Cari Berita

Restitusi dan Restitusi Kurang Bayar pada Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Muhamad Ridwan-Hakim PN Muara Enim - Dandapala Contributor 2025-10-22 14:05:15
Dok.Penulis.

Ribuan kasus korban kekerasan seksual di Indonesia pada tahun 2025 yang sebagian besarnya belum mendapat restitusi. Restitusi saat ini masih menjadi skema langka dalam persidangan pidana di Pengadilan Negeri dikarenakan belum adanya best practice yang memadahi, namun setidaknya ada beberapa putusan dari Pengadilan Negeri yang menjatuhkan restitusi kepada Terdakwa yang dimana perkara tersebut menarik perhatian publik.

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menyebutkan bahwa sejak 1 Januari 2025 telah terjadi 5.950 kasus kekerasan yang melibatkan perempuan sebagai korban. [1] Meskipun kekerasan seksual tidak hanya menimpa Perempuan dan Anak data tersebut menunjukan ada ribuan korban kekerasan seksual di Indonesia.

Restitusi adalah ganti kerugian yang dibayarkan oleh Terdakwa tindak pidana tertentu atau Restitution is a form of legal protection form for victims of victim recovery oriented. [2] Ganti kerugian yang diberikan kepada korban dapat dibedakan menjadi dua jenis, pertama yang dibayarkan oleh institusi resmi dari dana negara (disini akan dinamakan kompensasi atau compensation) dan kedua yang dibayar oleh pelaku (dinamakan restitusi atau restitution).[3]

Baca Juga: Menggali Penerapan Restitusi Pasca PERMA 1/2022

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang dimaksud restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiel dan/ atau imateriel yang diderita korban atau ahli warisnya;

Restitusi dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual pertama kali dikenal pada tahun 2022 sejak UU TPKS diberlakukan. Mekanisme pelaksanaannya sendiri dibagi menjadi 2 (dua) mekanisme pertama dilakukan sebelum putusan dijatuhkan kedua dilakukan dengan mengajukan permohonan setelah putusan dijatuhkan. [4]

Pelaksanaan dari mekanisme Restitusi dalam praktik mengalami beberapa kendala, diantaranya sebagai berikut:

Apa saja yang bisa dimohonkan oleh korban kekerasan seksual dalam permohonan restitusi;

Permohonan restitusi yang dapat diajukan oleh korban kepada terdakwa sebagaimana UU TPKS dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana, adalah sebagai berikut;

  • ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
  • ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
  • penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis; dan/ atau
  • ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.

Apakah restitusi mengurangi hukuman Terdakwa;

Seiring berkembangnya konsep restoratif justice masyarakat dan beberapa praktisi hukum mengaitkan konsep restitusi dengan Restoratif Justice dimana keduanya merupakan konsep yang berbeda dari hulu ke hilir, yang mana Restoratif Justice bertujuan mengembalikan keadaan seperti sedia kala dengan diwajibkan perdamaian kedua belah pihak dan Terdakwa diminimalkan hukuman yang dijatuhkan, sedangkan dalam konsep restitusi Terdakwa tidak diwajibkan untuk berdamai dengan korban namun diberi kewajiban untuk membayar ganti kerugian.

Bagaimana bila Terdakwa tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar restitusi

Dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak jarang pelakunya tidak mau membayarkan restitusi atau tidak memiliki harta yang cukup untuk membayarkan restitusi. Dalam hal demikian telah diatur dalam UU TPKS bahwa untuk dilakukan eksekusi berupa pelelangan harta dari Terdakwa, namun apabila masih belum cukup maka Terdakwa akan menjalani pidana tambahan berupa penjara.

 Tidak berhenti disana Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dimana kekurangan pembayaran restitusi pada korban akan ditanggung oleh negara sampai dengan dapat ditambahkan berupa dana pemulihan pada korban;

Dalam skema eksekusi pembayaran restitusi. Bilamana restitusi tersebut tidak terbayarkan oleh Terdakwa sebagaimana adagium qui non potest solvere in aere, luat in corpore, maka Terdakwa akan melunasi dan menjalaninya dengan pidana badan, dan dilakukan lelang sita jaminan terhadap harta benda milik Terdakwa/Terpidana. [5]

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan Negara berupaya hadir untuk melindungi dan memulihkan Korban kekerasan Seksual dengan skema restitusi tersebut, demi mewujudkan adagium poenae ut poenae, poenae ut medicine dimana pidana tidak hanya dipandang sebagai hukuman semata namun juga sebagai obat.

Baca Juga: Victim Impact Statement? Menelisik Peranannya dalam UU TPKS dan PERMA 1 Tahun 2022

Pada akhirnya Penulis berpendapat secara instrumen yuridis peraturan sistem restitusi telah cukup komprehensif, tahapan  selanjutnya Aparat Penegak Hukum khususnya Hakim di Pengadilan dalam praktek persidangan dapat mengupayakan semaksimal mungkin penerapan restitusi kepada korban tindak pidana kekerasan seksual sehingga pada muaranya korban kekerasan seksual mendapat perlindungan dan pemulihan dalam sistem hukum di Indonesia. (ldr, ypy)

Daftar Pustaka

  1. Riza Asyari Yamin & Sali Susiana, Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dalam Konteks Relasi Kuasa 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XVII-8-II-P3DI-April-2025-2490.pdf diakses pada 9 Oktober 2025 pukul 16.00 WIB;
  2. Budi Suhariyanto Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi (Perspektif Filsafat, Teori, Norma Dan Praktek Penerapannya), Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 1 Tahun 2013.
  3. Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 2007.
  4. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
  6. Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S Hiariej, Dasar- Dasar Ilmu Hukum. 2021.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag