Cari Berita

Dilema The Living Law di Meja Wayan

Komang Ardika - Dandapala Contributor 2025-11-21 08:10:12
Dok. Ket: Penjor atau Janur Kuning Bali Sumber: https://id.pinterest.com/pin/walker-travel-content-creator-on-instagram-morning-strolls-through-one-of-balis-most-beautiful-villages-in-2025--5770305768990795/

04.30 WIB. Selasa, 18 November 2025. Di sebuah kota yang tak pernah tidur, di jantung beton dan aspal, Wayan membuka mata. Wayan, sang Hakim. Jauh dari Bali, jauh dari bunyi gamelan yang seharusnya menyambut Galungan.

Dia bukan Wayan yang sejak kecil akrab dengan canang dan penjor. Garis keluarganya hijrah. Dia lahir di rantau. Tapi darahnya, Hindu, Bali, tak bisa dinegosiasi. Pagi ini, besok lusa Galungan. Udara terasa tipis, penuh makna.

Ritualnya setiap pagi: kopi pahit atau krimer. Tapi pagi ini, dia menunda ngopi. Dia harus menyiapkan kamen, udeng, baju safari putih. Perlu banten sederhana. Istri sudah menyiapkan. Mereka harus membawa Bali ke kontrakan mereka.

Baca Juga: Cultural Shock Amidst The New Indonesia Criminal Code

Air mendidih. Dia buka laptop. Jemarinya berhenti pada satu berita yang membuat hatinya mencelos—bukan sedih, tapi bangga: "Seluruh Pengadilan Negeri di Bali Libur Besok, Rayakan Galungan."

Simpel. Tapi mengena. Itu kebijakan daerah. Pengakuan atas keyakinan yang hidup. Di Bali, besok, keadilan pun ikut beristirahat.

Wayan menyesap kopi. Pikirannya mendadak melompat ke Pasal 2 KUHP Nasional yang akan segera berlaku. The Living Law. Hukum yang Hidup di Masyarakat. Ini yang pernah didengar dalam webinar seorang Profesor.

Dia cek lagi bunyinya. Tegas: KUHP tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup. Tapi ada catatannya: Harus diatur Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah. Dan yang paling krusial: "berlaku dalam tempat hukum itu hidup."

Pikiran Wayan, si anak Bali yang terdidik hukum positif, berputar cepat. Ini bukan soal benar atau salah. Ini soal batas.

Apakah saya bisa? tanya Wayan dalam hati.

Bisakah dia, hakim di sini, menerapkan Perda Adat Bali kepada warga Bali di kotanya? Katakanlah ada warga keturunan Bali di sini yang melanggar awig-awig (hukum adat) mereka sendiri.

Logika hukum positifnya segera menampar kepalanya. "Tidak." Dia bergumam.

The Living Law memang diakui, tapi keberlakuannya punya pagar besi: batas teritorial.

Perda Bali hanya berlaku di Bali. Hukum adat yang bersumber dari Bali tidak otomatis berlaku di luar Bali. Meskipun di luar Bali ada komunitas "Masyarakat Adat" Bali dengan nilai yang sama persis. Pengakuan hukum adat adalah pengakuan terhadap wilayah tempat hukum itu tumbuh.

Libur pengadilan di Bali adalah pengakuan spesifik wilayah. Bukan pengakuan terhadap semua orang Bali di seluruh Indonesia. Wayan paham betul itu.

Dia habiskan kopinya. Anggukan pelan. Filsafat hukum selesai.

Dia tutup laptop. Beranjak ke pelangkiran, tempat ibadahnya. Di sana, di sudut kontrakan, Wayan memasang penjor yang sederhana, jauh dari kemegahan. Istrinya membeli lamak dari aplikasi, sebagian dibuat sendiri. Kompromi metropolitan.

Tapi Wayan sendiri harus mengenakan toga. Satker-nya tidak dicakup oleh libur daerah Bali.

Esok hari Dharma harus menang melawan Adharma. Wayan tahu itu. Tapi kali ini, kemenangan Dharma harus dirayakan di pagi hari, dan setelahnya dilanjutkan dengan kemenangan Hukum di ruang sidang.

Dia menyalakan dupa. Asap kayu cendana mengepul, membawa doa singkat: Memohon kebijaksanaan. Untuk dirinya, untuk putusannya.

Baca Juga: Menjamin Independensi Hakim: Urgensi Pengaturan Gaji dalam UUD 1945

Dia adalah seorang hakim. Tunduk pada aturan tertulis. Tapi di hatinya, ia adalah anak Bali. Merayakan hukum yang hidup. Tugas negara menanti, tetapi jiwa tetap tersambung ke Pulau Dewata.

Dia sudah siap. Untuk Toga, dan untuk Udeng.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…