Cari Berita

Doktrin Negara Pelindung: Menggagas Kewenangan Ex Officio Jaksa dalam Eksekusi Restitusi Pasca PERMA 1/2022

Moch. Ichwanudin-Hakim PN Serang - Dandapala Contributor 2025-12-17 08:00:35
Dok. Penulis.

Sistem peradilan pidana Indonesia, yang mewarisi kerangka berpikir kolonial Civil Law abad ke-19, telah lama terperangkap dalam ortodoksi keadilan retributif yang kaku di mana tindak pidana dikonstruksikan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara dan ketertiban umum.

Negara, melalui aparat penegak hukumnya, memonopoli hak untuk menghukum, sementara korban teralienasi ke pinggiran proses peradilan dan direduksi perannya hanya sebagai saksi pelapor atau alat bukti hidup.

Fokus utama peradilan adalah pembuktian kesalahan terdakwa dan penjatuhan pidana badan atau denda yang bermuara ke kas negara, mengabaikan fakta sosiologis bahwa di balik setiap pelanggaran pidana terdapat kerugian nyata yang diderita oleh individu warga negara. Ketimpangan ini menciptakan sebuah paradoks dalam penegakan hukum modern di mana negara berhasil memenjarakan pelaku namun gagal memulihkan korban, sehingga melahirkan ketidakadilan ganda atau double victimization.

Baca Juga: Menggali Penerapan Restitusi Pasca PERMA 1/2022

Meskipun gelombang reformasi hukum global telah membawa arus keadilan restoratif ke pantai hukum Indonesia, implementasinya masih terhambat oleh tembok prosedural yang tebal. Kehadiran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana memang menjadi oase di tengah gurun regulasi, namun belum sepenuhnya memecahkan persoalan mendasar yakni pasivitas negara dalam menginisiasi pemulihan.

Konstruksi hukum saat ini masih meletakkan beban administratif di pundak korban yang seringkali berada dalam kondisi trauma psikologis atau keterbatasan ekonomi. Menggantungkan nasib pemulihan pada inisiatif korban untuk mengajukan permohonan di tengah ketidakberdayaan mereka adalah bentuk pengingkaran terhadap esensi perlindungan negara.

Permasalahan fundamental yang menjadi inti adalah ketidaksesuaian antara kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya dengan mekanisme prosedural yang bersifat pasif. Dalam logika hukum progresif, kegagalan negara mencegah terjadinya kejahatan seharusnya melahirkan kewajiban moral dan hukum bagi negara untuk memulihkan korban secara aktif.

Namun, realitas yuridis di bawah rezim PERMA Nomor 1 Tahun 2022 masih terjebak pada formalisme birokrasi yang mensyaratkan adanya "permohonan" dari korban, keluarga, atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Prosedur ini mengasumsikan bahwa korban memiliki kapasitas hukum, mental, dan finansial yang setara untuk memperjuangkan haknya, sebuah asumsi yang seringkali runtuh di hadapan realitas ketimpangan struktur sosial.

Kondisi ini diperparah dengan pemahaman sempit terhadap asas Dominus Litis yang selama ini ditafsirkan hanya sebatas kekuasaan Jaksa untuk memenjarakan, bukan memulihkan. Akibatnya, restitusi seringkali dipandang sebagai elemen perdata yang "dititipkan" dalam proses pidana, bukan sebagai bagian integral dari penegakan hukum publik.

Pertanyaan kritis yang muncul adalah mengapa negara begitu agresif menuntut denda dan uang pengganti dalam kasus korupsi demi kerugian negara, namun bersikap pasif dan menunggu bola ketika menyangkut kerugian warga negaranya sendiri akibat tindak pidana umum. Dualisme sikap ini mencerminkan standar ganda yang mencederai rasa keadilan masyarakat.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, diperlukan rekonstruksi landasan filosofis hubungan antara negara dan korban. Legitimasi negara untuk memonopoli penggunaan kekerasan bersumber dari teori kontrak sosial, di mana individu menyerahkan haknya untuk membalas dendam kepada negara dengan imbalan perlindungan keamanan.

Ketika kejahatan terjadi, itu adalah bukti kegagalan negara dalam memenuhi janji perlindungannya. Oleh karena itu, berdasarkan doktrin Parens Patriae yang menempatkan negara sebagai wali pelindung bagi mereka yang rentan, negara wajib mengambil alih tanggung jawab pemulihan tersebut. Penuntut Umum, sebagai representasi negara di persidangan, harus bertindak sebagai acting parent yang secara aktif menghitung, menuntut, dan mengeksekusi restitusi tanpa membebani korban dengan prosedur permohonan yang rumit. Kewenangan ex officio Jaksa dalam hal ini adalah manifestasi pertanggungjawaban negara atas kegagalan perlindungan keamanan warganya.

Perspektif perbandingan hukum memperkuat urgensi perubahan ini. Sistem hukum Belanda, yang merupakan akar historis hukum Indonesia, telah melakukan revolusi melalui Pasal 36f Wetboek van Strafrecht yang mengubah status ganti rugi korban menjadi "tindakan kompensasi". Dalam konstruksi ini, ganti rugi bukan lagi sekadar hak privat, melainkan sanksi negara.

Konsekuensinya, Jaksa di Belanda memiliki kewajiban profesional untuk menuntut sanksi ini secara ex officio jika bukti kerugian sudah jelas dalam berkas perkara. Lebih jauh, negara Belanda bahkan mengambil alih risiko insolvensi pelaku dengan menalangi pembayaran kepada korban melalui skema voorschotregeling, lalu negara yang mengejar pelaku. Model ini membuktikan bahwa integrasi penuh kepentingan korban ke dalam kewajiban penuntut umum adalah sebuah keniscayaan dalam sistem hukum modern yang beradab.

Momentum yuridis terbesar bagi Indonesia untuk mengadopsi model serupa sesungguhnya telah tersedia dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional. Undang-undang ini secara revolusioner memasukkan "pidana pembayaran ganti rugi" ke dalam kategori pidana tambahan.

Perubahan terminologi ini memiliki implikasi hukum yang sangat fundamental karena dengan berstatus sebagai "pidana", maka secara otomatis restitusi masuk ke dalam domain kewenangan dan kewajiban absolut Jaksa. Tugas pokok Jaksa adalah menuntut pidana terhadap pelaku kejahatan, sehingga ketika ganti rugi telah diklasifikasikan sebagai jenis pidana, maka haram hukumnya bagi Jaksa untuk bersikap pasif.

Jaksa wajib menyertakan tuntutan ganti rugi dalam requisitoir-nya sebagai satu kesatuan dengan tuntutan pidana badan, terlepas dari ada atau tidaknya permohonan korban. PERMA Nomor 1 Tahun 2022 harus dibaca dan ditafsirkan secara futuristik selaras dengan semangat KUHP Nasional ini, di mana prosedur "permohonan" hanyalah opsi tambahan, bukan satu-satunya jalan menuju keadilan.

Dari sisi analisis ekonomi hukum, memberikan kewenangan ex officio kepada Jaksa menciptakan efisiensi peradilan atau judicial economy. Sistem saat ini yang mendorong korban mengajukan gugatan perdata terpisah jika restitusi gagal menciptakan duplikasi biaya peradilan yang memboroskan sumber daya negara.

Penuntut Umum memiliki akses terhadap alat bukti sejak tahap penyidikan dan memiliki kewenangan sita eksekusi yang jauh lebih kuat daripada instrumen perdata. Dengan menyatukan proses pembuktian pidana dan perhitungan restitusi dalam satu tuntutan jaksa, negara dapat memangkas biaya transaksi sosial dan memberikan kepastian hukum yang lebih cepat.

Argumentasi ini juga didukung oleh preseden dalam penegakan hukum lingkungan dan korupsi, di mana Jaksa telah terbiasa menghitung dan menuntut pemulihan kerugian secara ex officio. Jika Penuntut Umum mampu menghitung kerusakan ekologis atau kerugian keuangan negara yang kompleks, tidak ada alasan logis untuk meragukan kemampuan Penuntut Umum dalam menghitung kerugian korban kejahatan konvensional.

Transisi hukum pidana Indonesia menuju paradigma yang lebih humanis menuntut perubahan mendasar dalam perilaku institusional aparat penegak hukum. Analisis mendalam terhadap landasan filosofis, komparasi global, dan perkembangan legislasi nasional membuktikan bahwa mempertahankan mekanisme restitusi berbasis "permohonan" adalah sebuah anakronisme yang tidak adil dan tidak efisien.

Baca Juga: Wajibkah Hakim Menyampaikan Hak Atas Restitusi Kepada Korban di Persidangan?

Tesis yang diajukan dalam opini ini menegaskan bahwa Penuntut Umum seharusnya memiliki kewenangan dan kewajiban imperatif untuk mengakomodir kepentingan restitusi korban secara ex officio. Hal ini didasarkan pada mandat kontrak sosial negara untuk memulihkan akibat kejahatan, doktrin parens patriae, serta perintah yuridis KUHP Nasional yang menempatkan ganti rugi sebagai pidana tambahan.

Harus direbut kembali makna sejati Dominus Litis bukan hanya sebagai pengendali pemenjaraan, tetapi sebagai arsitek pemulihan sosial. Dengan langkah progresif ini, hukum tidak lagi menjadi menara gading yang dingin, melainkan hadir sebagai instrumen yang memulihkan, melindungi, dan memanusiakan setiap korban yang mencari keadilan di bawah panji negara hukum Indonesia. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag
Memuat komentar…