Cari Berita

Demarginalisasi Korban dalam Sistem Peradilan Pidana

article | Opini | 2025-03-14 18:50:35

Konstruksi korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia pada awalnya memang mengalami marginalisasi atau peminggiran secara normatif. Marginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana dilatarbelakangi oleh eksistensi hukum pidana materil (KUHP) dan hukum pidana formil (KUHAP) yang beraliran daad-dader-strafrecht sehingga definisi korban pun tidak diatur dalam KUHP dan KUHAP. KUHP Nasional yang diberlakukan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 merupakan translate dari KUHP Belanda yang dibentuk pada tahun 1881 dan diberlakukan tahun 1886 yang masih sangat kuat beraliran daad-strafrecht (fokus pada perbuatan) dan kemudian daad-daader strafrecht (fokus perbuatan dan orang) dengan paradigma retributif yang kuat sehingga hal ini menyebabkan korban tidak mendapatkan atensi dan termarginalisasi dalam sistem peradilan pidana. Sedangkan dalam konteks hukum acara pidana, sebelum eksistensi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), maka yang berlaku adalah HIR (Herzien Inlandsch Reglement) yang merupakan operasionalisasi paradigma retributif (fokus pada orang dan perbuatan) dari KUHP dengan atensi pada kecepatan penegakan hukum pidana sehingga hak-hak hukum pelaku seringkali tidak diperhatikan dan dilanggar. Kemudian keberlakuan KUHAP juga belum memberikan perhatian terhadap peran dan perlindungan terhadap korban mengingat spirit pembentukan KUHAP adalah memperkuat due process of law dalam hal ini terkait perlindungan hak-hak pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa/terpidana) dan akuntabilitas mekanisme kinerja penegak hukum. Fokus KUHAP adalah melindungi tersangka/terdakwa/terpidana dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum sebagaimana yang terjadi saat berlakunya HIR. Kondisi ini menyebabkan perhatian kepada hak dan perlindungan korban menjadi sangat minim dan termarginalkan. Secara historis, dinamika perkembangan korban dalam sistem peradilan pidana pada dasarnya dapat dilihat dalam tiga periodesasi hukum pidana Indonesia. Pertama, hukum pidana yang berorientasi pada pembalasan semata (retributif/absolut)/daad-strafrecht. Merupakan periodesasi di saat konsep pemasyarakatan belum dikenal dalam tata hukum Indonesia dan hukum acara pidana masih menggunakan HIR. Istilah pemasyarakatan sendiri dikenal pertama kali tahun 1963 yang dicetuskan oleh DR. Saharjo (Menteri Hukum dan Kehakiman saat itu) dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia. Secara formal konsep pemasyarakatan mulai memiliki landasan yuridis formal sejak diundangkannya UU Pemasyarakatan tahun 1995. Kedua, hukum pidana sebagai sarana mencapai tujuan-tujuan tertentu (relatif/gabungan)/daad-dader-strafrecht. Periodesasi sejak UU Pemasyarakatan mulai diterapkan. Pada periodesasi ini, sanksi pidana tidak sekadar dijadikan alat pembalasan melainkan sebagai sarana reformasi untuk memperbaiki narapidana (resosialisasi). Pemasyarakatan merupakan obat bagi orang 'sakit' yakni narapidana agar sembuh dan dapat melebur kembali ke dalam masyarakat sebagai pribadi yang baik untuk mendukung pembangunan bangsa. Dalam periodesasi kedua ini pusat perhatian dalam penegakan hukum pidana terletak pada pelaku sehingga kemudian pada tahap ini dikenal konsep mengenai individualisasi pidana. Akan tetapi, dalam realitasnya, konsep pemasyarakatan mengalami disfungsi karena faktor over capasity akibat core pemenjaraan masih menjadi arus utama penyelesaian perkara pidana. Kemudian muncul pemikiran kontemporer agar penyelesaian perkara pidana tidak semua harus dengan sanksi perampasan kemerdekaan yang terbukti tidak efektif untuk menurunkan tingkat kejahatan dan juga mengabaikan kepentingan korban. Lalu munculah pemikiran periodesasi ketiga yang mengkonstruksikan konsep pemidanaan yang meletakkan peran strategis pada kepentingan korban. Sanksi pidana diarahkan untuk kepentingan korban. Ketiga, hukum pidana yang berorientasi pada kepentingan korban. Jika pada periodesasi satu dan dua, sanksi pidana hanya berfokus pada perbuatan dan pelaku tindak pidana, pada periodesasi ketiga ini, sanksi pidana mulai memberikan perhatian terhadap korban sebagai pihak yang paling terdampak dari terjadinya tindak pidana. Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maka tahun 2006 menjadi mailstones eksistensi hukum pidana yang berorientasi pada kepentingan korban, dari sinilah melembaga konsep restitusi dan kompensasi yang berfokus pada pemulihan hak-hak dan kepentingan hukum korban yang sebelumnya terampas akibat suatu tindak pidana. Meskipun demikian, sebelum UU Perlindungan Saksi dan Korban, konsep mengenai restitusi dan kompensasi telah dikenal dalam UU Pengadilan HAM namun hanya terbatas pada tindak pidana pelanggaran HAM berat. Setelah lahirnya UU Perlindugan Saksi dan Korban, konsep restitusi dan kompensasi melembaga dalam berbagai aturan pidana khusus seperti UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. UU Sistem Peradilan Anak tahun 2012 melembagakan konsep diversi dalam penyelesaian perkara anak yang merupakan pelembagaan prinsip keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak dengan titik tumpu pada tanggungjawab pelaku, pemenuhan hak dan kepentingan korban serta restorasi hubungan antara pelaku dan korban dengan minimalisasi pemenjaraan. Transformasi demarginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana kemudian menjadi semakin bertumbuh dengan pembentukan peraturan-peraturan internal penegak hukum yang besifat keadilan restoratif dengan spirit keberpihakan pada korban seperti Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntuan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, hingga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Walaupun peraturan-peraturan internal penegak hukum tersebut masih memiliki berbagai kekurangan namun spirit untuk mengkonstruksikan korban dalam posisi centre of attention menjadi sebuah angin segar bagi perkembangan hukum pidana kedepan. Demarginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana sendiri akan semakin kuat dengan berlakunya KUHP baru Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 pada 2 Januari 2026 mendatang ditambah dengan pemberlakuan revisi KUHAP yang akan mengatur secara lebih rinci hak dan perlindungan korban dalam hukum acara pidana. KUHP baru membawa tiga spirit keadilan secara integral dengan meletakkan korban sebagai salah satu subyek utama dalam operasionalisasinya yakni keadilan korektif, (bagi pelaku) keadilan rehabilitatif (bagi korban dan pelaku), dan keadilan restoratif (bagi korban). Sanksi pidana diletakkan dalam kerangka keseimbangan antara kepentingan dan tanggungjawab pelaku, perlindungan dan pemulihan korban serta pemenuhan aspek partisipatif-edukatif. Jenis-jenis sanksi pidana pun bergeser dari core utama perampasan kemerdekaan menjadi ke arah korektif, rehabilitatif, dan restitutif/restoratif. Sehingga pendekatan daad-dader-strafrecht mulai bergeser menjadi daad-dader-victim-strafrecht. Sanksi fisik yang hanya menyasar pelaku kini diseimbangkan dengan pendekatan edukatif (pidana pengawasan/rehabilitasi) serta pendekatan materil dan imateril kepada korban berupa restitusi (ganti rugi) dan rehabilitasi yang memiliki manfaat direct bagi pemulihan hak dan kepentingan korban.

Pertama di PN Sei Rampah, Restitusi di Kabulkan

article | Berita | 2025-01-23 16:55:27

Sei Rampah-Serdang Bedagai. Pengadilan Negeri (PN) Sei Rampah menjatuhkan hukuman 12 (dua belas) tahun penjara kepada Terdakwa Jonson Purba Alias Tot-Tot. Terdakwa dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak."Terdakwa Jonson Purba Alias Tot-Tot tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama," kata ketua majelis hakim saat membacakan putusan Kamis (23/1/2025).Duduk sebagai ketua majelis Fierda HRS Ayu Sitorus, dengan hakim anggota Muhammad Luthfan Hadi Darus dan Ayu Melisa Manurung."Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan denda sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan," ucap majelis.Selain itu, kepada Terdakwa juga dihukum untuk membayar restitusi, dengan ketentuan apabila Restitusi tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa, maka Jaksa menyita harta kekayaan Terdakwa dan melelang harta kekayaan tersebut untuk memenuhi pembayaran Restitusi.Berdasarkan data yang diperoleh Tim Dandapala, sepanjang berdirinya PN Sei Rampah baru pertama kali PN Sei Rampah menerima dan mengabulkan permohonan restitusi.Restitusi sendiri merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga, bunyi Pasal 1 angka 1 Perma Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana. Adapun yang menjadi lingkup dari pemberian restitusi tersebut salah satunya adalah perkara tindak pidana terkait anak dan pengadilan yang bewenang untuk mengadili permohonan restitusi tersebut adalah pengadilan yang mengadili pelaku tindak pidana.“Menyatakan Pikir-Pikir,” ungkap Terdakwa atas putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim di ruang Sidang Candra PN Sei Rampah.

Kasus TPPO, Safiq Dihukum 8 Tahun Penjara dan Restitusi Rp 129 Juta

article | Sidang | 2025-01-15 07:10:19

Lebak- Pengadilan Negeri (PN) Rangkasbitung menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara kepada Safiq dan 6 tahun penjara kepada Abay Sobariah. Keduanya dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO)." Para Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Turut Serta Melakukan Percobaan Membawa Warga Negara Indonesia ke luar Wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk di Eksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia” sebagaimana Dakwaan Tunggal Penuntut Umum," kata ketua majelis hakim saat membacakan putusan Selasa (14/1/2025).Duduk sebagai ketua majelis Novita Witri,  dengan hakim anggota Wahyu Iswantoro dan Sarai Dwi Sartika." Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I SAFIQ Bin NUR MUHAMMAD dengan pidana penjara selama 8 tahun dan Terdakwa II ABAY SOBARIAH Binti MADHALIM JASI dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda kepada masing-masing Terdakwa sebesar Rp 250 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan kurungan," ucap majelis.Selain itu, kedua terdakwa juga dibenani untuk membayar Restitusi secara tanggung renteng sebesar Rp.129.732.000 kepada Para Saksi Korban dengan rincian sebagai berikut:- Saksi Korban Ningsih Amanda Putri sebesarRp.32.985.000 berdasarkan Surat Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban No.A.2752.R/KEP/SMP-LPSK/IX Tahun 2024tanggal 02 September 2024 tentang Penilaian Ganti Rugi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban);- Saksi Korban Remiwati sebesarRp.32.170.000,00 (tiga puluh dua juta seratus tujuh puluh ribu rupiah) berdasarkan Surat Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban No.A.2753.R/KEP/SMP-LPSK/IX Tahun 2024tanggal 02 September 2024 tentang Penilaian Ganti Rugi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban);- Saksi Korban Raodah sebesar Rp.32.125.000,00(tiga puluh dua juta seratus dua puluh lima ribu rupiah) (berdasarkan Surat Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban No.A.2754.R/KEP/SMP-LPSK/IX Tahun 2024tanggal 02 September 2024 tentang Penilaian Ganti Rugi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban);- Saksi Korban Ayu sebesar Rp.32.452.000,00(tiga puluh dua juta empat ratus lima puluh dua  ribu rupiah) (berdasarkan Surat Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban No.A.2755.R/KEP/SMP-LPSK/IX Tahun 2024tanggal 02 September 2024 tentang Penilaian Ganti Rugi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban);"Dengan ketentuan apabila dalam waktu 30 hari setelah Putusan berkekuatan hukum Para Terdakwa tetap tidak membayar, maka harta benda miliknya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar restitusi dan apabila hartanya tidak mencukupi untuk membayar restitusi tersebut, maka kepada Para Terdakwa dikenakan pidana pengganti berupa pidana penjara masing-masing selama 6 (enam) bulan," ucap majelis.