Secara umum, rokok di Indonesia
tidak tunduk pada skema “izin edar” yang diterbitkan oleh BPOM seperti obat,
makanan, dan kosmetik. Namun demikian, peredaran rokok tidak bebas dan
dikendalikan melalui beberapa ketentuan peraturan perunndang-Undangan yang
sifatnya wajib dipenuhi oleh produsen sebelum produk dapat dipasarkan. (Syahputra, 2020)
Produk tembakau
dikategorikan sebagai zat adiktif berdasarkan Pasal 149 UU Nomor 17 Tahun 2023
tentang Kesehatan. Sehingga proses produksi, peredaran, dan promosinya rokok harus
dikendalikan oleh pemerintah.
Mekanisme pengendalian lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Aturan ini mewajibkan pencantuman peringatan kesehatan bergambar, informasi kadar tar dan nikotin, serta pembatasan kemasan, iklan, promosi, dan sponsor. Pelabelan yang tidak sesuai dapat dikenai sanksi administratif hingga penarikan produk.(Haryono Saputra, A. & Saputra, R. K., 2024)
Baca Juga: Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak
Ancaman
Pidana Peredaran Rokok Tanpa Peringatan Kesehatan
Pada ketentuan pidana UU
kesehatan sebelumnya yaitu ketentuan pasal 199 (1) UU No 36/2009 menyebutkan Setiap
orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan
kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana
penjara paling lama 5 tahun dan dendan paling banyak Rp500.000.000,00 hal mana
jika dibandingkan dengan ketentuan pasa 437 (1) UU No 17/2023 menyebutkan
Setiap Orang yang memproduksi, memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan/ atau mengedarkan dengan tidak
mencantumkan peringatan Kesehatan berbentuk tulisan disertai gambar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 150 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00, maka terdapat penambahan
unsur pidana “mengedarkan” yang tidak dikenal oleh UU Kesehatan sebelumnya.
Lalu, sleanjutnya apakah Sales-sales dan pemilik Toko-toko kelontong yang
menawarkan untuk dijual rokok tanpa peringatan kesehatan dapat dijerat dalam
pasal 437 (1) UU Kesehatan.
Dalam pandangan
penegakan hukum pembuktian unsur barang-siapa atau setiap orang menyasar pada
pemahaman subyek hukum yang didakwa melakukan tindak pidana dan mampu mempertanggungjawabkan
perbuatannya. .(Assauqi & Islam, 2022)
Tolok
Ukur Subjek Peredaran Rokok Tanpa Peringatan Kesehatan
Adagium hukum tumpul
keatas tajam kebawah bisa saja terjadi jika para juris gagal menganalisa unsur subyek hukum, sebab dipandang dari
tujuan UU Kesehatan dibentuk subyek hukum yang dimaksud adalah;
- a. setiap
orang yang mempunyai kemampuan untuk memproduksi, memasukkan rokok ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- b. setiap
orang yang mempunyai kemampuan untuk mengedarkan dengan tidak mencantumkan
peringatan Kesehatan berbentuk tulisan disertai gambar;
Dari kualifikasi unsur
setiap orang diatas, menurut penulis sales-sales rokok dan pemilik toko
kelontong tidak termasuk dalam subyek hukum dalam UU Kesehatan dengan
alasan-alasan sebagaimana berikut;
- Tidak adanya aturan secara
spesifik yang menyebutkan produk tembakau harus mempunyai ijin edar sebagaimana
produk makanan,minuman dan kosmetik yang diterbitkan oleh BPOM, salah satu
indikator jika suatu perbuatan dinyatakan melawan hukum adalah tidak adanya
ijin dari pihak yang berwenang, dengan demikian rokok adalah produk legal untuk
diedarkan sepanjang tidak ada pengaturan yang jelas tentang ijin edar tersebut.
- Dari maksud pembentukan UU
Kesehatan yang disasar sebagai subyek hukum adalah yang mempunyai kemampuan untuk
memproduksi, memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan yang mempunyai kemampuan untuk mengedarkan dengan tidak
mencantumkan peringatan Kesehatan berbentuk tulisan disertai gambar, sehingga
maknanya harus dipersempit (restriktif) kepada produsen, importir dan
distributor yang bekerjasama dengan produser dan importir untuk mengedarkan
rokok tanpa peringatan Kesehatan.
- Sales-sales rokok dan pemilik
toko-toko kelontong terlepas pertanggungjawaban sebab tidak mempunyai kemampuan
untuk mencantumkan peringatan Kesehatan pada setiap kemasan rokok, sales-sales
rokok dan pemilik toko-toko kelontong hanya sebagai akibat dari distribusi ilegal
rokok tanpa peringatan kesehatan, dan secara logika akibat dari suatu perbuatan
pidana tidak dihukum.
Secara filosofis, alasan-alasan
diatas dapat dibenarkan menurut hukum sebab sepanjang terjadi kekosongan norma berupa pengaturan yang tegas
tentang ijin edar, hukum pidana tidak dapat diterapkan terhadap sales-sales
rokok dan pemilik toko kelontong, dilema terjadi ketika kepastian dan keadilan
bersinggungan, maka keadilan dipilih, selalu diingat pesan Bapak Presidan
Prabowo, orang-orang besar, pengusaha dan perusahaan bisa menyewa lawyer-lawyer
yang mahal untuk membela kepentingannya, tetapi rakyat kecil hanya bisa
berharap kepada hakim yang adil.
Telah secara eksplisit
pula tertuang dalam Pasal 143 ayat (3) UU Kesehatan yang menyatakan “Perizinan
berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi usaha jamu
gendong, usaha jamu racikan..”, hal tersebut mengartikan bahwa rakyat
kecil dengan kemampuan penyebaran yang minim bukan merupakan subjek yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam UU Kesehatan.
Walaupun penulis sebenarnya tidak membenarkan keadaan peredaran rokok tanpa peringatan Kesehatan di masyarakat, tetapi adalah tidak tepat menjadikan sales-sales rokok dan pemilik toko kelontong sebagai subyek hukum. Seharusnya yang menjadi subyek hukum adalah produsen, (Hilman Fi, 2021) importir serta distributor yang bekerjasama produsen dan importir mengedarkan rokok tersebut sebagaimana yang dimaksud oleh UU Kesehatan. (ldr)
Kesimpulan
Sales rokok dan pemilik toko kelontong tidak termasuk subjek hukum yang dimaksud, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk mencantumkan peringatan kesehatan pada kemasan rokok. Subjek hukum seharusnya dibatasi secara restriktif pada produsen, importir, dan distributor besar yang bekerja sama dengan mereka, bukan pada pelaku kecil di tingkat penjualan ritel.
Saran
Pemerintah perlu merevisi atau memberikan penjelasan tentang kualifikasi subjek hukum dalam Pasal 437 UU Kesehatan, agar fokus penegakan hukum diarahkan pada produsen, importir, dan distributor besar yang memiliki kemampuan untuk mencantumkan peringatan kesehatan. Hal ini akan menghindari jeratan hukum terhadap sales rokok dan pemilik toko kelontong, sekaligus memastikan keadilan bagi rakyat kecil.
Daftar
Pustaka
Assauqi, B. I. S., &
Islam, M. A. (2022). Sosialisasi Cukai dan Rokok Ilegal Melalui
PerancanganAnimasi Explainer di Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Barik, 3(2),
227–241. https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/JDKV/article/view/47668
Haryono Saputra, A. & Saputra, R. K., H. (2024). Efektivitas
Pengawasan Bea Cukai Terhadap Peredaran Rokok Ilegal di Kota Tanjungpinang.
3(2), 33–44.
Hilman Fi, M. (2021). Sudah
Efektifkah Operasi Pasar Peredaran Rokok Ilegal? Jurnal Info Artha, 5,
118–129. www.cnnindonesia.com
Syahputra, I. (2020).
Penegakan Hukum Peredaran Rokok Ilegal Tanpa Cukai Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2007 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang
Cukai Di Wilayah Hukum Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Bea Dan Cukai (Kppbc) Tipe
Madya Pabean B Kota. JOM Fakultas Hukum, III(2), 1–15.
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/LifeSci
Baca Juga: Peredaran Gelap-Penyalahgunaan Narkotika: Analisis Interpretasi Teleologis Pasal 35
Tulisan ini pendapat pribadi penulis yang tidak
mewakili pendapat lembaga.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI