Sistem
peradilan pidana Indonesia, yang mewarisi kerangka
berpikir kolonial Civil Law abad ke-19, telah lama terperangkap dalam
ortodoksi keadilan retributif yang kaku di mana tindak pidana dikonstruksikan
semata-mata sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara dan ketertiban umum.
Negara, melalui aparat penegak hukumnya,
memonopoli hak untuk menghukum, sementara korban teralienasi ke pinggiran
proses peradilan dan direduksi perannya hanya sebagai saksi pelapor atau alat
bukti hidup.
Fokus utama peradilan adalah pembuktian
kesalahan terdakwa dan penjatuhan pidana badan atau denda yang bermuara ke kas
negara, mengabaikan fakta sosiologis bahwa di balik setiap pelanggaran pidana
terdapat kerugian nyata yang diderita oleh individu warga negara. Ketimpangan
ini menciptakan sebuah paradoks dalam penegakan hukum modern di mana negara
berhasil memenjarakan pelaku namun gagal memulihkan korban, sehingga melahirkan
ketidakadilan ganda atau double victimization.
Baca Juga: Menggali Penerapan Restitusi Pasca PERMA 1/2022
Meskipun gelombang
reformasi hukum global telah membawa arus keadilan restoratif ke pantai hukum
Indonesia, implementasinya masih terhambat oleh tembok prosedural yang tebal.
Kehadiran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara
Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban
Tindak Pidana memang menjadi oase di tengah gurun regulasi, namun belum
sepenuhnya memecahkan persoalan mendasar yakni pasivitas negara dalam
menginisiasi pemulihan.
Konstruksi hukum saat
ini masih meletakkan beban administratif di pundak korban yang seringkali
berada dalam kondisi trauma psikologis atau keterbatasan ekonomi. Menggantungkan
nasib pemulihan pada inisiatif korban untuk mengajukan permohonan di tengah
ketidakberdayaan mereka adalah bentuk pengingkaran terhadap esensi perlindungan
negara.
Permasalahan fundamental
yang menjadi inti adalah ketidaksesuaian antara kewajiban negara untuk
melindungi warga negaranya dengan mekanisme prosedural yang bersifat pasif.
Dalam logika hukum progresif, kegagalan negara mencegah terjadinya kejahatan
seharusnya melahirkan kewajiban moral dan hukum bagi negara untuk memulihkan
korban secara aktif.
Namun, realitas yuridis
di bawah rezim PERMA Nomor 1 Tahun 2022 masih terjebak pada formalisme
birokrasi yang mensyaratkan adanya "permohonan" dari korban,
keluarga, atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Prosedur ini
mengasumsikan bahwa korban memiliki kapasitas hukum, mental, dan finansial yang
setara untuk memperjuangkan haknya, sebuah asumsi yang seringkali runtuh di
hadapan realitas ketimpangan struktur sosial.
Kondisi ini diperparah
dengan pemahaman sempit terhadap asas Dominus Litis yang selama ini
ditafsirkan hanya sebatas kekuasaan Jaksa untuk memenjarakan, bukan memulihkan.
Akibatnya, restitusi seringkali dipandang sebagai elemen perdata yang
"dititipkan" dalam proses pidana, bukan sebagai bagian integral dari
penegakan hukum publik.
Pertanyaan kritis yang
muncul adalah mengapa negara begitu agresif menuntut denda dan uang pengganti
dalam kasus korupsi demi kerugian negara, namun bersikap pasif dan menunggu
bola ketika menyangkut kerugian warga negaranya sendiri akibat tindak pidana
umum. Dualisme sikap ini mencerminkan standar ganda yang mencederai rasa
keadilan masyarakat.
Untuk menjawab
permasalahan tersebut, diperlukan rekonstruksi landasan filosofis hubungan
antara negara dan korban. Legitimasi negara untuk memonopoli penggunaan
kekerasan bersumber dari teori kontrak sosial, di mana individu menyerahkan
haknya untuk membalas dendam kepada negara dengan imbalan perlindungan
keamanan.
Ketika kejahatan
terjadi, itu adalah bukti kegagalan negara dalam memenuhi janji
perlindungannya. Oleh karena itu, berdasarkan doktrin Parens Patriae
yang menempatkan negara sebagai wali pelindung bagi mereka yang rentan, negara
wajib mengambil alih tanggung jawab pemulihan tersebut. Penuntut Umum, sebagai
representasi negara di persidangan, harus bertindak sebagai acting parent
yang secara aktif menghitung, menuntut, dan mengeksekusi restitusi tanpa
membebani korban dengan prosedur permohonan yang rumit. Kewenangan ex
officio Jaksa dalam hal ini adalah manifestasi pertanggungjawaban negara
atas kegagalan perlindungan keamanan warganya.
Perspektif perbandingan
hukum memperkuat urgensi perubahan ini. Sistem hukum Belanda, yang merupakan
akar historis hukum Indonesia, telah melakukan revolusi melalui Pasal 36f Wetboek
van Strafrecht yang mengubah status ganti rugi korban menjadi
"tindakan kompensasi". Dalam konstruksi ini, ganti rugi bukan lagi
sekadar hak privat, melainkan sanksi negara.
Konsekuensinya, Jaksa di
Belanda memiliki kewajiban profesional untuk menuntut sanksi ini secara ex
officio jika bukti kerugian sudah jelas dalam berkas perkara. Lebih jauh,
negara Belanda bahkan mengambil alih risiko insolvensi pelaku dengan menalangi
pembayaran kepada korban melalui skema voorschotregeling, lalu negara
yang mengejar pelaku. Model ini membuktikan bahwa integrasi penuh kepentingan
korban ke dalam kewajiban penuntut umum adalah sebuah keniscayaan dalam sistem
hukum modern yang beradab.
Momentum yuridis
terbesar bagi Indonesia untuk mengadopsi model serupa sesungguhnya telah tersedia
dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional. Undang-undang
ini secara revolusioner memasukkan "pidana pembayaran ganti rugi" ke
dalam kategori pidana tambahan.
Perubahan terminologi
ini memiliki implikasi hukum yang sangat fundamental karena dengan berstatus
sebagai "pidana", maka secara otomatis restitusi masuk ke dalam
domain kewenangan dan kewajiban absolut Jaksa. Tugas pokok Jaksa adalah
menuntut pidana terhadap pelaku kejahatan, sehingga ketika ganti rugi telah
diklasifikasikan sebagai jenis pidana, maka haram hukumnya bagi Jaksa untuk
bersikap pasif.
Jaksa wajib menyertakan
tuntutan ganti rugi dalam requisitoir-nya sebagai satu kesatuan dengan
tuntutan pidana badan, terlepas dari ada atau tidaknya permohonan korban. PERMA
Nomor 1 Tahun 2022 harus dibaca dan ditafsirkan secara futuristik selaras dengan
semangat KUHP Nasional ini, di mana prosedur "permohonan" hanyalah
opsi tambahan, bukan satu-satunya jalan menuju keadilan.
Dari sisi analisis
ekonomi hukum, memberikan kewenangan ex officio kepada Jaksa menciptakan
efisiensi peradilan atau judicial economy. Sistem saat ini yang
mendorong korban mengajukan gugatan perdata terpisah jika restitusi gagal
menciptakan duplikasi biaya peradilan yang memboroskan sumber daya negara.
Penuntut Umum memiliki
akses terhadap alat bukti sejak tahap penyidikan dan memiliki kewenangan sita
eksekusi yang jauh lebih kuat daripada instrumen perdata. Dengan menyatukan
proses pembuktian pidana dan perhitungan restitusi dalam satu tuntutan jaksa,
negara dapat memangkas biaya transaksi sosial dan memberikan kepastian hukum
yang lebih cepat.
Argumentasi ini juga
didukung oleh preseden dalam penegakan hukum lingkungan dan korupsi, di mana
Jaksa telah terbiasa menghitung dan menuntut pemulihan kerugian secara ex
officio. Jika Penuntut Umum mampu menghitung kerusakan ekologis atau
kerugian keuangan negara yang kompleks, tidak ada alasan logis untuk meragukan
kemampuan Penuntut Umum dalam menghitung kerugian korban kejahatan
konvensional.
Transisi hukum pidana
Indonesia menuju paradigma yang lebih humanis menuntut perubahan mendasar dalam
perilaku institusional aparat penegak hukum. Analisis mendalam terhadap
landasan filosofis, komparasi global, dan perkembangan legislasi nasional
membuktikan bahwa mempertahankan mekanisme restitusi berbasis
"permohonan" adalah sebuah anakronisme yang tidak adil dan tidak
efisien.
Baca Juga: Wajibkah Hakim Menyampaikan Hak Atas Restitusi Kepada Korban di Persidangan?
Tesis yang diajukan
dalam opini ini menegaskan bahwa Penuntut Umum seharusnya memiliki kewenangan
dan kewajiban imperatif untuk mengakomodir kepentingan restitusi korban secara ex
officio. Hal ini didasarkan pada mandat kontrak sosial negara untuk
memulihkan akibat kejahatan, doktrin parens patriae, serta perintah
yuridis KUHP Nasional yang menempatkan ganti rugi sebagai pidana tambahan.
Harus direbut kembali makna sejati Dominus Litis bukan hanya sebagai pengendali pemenjaraan, tetapi sebagai arsitek pemulihan sosial. Dengan langkah progresif ini, hukum tidak lagi menjadi menara gading yang dingin, melainkan hadir sebagai instrumen yang memulihkan, melindungi, dan memanusiakan setiap korban yang mencari keadilan di bawah panji negara hukum Indonesia. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI