Cari Berita

Wajibkah Hakim Menyampaikan Hak Atas Restitusi Kepada Korban di Persidangan?

Alip Pamungkas Raharjo–Hakim PN Watansoppeng - Dandapala Contributor 2025-12-12 07:20:18
Dok. Penulis.

Dalam sistem peradilan pidana modern, peran hakim tidak hanya terbatas pada menjatuhkan sanksi kepada pelaku kejahatan, tetapi juga mencerminkan upaya untuk mewujudkan suatu keadilan substantif, termasuk memberikan perlindungan terhadap korban.

Salah satu wujud dari perlindungan terhadap korban adalah pemberian restitusi, yaitu ganti rugi dari pelaku kepada korban atas kerugian yang diderita.

Restitusi yang seharusnya menjadi hak dari korban belum sepenuhnya diketahui oleh korban itu sendiri, mulai tentang syarat pengajuan restitusi dan mekanismenya.

Baca Juga: Menggali Penerapan Restitusi Pasca PERMA 1/2022

Latar belakang inilah yang memunculkan pertanyaan bagaimana pelaksanaan penyampaian hak atas restitusi kepada korban oleh hakim sebagai perwujudan perilaku adil dan profesionalisme dalam penegakan hukum pidana?

Dalam menjalankan tugasnya, hakim berlandaskan asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas kemanfaatan. Ketiga asas tersebut menjadi pedoman bagi hakim untuk memastikan bahwa proses peradilan berjalan sesuai prosedur, serta agar putusan yang dijatuhkan proporsional dan mencerminkan perlindungan hukum pada korban. Salah satu peran hakim dalam menegakan keadilan terkhusus pada korban adalah berkaitan dengan penyampaian hak atas restitusi kepada korban.

Restitusi berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana (Perma No.1 Tahun 2022), yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.

Definisi restitusi juga tercantum dalam Pasal 1 angka 20 UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU No.12 Tahun 2022) yang menyatakan bahwa restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiil dan/ atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.

Adapun yang masuk klasifikasi pemohon restitusi adalah korban, keluarga, orang tua, wali, ahli warisnya, kuasa hukum, atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Sedangkan yang masuk dalam klasifikasi termohon restitusi adalah pelaku tindak pidana atau orang tua atau wali, dalam hal pelaku tindak pidana adalah anak.

Pada saat ini lingkup restitusi masih limitatif, hanya dapat diajukan terhadap perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang pidana berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 30 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022, korban tindak pidana kekerasan seksual juga berhak mendapatkan restitusi.

Dalam Pasal 3 Perma No.1 Tahun 2022 telah menyatakan bahwa pengadilan yang mengadili pelaku tindak pidana lah yang berwenang mengadili permohonan restitusi. Adapun bentuk restitusi yang menjadi hak korban telah tercantum dalam Pasal 4 Perma No.1 Tahun 2022, meliputi:

  1. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan.
  2. Ganti kerugian, baik materiil maupun immateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana.
  3. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
  4. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.

Pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

1)    Sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (Pasal 8- 10 Perma No.1 Tahun 2022)

Permohonan restitusi dapat diajukan melalui LPSK, penyidik, penuntut umum, atau oleh korban. Jika restitusi akan dibayarkan pihak ketiga maka pihak ketiga wajib hadir dipersidangan. Hakim akan memeriksa berkas permohonan restitusi dan memberikan penilaian hukumnya terhadap alat bukti yang telah diajukan di persidangan yang akan dicantumkan dalam pertimbangan hukumnya dalam putusan. Adapun putusan yang dibuat wajib memuat diterima atau tidaknya restitusi, alasan menerima atau menolak, dan besaran restitusi yang dibayarkan oleh terdakwa atau orang tua terdakwa dalam hak terdakwa anak, dan/atau pihak ketiga.

2)    Setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (Pasal 11-15 Perma No.1 Tahun 2022)

Permohonan restitusi dapat diajukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak pemohon mengetahui putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Diajukan oleh pemohon kepada pengadilan secara langsung atau melalui LPSK. Pemeriksaan persidangan yang akan berlangsung meliputi: pembacaan permohonan pemohon, pembacaan jawaban termohon, pemeriksaan alat bukti, dan pembacaan penetapan. Pengadilan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak sidang pertama akan memutus permohonan restitusi tersebut dalam bentuk penetapan.

Hakim memiliki peran sentral dalam proses pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi. Pada saat proses pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi hakim harus berperilaku adil dan bersikap profesional sebagaimana bagian dari prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Berperilaku adil memiliki makna hakim dalam menjalankan profesinya harus menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum.

Baca Juga: Victim Impact Statement? Menelisik Peranannya dalam UU TPKS dan PERMA 1 Tahun 2022

Dikaitkan dengan hak korban untuk mengajukan restitusi, dalam Pasal 31 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022 telah menyatakan bahwa hakim wajib memberitahukan hak atas restitusi kepada korban dan LPSK. Tugas hakim dalam memberitahukan hak korban atas restitusi juga bersesuain dengan apa yang tercantum dalam Pasal 8 Ayat (4) Perma No.1 Tahun 2022.

Seorang hakim yang mengimplementasikan perilaku adil akan memberikan apa yang menjadi hak dari seseorang salah satunya akan memberikan hak korban untuk mendapatkan informasi tentang restitusi. Hakim yang mematuhi apa yang dikehendaki dalam peraturan perundang undang, akan menunjukan juga bahwa hakim tersebut telah mengimplementasikan pula sikap profesional. Dalam rangka mengimplementasikan perilaku adil dan profesional dalam penyampaian kewajiban pemberitahuan hak restitusi kepada korban, maka hakim dapat melakukan beberapa hal berikut, yaitu:

  1. Menyampaikan hak restitusi kepada korban secara lisan, pada saat persidangan korban tidak mengajukan permohonan restitusi namun hadir di persidangan sebagai saksi, hakim menyampaikan bahwa korban memiliki hak untuk mengajukan restitusi yang dapat diajukan sebelum jaksa menyampaikan tuntutannya atau setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
  2. Menyampaikan hak restitusi kepada korban secara tertulis, setelah hakim memberikan informasi kepada korban tentang hak yang dimilikinya yaitu mengajukan restitusi, maka hakim dalam putusannya membunyikan hal tersebut dengan cara mencantumkan dalam putusan bahwa hakim telah menyampaikan hak atas restitusi kepada korban, namun sampai pada saat diajukannya tuntutan oleh penuntut umum, korban tidak menggunakan haknya untuk mengajukan restitusi. Hakim juga dapat mencantumkan dalam putusan bahwa korban masih memiliki hak untuk mengajukan restitusi setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…