Cari Berita

Menggali Penerapan Restitusi Pasca PERMA 1/2022

Yura P. Yudhistira (PN Langsa) – Tim Litbang Dandapala - Dandapala Contributor 2025-10-18 08:00:52
Dok. Penulis.

Dalam konsiderans Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Dan Pemberian Restitusi Dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana (PERMA 1/2022) menyatakan bahwa perkembangan sistem peradilan pidana tidak hanya berorientasi kepada kepentingan pelaku, tetapi juga berorientasi kepada perlindungan korban, sehingga setiap korban tindak pidana tertentu selain mendapatkan hak atas perlindungan, juga berhak atas restitusi dan kompensasi. Pada tahun 2025 ini, PERMA 1/2022 tersebut telah diundangkan kurang lebih selama 3 tahun.

Tim LITBANG DANDAPALA melakukan penelusuran atas penerapan PERMA 1/2022 tersebut. Tim menelusuri putusan-putusan pada situs direktori putusan Mahkamah Agung dengan menyertakan keyword “restitusi” dalam kolom pencarian. Selanjutnya, putusan-putusan yang ada diklasifikasi lagi dimana penelusuran dilakukan pada putusan tingkat kasasi dan tahun register 2023, 2024, dan 2025. Tim LITBANG DANDAPALA menemukan 9 putusan pada tingkat kasasi terkait restitusi dengan register tahun 2024 dan 2025. Berikut beberapa isu hukum yang ditemukan dalam putusan-putusan tersebut.

  1. Perihal pembayaran restitusi yang tidak dapat dipersamakan dengan denda yang jika tidak dibayar dapat langsung diganti dengan pidana penjara/kurungan

Dari penelusuran Tim LITBANG DANDAPALA, terdapat 2 putusan kasasi yang mengoreksi amar putusan terkait restitusi terkait pembayaran restitusi yang tidak dapat dipersamakan dengan denda yang jika tidak dibayar dapat langsung diganti dengan pidana penjara/kurungan.

Dalam putusan nomor 7834 K/Pid.Sus/2024, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan yaitu:

Baca Juga: Victim Impact Statement? Menelisik Peranannya dalam UU TPKS dan PERMA 1 Tahun 2022

Bahwa namun demikian, restitusi sebagai pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada Para Terdakwa tidak serta merta diganti dengan pidana kurungan sebagaimana amar putusan judex facti, melainkan harus melalui prosedur sebagaimana ketentuan Pasal 48 Ayat (6) juncto Pasal 50 Ayat (3) juncto Pasal 50 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang agar restitusi tersebut dapat dibayarkan oleh Terdakwa. Selain itu pula tertulis Restitusi untuk Korban xxx dengan besaran Restitusi sebesar Rp40.703.500,00 (empat puluh juta tujuh ratus dua ribu lima ratus rupiah), tertulis yang dibebankan kepada Terdakwa I. Hj. ROHYANA DEWI alias Hj. YANA sebesar Rp13.225.000,00 (tiga belas juta dua ratus dua puluh lima ribu rupiah), seharusnya yang dibebankan kepada Terdakwa I. Hj. ROHYANA DEWI alias Hj. YANA sebesar Rp35.703.500,00 (tiga puluh lima juta tujuh ratus tiga ribu lima ratus rupiah) dan Terdakwa II. H. SARIMAH IBNU SEDAH, S.IP. sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Oleh karena itu redaksional amar putusan mengenai restitusi tersebut perlu diperbaiki;

Sebelumnya, putusan judex factie menuliskan amar sebagai berikut:

6. Menghukum Para Terdakwa untuk membayar restitusi kepada Para Korban sesuai dengan hitungan LPSK Nomor R- 701/4.1.PPP/LPSK/01/2024 tanggal 22 Januari 2024, dengan ketentuan jika restitusi tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;

Kemudian Mahkamah Agung melalui pertimbangan di atas, memperbaiki amar sebagai berikut:

Dengan ketentuan apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diberikan peringatan tertulis dari Pengadilan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, restitusi tersebut tidak dibayar, maka harta benda masing-masing para Terdakwa disita dan dilelang oleh Jaksa untuk membayar restitusi dan apabila harta benda masing-masing para Terdakwa tidak mencukupi, maka diganti dengan pidana kurungan masing-masing selama 2 (dua) bulan;

Pertimbangan senada ditemukan dalam Putusan Nomor 1058 K/Pid.Sus/2025. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan bahwa:

Bahwa penghukuman pembayaran restitusi tidak dapat dipersamakan dengan denda yang jika tidak dibayar dapat langsung diganti dengan pidana penjara/kurungan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur. Merujuk pada ketentuan Pasal 50 Ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dipertegas dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana, dalam Pasal 8 Angka 13 disebutkan "Dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dan terorisme, putusan memuat pula lamanya pidana penjara atau kurungan pengganti sesuai dengan ketentuan undang-undang, yakni dalam hal harta kekayaan Terdakwa dan/atau pihak ketiga tidak mencukupi, yang dihitung secara proporsional berdasarkan jumlah restitusi yang telah dibayarkan oleh Terdakwa dan/atau pihak ketiga;

Dalam perkara 1058 K/Pid.Sus/2025 tersebut, Mahkamah Agung menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:

2. Menghukum Terdakwa untuk membayar restitusi sebesar Rp106.914.800,00 (seratus enam juta sembilan ratus empat belas ribu delapan ratus rupiah) secara tanggung renteng dengan Saksi Ardli Fajar Achmadi alias Apenk bin Zafir Ahmad dan Saksi Lusiana Wati alias Ibu Ana binti Musa kepada Saksi Korban, antara lain: 1. xxx; 2. xxx; 3. Saksi xxx; dan 4. Saksi xxx dengan masing-masing menerima: 1. Saksi xxx sebesar Rp32.110.500,00 (tiga puluh dua juta serratus sepuluh ribu lima ratus rupiah); 2. Saksi xxx sebesar Rp34.340.900,00 (tiga puluh empat juta tiga ratus empat puluh ribu sembilan ratus rupiah); 3. Saksi xxx sebesar Rp14.059.000,00 (empat belas juta lima puluh sembilan ribu rupiah) dan 4. Saksi xxx sebesar Rp26.404.400,00 (dua puluh enam juta empat ratus empat ribu empat ratus rupiah) dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila Terdakwa tidak membayar restitusi tersebut, maka harta kekayaannya disita dan dilelang untuk membayar restitusi, dalam hal harta kekayaannya tidak mencukupi untuk membayar restitusi, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;

Kedua putusan di atas merupakan penegasan atas Pasal 8 ayat (13) dan Pasal 30 ayat (12) PERMA 1/2022. Pasal 8 ayat (13) menyatakan bahwa “putusan memuat pula lamanya pidana penjara atau kurungan pengganti sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, yakni dalam hal harta kekayaan terdakwa dan/ atau Pihak Ketiga tidak mencukupi, yang dihitung secara proporsional.” Sedangkan Pasal 30 ayat 12 menyatakan bahwa “Dalam hal harta kekayaan pelaku tindak pidana dan/ atau Pihak Ketiga tidak mencukupi untuk memenuhi pemberian Restitusi dan terdakwa dijatuhi putusan pidana kurungan atau pidana penjara pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (13).”

2.    Perihal Undang-Undang sebagai dasar penjatuhan pidana tidak mengatur restitusi mengenai secara spesifik

Tim LITBANG DANDAPALA juga menemukan putusan yang menjatuhkan restitusi namun Undang-Undang sebagai dasar penjatuhan pidana tidak mengatur restitusi mengenai secara spesifik.

Dalam perkara 6966 K/Pid.Sus/2024, Terdakwa didakwa secara alternatif dengan dakwaan kesatu Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, kedua Pasal 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, ketiga Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, keempat Pasal 81 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, atau kelima Pasal 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

Judex factie menjatuhkan pidana dengan menyatakan bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam dakwaan kesatu yaitu Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). UU TPPO sendiri memang mengatur secara spesifik mengenai restitusi.

Namun pada tingkat kasasi, judex jurist menyatakan bahwa Tindakan Terdakwa lebih tepat dikualifikasikan melanggar dakwaan kelima yakni Pasal 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Bila ditelusuri, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia tidak mengatur dan menyebutkan tentang restitusi.

Perihal ini, Mahkamah Agung kemudian mempertimbangkan sebagai berikut:

− Bahwa meskipun dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia tidak mengatur tentang restitusi, namun LPSK dengan Keputusannya Nomor R-2650/4.1.PPP/ LPSK/09/2023 tanggal 20 September telah melakukan penghitungan restitusi yang harus dibayar Terdakwa kepada Korban xxx sebesar Rp125.804.000,00 (seratus dua puluh lima juta delapan ratus empat ribu rupiah), berdasarkan kerugian nyata yang dialami korban xxx. Oleh karena itu sejalan dengan keadilan restoratif Dimana kepentingan korban harus diperhatikan dalam penyelesaian perkara, maka layak dan adil dalam perkara a quo terhadap Terdakwa dibebani untuk membayar restitusi kepada Korban xxx yang besarnya sesuai keputusan LPSK tersebut;

Atas dasar pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung menuliskan amar mengenai restitusi sebagai berikut:

Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar restitusi kepada Korban xxx sebesar Rp125.804.000,00 (seratus dua puluh lima juta delapan ratus empat ribu rupiah) sesuai dengan Surat LPSK Nomor R-2650/4.1.PPP/LPSK/09/2023 tanggal 20 September 2023, apabila tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;

PERMA 1/2022 sendiri mengatur dalam ruang lingkupnya menyatakan bahwa PERMA 1/2022 ini berlaku terhadap: a. permohonan Restitusi atas perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK sebagaimana dimaksud ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.    Perihal penyebutan pidana penjara/kurungan sebagai pengganti dalam hal harta kekayaan Terdakwa tidak cukup untuk membayar restitusi dalam amar putusan

Hal lain yang juga ditemukan dalam putusan-putusan MA mengenai restitusi tersebut adalah mengenai pidana penjara/kurungan sebagai pengganti dalam hal harta kekayaan Terdakwa tidak cukup.  Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa dalam Pasal 8 ayat (12) menyebutkan bahwa dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dan terorisme, putusan memuat pula lamanya pidana penjara atau kurungan pengganti sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, yakni dalam hal harta kekayaan terdakwa dan/ atau Pihak Ketiga tidak mencukupi, yang dihitung secara proporsional berdasarkan jumlah Restitusi yang telah dibayarkan oleh terdakwa dan/ atau Pihak Ketiga.

Kemudian mengenai ini diatur juga dalam Pasal 30 ayat (12) menyebutkan bahwa dalam hal harta kekayaan pelaku tindak pidana dan/ atau Pihak Ketiga tidak mencukupi untuk memenuhi pemberian Restitusi dan terdakwa dijatuhi putusan pidana kurungan atau pidana penjara pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (13) dan ayat (14), Jaksa Agung/Jaksa/Oditur melaksanakan putusan terkait pidana kurungan atau pidana penjara pengganti tersebut.

Dari penjabaran pasal-pasal di atas, mengenai pidana penjara atau kurungan pengganti dalam hal harta kekayaan terdakwa tidak cukup membayar restitusi dapat dijatuhkan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dan terorisme. Namun, dalam Pasal 30 ayat (12) yang tercantum dalam Bab IV Bagian Kesatu mengenai Pelaksanaan Pemberian Restitusi tidak disebutkan tindak pidana secara spesifik mengenai penjatuhan pidana kurungan/penjara dalam hal harta kekayaan tidak cukup.

Dalam perkara nomor 1662 K/Pid.Sus/2025 yang merupakan perkara mengenai perlindungan anak, Mahkamah Agung menjatuhkan pidana kurungan dalam hal harta benda Terdakwa tidak cukup membayar restitusi. Mahkamah Agung menjatuhkan amar sebagai berikut:

Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar Restitusi sebesar Rp47.111.500,00 (empat puluh tujuh juta seratus sebelas ribu lima ratus rupiah) dengan ketentuan jika Terdakwa tidak membayar Restitusi paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi Restitusi tersebut, dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka dipidana kurungan selama 2 (dua) bulan;

Amar tersebut merupakan perbaikan dari amar judex factie yang tidak mencantumkan pidana kurungan pengganti dalam hal harta benda Terdakwa tidak cukup untuk pembayaran restitusi.

Mahkamah Agung juga menjatuhkan pidana pengganti dalam hal harta benda Terdakwa tidak cukup untuk membayar restitusi dalam perkara 6966 K/Pid.Sus/2024. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, dalam perkara tersebut dijatuhkan menggunakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, bukan tindak pidana perdagangan orang ataupun terorisme sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (12) PERMA 1/2022. Namun dalam amar putusannya, Mahkamah Agung menjatuhkan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan jika harta Terdakwa yang dilelang tidak cukup untuk membayar restitusi.

Demikian juga dengan perkara nomor 7346 K/Pid.Sus/2024 mengenai tindak pidana kekerasan seksual. Majelis Hakim Agung dalam perkara tersebut menjatuhkan amar sebagai berikut:

Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar restitusi kepada ------------- Anak Korban ---------------- sebesar Rp4.610.000,00 (empat juta enam ratus sepuluh ribu rupiah), dengan ketentuan jika Terdakwa tidak membayar restitusi paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi restitusi tersebut. Dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar restitusi tersebut, maka dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan;

Baca Juga: Pertama di PN Sei Rampah, Restitusi di Kabulkan

Namun demikian, meskipun tidak ditegaskan dalam PERMA 1/2022 mengenai penyebutan pidana penjara/kurungan pengganti dalam hal harta kekayaan tidak cukup Terdakwa untuk membayar restitusi, dalam Mahkamah Agung menegaskan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang memang mengatur mengenai pidana penjara pengganti dalam hal harta kekayaan Terdakwa tidak cukup. Pasal 33 ayat (7) UU TPKS menyebutkan bahwa jika harta kekayaan terpidana yang disita) tidak mencukupi biaya Restitusi, maka terpidana dikenai pidana penjara pengganti tidak melebihi ancaman pidana pokoknya.  (wi/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag