Cari Berita

Komnas HAM : Restorative Justice Bukan Celah Transaksi Hukum

William Edward Sibarani - Dandapala Contributor 2025-09-24 19:00:45
Dok. DPR

Jakarta – Komisi III DPR RI menyoroti potensi penyalahgunaan mekanisme restorative justice (RJ) dalam penanganan perkara pidana. Dalam rapat bersama Kementerian Hukum dan HAM serta Komnas HAM pada Senin (22/09/2025), Komnas HAM menekankan agar RJ tidak boleh dijadikan “jalan pintas” dalam kasus transaksional, terutama yang melibatkan korporasi atau konflik agraria.

“Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah menerbitkan peraturan teknis mengenai restorative justice secara detil untuk mencegah penyalahgunaan RJ oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,” ujar Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah.

Sebagaimana paparan Komnas HAM, sejumlah tindak pidana dikecualikan dari penerapan RJ, antara lain terorisme, korupsi, narkotika (kecuali pengguna), tindak pidana dengan ancaman lima tahun penjara ke atas, kekerasan seksual, hingga pelanggaran hak asasi manusia berat. Secara khusus, Pasal 77 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengatur bahwa kasus kekerasan seksual harus dikeluarkan dari mekanisme RJ, dengan pertimbangan kerugian dan dampak negatif yang harus dialami korban.

Baca Juga: Hukuman Mati, Perspektif Perbandingan UUD 1945 dan UU HAM

Komnas HAM juga memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, perlunya keberadaan fasilitator atau mediator independen di luar aparat penegak hukum guna mencegah penyalahgunaan RJ. Kedua, korban rentan dipaksa berdamai dalam kasus kekerasan domestik, sehingga tindak pidana kekerasan seksual perlu tetap dikecualikan dari RJ. Ketiga, diperlukan aturan teknis yang lebih jelas, termasuk melalui peraturan pemerintah, agar pelaksanaan RJ memiliki kepastian hukum. Keempat, RJ tidak boleh digunakan untuk kasus pelanggaran HAM berat karena berisiko menimbulkan impunitas.

Selain itu, sejumlah anggota dewan menegaskan bahwa pengalaman di berbagai negara maju menunjukkan keberhasilan RJ hanya dapat dicapai jika didukung aturan yang kuat, aparat yang profesional, dan budaya hukum yang matang. 

“Saat ini kita sedang masuk ke dalam penyusunan substansi hukum. Untuk menghindari potensi penyalahgunaan RJ, perlu dukungan dari pemangku kepentingan terkait. Pemerintah juga perlu menggali aspirasi masyarakat agar mekanisme RJ yang dirumuskan benar-benar membingkai keadilan bagi seluruh pihak,” ujar I Wayan Soedirta, anggota Komisi III.

Baca Juga: Perma RJ Tahun 2024: Mencegah Pergeseran Paradigma Sekadar Perdamaian

Selain itu, Soedeson Tandra, juga menilai perlu ada pemisahan tegas antara RJ dan plea bargaining agar tidak terjadi tumpang tindih dalam praktik hukum. 

“Saat ini, asas unus testis nullus testis atau satu saksi bukan saksi dianggap sudah kuno di beberapa negara. Sebaliknya, kini berkembang prinsip maximum evidence yang menekankan pentingnya bukti maksimal, sehingga tidak cukup hanya dua bukti atau dua saksi untuk menguatkan pembuktian perkara, sehingga DPR sangat memerlukan masukan dari Komnas HAM dan Kementerian HAM agar pelaksanaan hukum acara pidana berjalan efektif dan tidak menimbulkan celah untuk mengelabui hukum”, tambahnya. (SNR/FAC)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag