Landak, Kalbar – Pengadilan Negeri (PN) Ngabang menjatuhkan vonis 7 tahun penjara kepada Lex Bony Andespa Barus alias Bony (31), seorang warga Dusun Karuh, Desa Amboyo Inti, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
Majelis Hakim PN Ngabang menyatakan Bony terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian terhadap Korban inisial YJB, saudara sekaligus mantan karyawannya pada hari Rabu (15/10/2025).
“Menyatakan Terdakwa Lex Bony Andespa Barus Alias Bony Anak Calon Barus tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penganiayaan yang mengakibatkan mati” sebagaimana dakwaan Penuntut Umum,” ucap Majelis Hakim saat membacakan amar Putusan No. 75/Pid.B/2025/PN Nba.
Baca Juga: Menilisik Ajaran Kausalitas dalam Penerapan Peristiwa Pidana di Pengadilan
Kasus tersebut bermula dari dugaan pencurian buah sawit oleh Yoris di RAM (tempat pengumpulan TBS) milik Terdakwa. Pada Jumat, (30/05/2025), Bony mengetahui keberadaan Korban di rumah kakak Wira Suprianto di Desa Raja Simpang 3.
Ia kemudian menjemput Korban, mengikatkan tangan dan kakinya dengan tali rapia dan nilon, lalu membawanya menggunakan mobil pick-up milik Angga Hakiki.
Dalam perjalanan menuju RAM (tempat pengumpulan TBS) milik Terdakwa, dirinya menganiaya Korban dengan menginjak dan menendang kepala korban berulang kali, sekitar 10 kali di dalam bak mobil. Saat tiba di lokasi, kondisi Korban sudah kritis, wajah lebam, mulut berdarah, dan tidak sadarkan diri. Meski sempat dibawa ke Polres Landak dan kemudian ke RSUD Landak, Yoris dinyatakan meninggal dunia pada pukul 20.48 WIB.
Putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Albon Damanik didampingi Para Hakim Anggota Rini Masythah dan Rio Rinaldi Silalahi ini telah menarik perhatian masyarakat Kab. Landak, karena majelis hakim tetap menyatakan Terdakwa bersalah meskipun tidak ada otopsi atau pemeriksaan forensik lengkap terhadap jenazah korban.
Hal ini disebabkan Keluarga Korban menolak dilakukannya autopsi, sebagaimana diungkap dalam pertimbangan hukum putusan.
“Menimbang, bahwa tidak dilakukan Autopsi terhadap Korban setelah Korban dinyatakan meninggal dunia sehingga penyebab meninggalnya Korban tidak dapat dipastikan, sementara untuk menentukan suatu perbuatan dapat mengakibatkan kematian diperlukan uji lebih lanjut mengenai korelasi antara bestanddelen delik atau perbuatan inti oleh mana dalam unsur ini adalah penganiayaan yang dilakukan oleh Terdakwa dengan akibat yang ditimbulkan atas perbuatan tersebut yaitu matinya korban,” ungkap Majelis Hakim.
Namun majelis hakim menyatakan bahwa meskipun penyebab pasti kematian tidak dapat dipastikan secara medis akibat tidak adanya otopsi, hubungan sebab-akibat antara penganiayaan dan kematian korban tetap dapat dibuktikan melalui teori kausalitas. Perbuatan Yoris yang sengaja memiting, mengikat, dan menginjak kepala korban menyebabkan korban tidak dapat membela diri dan membuat kondisinya kritis.
Putusan juga menyentil prosedur penyidikan. Majelis hakim menyoroti bahwa penyidik seharusnya tidak langsung menghormati penolakan keluarga terhadap autopsi, melainkan wajib menjelaskan secara rinci pentingnya pemeriksaan tersebut demi kepentingan pembuktian, sebagaimana diatur dalam Pasal 134 ayat (1) dan (2) KUHAP.
Baca Juga: Penguatan Integritas dan Akurasi Kinerja, WKPT Pontianak Tinjau 4 Satker Ini!
Namun, meski bukti medis tidak lengkap, konsistensi keterangan saksi, pengakuan terdakwa, dan surat visum cukup membentuk keyakinan hakim bahwa penganiayaan yang dilakukan terdakwa secara langsung menyebabkan kematian korban.
Atas putusan yang dibacakan tersebut Terdakwa dan Penuntut Umum diberikan kesempatan waktu untuk pikir-pikir atau menolak dengan mengajukan banding atas putusan. (zm/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI