Dalam sistem peradilan pidana
modern, peran hakim tidak hanya terbatas pada menjatuhkan sanksi kepada pelaku
kejahatan, tetapi juga mencerminkan upaya untuk mewujudkan suatu keadilan
substantif, termasuk memberikan perlindungan terhadap korban.
Salah
satu wujud dari perlindungan terhadap korban adalah pemberian restitusi, yaitu
ganti rugi dari pelaku kepada korban atas kerugian yang diderita.
Restitusi
yang seharusnya menjadi hak dari korban belum sepenuhnya diketahui oleh korban
itu sendiri, mulai tentang syarat pengajuan restitusi dan mekanismenya.
Baca Juga: Menggali Penerapan Restitusi Pasca PERMA 1/2022
Latar
belakang inilah yang memunculkan pertanyaan bagaimana pelaksanaan penyampaian
hak atas restitusi kepada korban oleh hakim sebagai perwujudan perilaku adil
dan profesionalisme dalam penegakan hukum pidana?
Dalam
menjalankan tugasnya, hakim berlandaskan asas keadilan, asas kepastian hukum,
dan asas kemanfaatan. Ketiga asas tersebut menjadi pedoman bagi hakim untuk
memastikan bahwa proses peradilan berjalan sesuai prosedur, serta agar putusan
yang dijatuhkan proporsional dan mencerminkan perlindungan hukum pada korban.
Salah satu peran hakim dalam menegakan keadilan terkhusus pada korban adalah
berkaitan dengan penyampaian hak atas restitusi kepada korban.
Restitusi
berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada
Korban Tindak Pidana (Perma No.1 Tahun 2022), yaitu ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak
ketiga.
Definisi
restitusi juga tercantum dalam Pasal 1 angka 20 UU No.12 Tahun 2022 tentang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU No.12 Tahun 2022) yang menyatakan bahwa
restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau
pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap, atas kerugian materiil dan/ atau immateriil yang diderita korban
atau ahli warisnya.
Adapun
yang masuk klasifikasi pemohon restitusi adalah korban, keluarga, orang tua,
wali, ahli warisnya, kuasa hukum, atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK).
Sedangkan
yang masuk dalam klasifikasi termohon restitusi adalah pelaku tindak pidana
atau orang tua atau wali, dalam hal pelaku tindak pidana adalah anak.
Pada
saat ini lingkup restitusi masih limitatif, hanya dapat diajukan terhadap
perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang pidana berat,
terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait
anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun
sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 30 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022, korban
tindak pidana kekerasan seksual juga berhak mendapatkan restitusi.
Dalam
Pasal 3 Perma No.1 Tahun 2022 telah menyatakan bahwa pengadilan yang mengadili
pelaku tindak pidana lah yang berwenang mengadili permohonan restitusi. Adapun
bentuk restitusi yang menjadi hak korban telah tercantum dalam Pasal 4 Perma
No.1 Tahun 2022, meliputi:
- Ganti
kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan.
- Ganti
kerugian, baik materiil maupun immateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan
yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana.
- Penggantian
biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
- Kerugian
lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya
transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan
proses hukum.
Pengajuan
dan pemeriksaan permohonan restitusi dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Sebelum
putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (Pasal 8- 10 Perma No.1 Tahun 2022)
Permohonan restitusi dapat diajukan melalui
LPSK, penyidik, penuntut umum, atau oleh korban. Jika restitusi akan dibayarkan
pihak ketiga maka pihak ketiga wajib hadir dipersidangan. Hakim akan memeriksa
berkas permohonan restitusi dan memberikan penilaian hukumnya terhadap alat
bukti yang telah diajukan di persidangan yang akan dicantumkan dalam
pertimbangan hukumnya dalam putusan. Adapun putusan yang dibuat wajib memuat
diterima atau tidaknya restitusi, alasan menerima atau menolak, dan besaran
restitusi yang dibayarkan oleh terdakwa atau orang tua terdakwa dalam hak terdakwa
anak, dan/atau pihak ketiga.
2) Setelah
putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (Pasal
11-15 Perma No.1 Tahun 2022)
Permohonan restitusi dapat
diajukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak pemohon mengetahui putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap. Diajukan oleh pemohon kepada pengadilan
secara langsung atau melalui LPSK. Pemeriksaan persidangan yang akan
berlangsung meliputi: pembacaan permohonan pemohon, pembacaan jawaban termohon,
pemeriksaan alat bukti, dan pembacaan penetapan. Pengadilan paling lambat 21
(dua puluh satu) hari sejak sidang pertama akan memutus permohonan restitusi
tersebut dalam bentuk penetapan.
Hakim memiliki peran sentral dalam proses
pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi. Pada saat proses pengajuan dan
pemeriksaan permohonan restitusi hakim harus berperilaku adil dan bersikap
profesional sebagaimana bagian dari prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim (KEPPH). Berperilaku adil memiliki makna hakim dalam menjalankan
profesinya harus menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi
haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya
di depan hukum.
Baca Juga: Victim Impact Statement? Menelisik Peranannya dalam UU TPKS dan PERMA 1 Tahun 2022
Dikaitkan dengan hak korban untuk mengajukan
restitusi, dalam Pasal 31 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022 telah menyatakan bahwa
hakim wajib memberitahukan hak atas restitusi kepada korban dan LPSK. Tugas
hakim dalam memberitahukan hak korban atas restitusi juga bersesuain dengan apa
yang tercantum dalam Pasal 8 Ayat (4) Perma No.1 Tahun 2022.
Seorang
hakim yang mengimplementasikan perilaku adil akan memberikan apa yang menjadi
hak dari seseorang salah satunya akan memberikan hak korban untuk mendapatkan
informasi tentang restitusi. Hakim yang mematuhi apa yang dikehendaki dalam
peraturan perundang undang, akan menunjukan juga bahwa hakim tersebut telah
mengimplementasikan pula sikap profesional. Dalam rangka mengimplementasikan
perilaku adil dan profesional dalam penyampaian kewajiban pemberitahuan hak restitusi
kepada korban, maka hakim dapat melakukan beberapa hal berikut, yaitu:
- Menyampaikan hak restitusi kepada korban secara lisan, pada saat persidangan korban tidak mengajukan permohonan restitusi namun hadir di persidangan sebagai saksi, hakim menyampaikan bahwa korban memiliki hak untuk mengajukan restitusi yang dapat diajukan sebelum jaksa menyampaikan tuntutannya atau setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Menyampaikan hak restitusi kepada korban secara tertulis, setelah hakim memberikan informasi kepada korban tentang hak yang dimilikinya yaitu mengajukan restitusi, maka hakim dalam putusannya membunyikan hal tersebut dengan cara mencantumkan dalam putusan bahwa hakim telah menyampaikan hak atas restitusi kepada korban, namun sampai pada saat diajukannya tuntutan oleh penuntut umum, korban tidak menggunakan haknya untuk mengajukan restitusi. Hakim juga dapat mencantumkan dalam putusan bahwa korban masih memiliki hak untuk mengajukan restitusi setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI