Cibinong, Jawa Barat – Pengadilan Negeri (PN) Cibinong menuai apresiasi dari Para Pemerhati Lingkungan atas putusan terbarunya. Dalam perkara Nomor 212/Pdt.G/2025/PN Cbi, majelis hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan gugatan terhadap 2 Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) termasuk dalam kategori Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation). Selain 2 akademiisi IPB, turut digugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta IPB Cq Rektor IPB Cq Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan.
Ketua Majelis Ratmini, didampingi Para Hakim Anggota Erlinawati dan Ahmad Taufik, membacakan putusan tersebut di ruang sidang PN Cibinong, Rabu, (8/10/2025). Dalam amar putusannya, Majelis menyatakan, “Mengabulkan eksepsi para tergugat dan turut tergugat I. Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).”
Perkara ini berawal dari gugatan PT Kalimantan Lestari Mandiri (PT KLM) terhadap 2 akademisi IPB, Prof. Bambang Hero Saharjo dan Prof. Basuki Wasis. Kedua akademisi tersebut sebelumnya memberikan hasil penelitian dan perhitungan kerugian akibat kebakaran lahan gambut di area perkebunan milik PT KLM.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Anti SLAPP di Indonesia
Dalam gugatannya PT KLM menyatakan perhitungan kerugian akibat kebakaran yang dilakukan oleh keduanya keliru dan dan bertentangan dengan keahliannya. Sebelumnya hasil penelitian dan hasil perhitungan menjadi bagian penting dalam pembuktian perkara lingkungan hidup yang telah berkekuatan hukum tetap.
Melalui kuasa hukumnya, kedua akademisi IPB termasuk Kemenlhk mengajukan eksepsi atas gugatan tersebut. Mereka menilai gugatan PT KLM melanggar Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Melalui pertimbangannya, Majelis Hakim menegaskan mekanisme anti-SLAPP (gugatan Strategic Lawsuit Against Public Participant) tidak hanya bertujuan melindungi masyarakat yang melakukanh upaya hukum (mengadukan pelanggaran administrasi, melaporkan adanya tindak pidana, menggugat sengketa) melainkan melindungi masyarakat yang melakukan partisipasi publik terhadap kepentingan publik secara luas atau komunikasi mengenai kepentingan publik.
“Bentuk partisipasi publik bisa sangat beragam, partisipasi publik pun bisa dilakukan dalam berbagai tahapan proses pemerintahan mulai dari perencanaan hingga penegakan hukum, dan kepentingan publik memiliki spektrum yang luas,” tegas Majelis Hakim dalam pertimbangannya tersebut.
Majelis Hakim juga mengutip pendapat para Ahli Pring dan Canan yang mengidentifikasi 4 ciri perkara berkarakter SLAPP berupa gugatan perdata terhadap individu atau organisasi non-pemerintah, dilatarbelakangi komunikasi kepada pejabat publik atau lembaga pemerintahan, dan menyangkut isu kepentingan publik.
Kriteria ini kemudian dilengkapi oleh Benson dan Merriam yang menambahkan unsur adanya motif politik atau ekonomi tersembunyi dalam gugatan tanpa dasar kuat.
Majelis hakim turut menyinggung Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XXIII/2025, yang memperluas makna Penjelasan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Melalui putusan tersebut, perlindungan tidak hanya diberikan kepada korban dan pelapor, tetapi juga kepada saksi, ahli, dan aktivis lingkungan yang berpartisipasi dalam upaya perlindungan lingkungan hidup.
Majelis Hakim kemudian menegaskan, hak untuk berpartisipasi juga dijamin dalam Pasal 65 UU PPLH dan Pasal 48 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Kedua regulasi ini memberikan perlindungan hukum bagi setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya memberikan penilaian terhadap bukti permulaan yang diajukan oleh kuasa kedua Ahli IPB tersebut, dan dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan kedua Ahli IPB tersebut masuk dalam pengertian setiap orang yang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia yang mempergunakan haknya untuk berpartisipasi dalam bentuk penyampaian pendapat, kesaksian, atau keterangan sebagai ahli.
“Dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup akibat adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dengan kata lain apa yang dilakukan Tergugat I dan Tergugat II merupakan bentuk perjuangan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dilindungi oleh hukum," lanjut Majelis Hakim dalam pertimbangannya.
Majelis Hakim berkesimpulan gugatan Penggugat terhadap Tergugat I dan Tergugat II memenuhi kriteria gugatan ANTI SLAPP. “Gugatan yang diajukan oleh Penggugat merupakan cara pembungkaman terhadap aktivis / pejuang lingkungan dimana gugatan yang diajukan Penggugat tanpa dasar yang kuat dan mengandung motif ekonomi tersembunyi,” bunyi pertimbangan tersebut.
Baca Juga: Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP
“Menimbang, bahwa oleh karena Eksepsi terkait dengan pelanggaran Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diajukan oleh Para Tergugat dan Turut Tergugat I dikabulkan, maka gugatan dari Penggugat haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard)” tutup Majelis Hakim dalam pertimbangannya.
Atas putusan tersebut, Para Pihak masih mempunyai kesempatan untuk mengajukan upaya hukum. (zm/fac)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI