002, Pengadilan Pajak dibentuk untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.

Namun, dalam praktiknya, sering timbul kebingungan teoretis: Apakah ketetapan pajak hanyalah ancaman negara? Apakah hukum pajak baru dianggap "hukum" setelah Hakim Pengadilan Pajak mengetuk palu? Naskah ini akan membedah kebingungan tersebut menggunakan kerangka Hart.

Hukum Pajak: Antara "Gunman Situation" dan Kewajiban

Hart mengidentifikasi isu pertama yang membingungkan: hubungan antara hukum dan ancaman. Teori imperatif (seperti Austin) melihat hukum sebagai perintah yang didukung ancaman. Hart menggunakan analogi Situasi Penodong Senjata (The Gunman Situation): Seorang penodong berkata kepada korbannya, "Serahkan uangmu atau saya tembak". Dalam situasi ini, korban terpaksa (obliged) menyerahkan uangnya, tetapi ia tidak memiliki kewajiban (obligation) untuk melakukannya.

Dalam konteks perpajakan Indonesia, surat ketetapan pajak sering kali dipandang oleh Wajib Pajak sebagai situasi gunman writ large (penodong dalam skala besar)—perintah negara yang didukung ancaman penyitaan atau denda. Namun, jika Pengadilan Pajak hanya dianggap sebagai perpanjangan tangan dari ancaman ini, kita kehilangan esensi hukumnya.

UU No. 14 Tahun 2002 menegaskan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak yang mencari keadilan. Keberadaan pengadilan ini mengubah sifat "paksaan" menjadi "kewajiban". Hakim memutus sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan dan keyakinan. Ini menunjukkan bahwa pajak bukan sekadar upeti yang dipaksakan oleh "penodong" yang kuat, melainkan kewajiban yang lahir dari aturan yang valid.

Jika hukum pajak hanya soal ancaman, maka ketika ancaman itu hilang (misalnya karena luput dari pemeriksaan), kewajiban itu hilang. Namun, dalam sistem hukum, kewajiban pajak tetap ada karena adanya standar normatif, bukan sekadar ketakutan psikologis.

Skeptisisme Aturan dan Posisi Hakim Pajak

Isu kedua yang diangkat Hart adalah skeptisisme terhadap aturan. Kaum Realis Hukum sering menyatakan bahwa "hukum adalah apa yang diputuskan oleh pengadilan". Dalam pandangan ini, undang-undang perpajakan hanyalah sumber hukum, bukan hukum itu sendiri sampai diterapkan oleh hakim.

Ini memicu pertanyaan di Pengadilan Pajak: Mengingat putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 77 UU 14/2002), apakah ini berarti hukum pajak sebenarnya tidak pasti sampai hakim memutuskannya?

Analogi Pencatat Skor (The Scorer Analogy): Hart menyangkal skeptisisme ekstrem ini dengan analogi permainan olahraga. Bayangkan sebuah permainan di mana keputusan wasit atau pencatat skor (scorer) bersifat final. Seorang skeptis akan berkata, "Skor adalah apa yang dikatakan pencatat skor". Namun, Hart membantah: jika pencatat skor bisa menuliskan skor semau dia tanpa merujuk pada aturan permainan, maka permainan itu bukan lagi sepak bola atau kriket, melainkan permainan "diskresi pencatat skor".

Hal yang sama berlaku bagi Hakim Pengadilan Pajak. Meskipun putusan mereka final (Pasal 77) dan mereka memiliki wewenang untuk menilai pembuktian (Pasal 76, 78), mereka tidak bebas menciptakan hukum sesuka hati. Mereka terikat oleh aturan main (UU Perpajakan).

Fakta bahwa hakim bisa salah atau memiliki diskresi dalam menafsirkan open texture (tekstur terbuka) dari aturan, tidak berarti aturan itu tidak ada sebelum putusan dibuat. Hakim tidak memprediksi putusan mereka sendiri; mereka menggunakan aturan sebagai alasan pembenar untuk menghukum atau membatalkan ketetapan pajak.

Definisi dan Penyatuan Aturan

Kebingungan terakhir menyangkut definisi. Hart menolak definisi tradisional yang kaku dan menawarkan konsep hukum sebagai penyatuan aturan primer (kewajiban) dan aturan sekunder (pengakuan, perubahan, dan ajudikasi).

Pengadilan Pajak adalah manifestasi dari Rules of Adjudication (Aturan Ajudikasi). Tanpa aturan sekunder ini, sengketa pajak hanya akan menjadi benturan kekuatan antara fiskus dan wajib pajak (inefisiensi tekanan sosial difus). UU No. 14 Tahun 2002 memberikan wewenang otoritatif kepada hakim untuk menentukan apakah aturan primer (kewajiban membayar pajak) telah dilanggar.

Lebih jauh, "Aturan Pengakuan" (Rule of Recognition) dalam sistem pajak Indonesia terlihat dalam praktik pengadilan yang mengakui hierarki peraturan—dari Undang-Undang hingga peraturan pelaksana—sebagai kriteria validitas hukum. Ketika Hakim Pajak memutuskan sengketa, mereka tidak sedang melakukan prediksi, melainkan menerapkan aturan sekunder untuk memvalidasi penerapan aturan primer.

Kesimpulan

Baca Juga: Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Kesembilan

Melalui lensa Hart, kita dapat memahami bahwa "kebingungan" dalam memahami Pengadilan Pajak—apakah ia alat pemaksa atau penegak keadilan, apakah ia pembuat hukum atau pelaksana hukum—dapat diurai dengan membedakan antara:

  1. Dipaksa (Obliged) vs. Berkewajiban (Obligation): Pajak bukan sekadar ancaman gunman, tetapi kewajiban yang lahir dari aturan yang diakui.
  2. Finalitas vs. Infalibilitas: Seperti scorer, putusan Hakim Pajak bersifat final, tetapi itu tidak berarti mereka bekerja tanpa aturan yang mengikat sebelumnya.

UU No. 14 Tahun 2002 menyediakan kerangka institusional (aturan sekunder) yang mengangkat sengketa pajak dari sekadar benturan kekuasaan menjadi proses hukum yang terukur, di mana aturan berfungsi sebagai standar kritik dan pembenaran, bukan sekadar prediksi sanksi. (ldr)

Daftar Pustaka:

  1. Hart, H.L.A. (2012). The Concept of Law (3rd ed.). Oxford University Press.

Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…