Beberapa
hari yang lalu waktu saya dan rekan rekan Hakim yang lain sedang mengambil air
di kantor kami dengan galon untuk mengisi air guna memenuhi bak mandi di Rumah
Dinas kami karena aliran air yang seringkali mati, terjadi percakapan yang
cukup menggugah hati saya.
“Ternyata selain ancaman
keamanan, ancaman tidak bisa mandi juga jadi ancaman sebagai seorang hakim ya”
celetuk salah satu rekan saya sambil tertawa. Moment ini bertepatan dengan
terjadinya kebakaran di salah satu Rumah Hakim Senior kami di Medan. Hal ini
menjadi pertanyaan besar di kepala saya, karena sesungguhnya seiring berjalan
waktu menjadi Hakim saya sering menganggap keamanan saya dalam bekerja sebagai
Hakim bukan suatu hal yang penting dan menjalaninya adalah sebuah resiko
pekerjaan, padahal bukan itu yang menjadi sebuah tujuan bukan atau saking sudah
terbiasanya?
Keamanan
hakim dalam kehidupan dunia peradilan saat ini merupakan komponen penting yang
menentukan kualitas hukum dan keadilan. Namun yang menjadi pertanyaan mendasar,
apakah ancaman yang dihadapi hakim merupakan konsekuensi dari pekerjaan mereka
sendiri atau justru hasil dari pembiaran negara? Semakin banyak kasus intimidasi,
ancaman, dan bahkan kekerasan verbal maupun non verbal terhadap hakim yang
seharusnya dilindungi.
Baca Juga: Kasus Korupsi Tagihan Fiktif, Mantan Dua Bos Telkom Akses Dibui 7 Tahun
Hakim
membutuhkan integritas moral dan intelektual serta keberanian mental untuk
membuat putusan yang tidak selalu disukai memuaskan semua orang. Seorang hakim
sering kali menghadapi resiko yang melebihi batas-batas normal yang bisa
dibayangkan Bisa dibayangkan bagaimana ketika para hakim ini harus memutuskan perkara
yang melibatkan figur kuat atau mengadili sengketa tanah dengan pihak-pihak
berpengaruh di Negara ini, tentu tidak bisa dipungkiri hal ini tetap memiliki
Faktor Faktor yang tidak bisa diprediksi. Ironisnya, negara yang seharusnya
berperan sebagai pelindung utama kadang-kadang tampak tidak melakukan apa-apa
atau merespons terlambat.
Hak
keamanan hakim adalah hak dasar yang dijamin, prinsip-prinsip ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “hakim
dan hakim konstitusi diberikan penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin
persidangan.
Hakim
dan hakim konstitusi harus diberikan perlindungan keamanan oleh konstitusi aparat
terkait yakni aparat kepolisian agar hakim dan hakim konstitusi mampu
memeriksa, mengadili dan memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya
tekanan atau intervensi dari pihak manapun.
Perlindungan
ini tidak hanya berfungsi untuk mencegah ancaman, tetapi juga untuk mengobati
ketika ancaman sudah terjadi, negara bertanggung jawab untuk menjaga keamanan
hakim, keluarga mereka, dan properti mereka dari segala bentuk ancaman.
Ketika
membacanya sekilas kita bisa pahami Bahwa Hakim selalu memiliki Resiko di
setiap lini kehidupannya yang mampu mengancam diri sendiri, keluarga maupun
Properti yang dimilikinya. Tapi bagaimana jika hal ini diabaikan dan dibiarkan
sementara para “Wakil Tuhan” ini dituntut untuk bisa menjaga kemandiriannya.
Kemandirian
hakim dan keamanan mereka adalah hal yang sama. Satu tidak dapat berfungsi
dengan baik tanpa yang lain. Hakim akan secara bertahap kehilangan kemandirian
mereka ketika mereka merasa tidak aman. Mereka mungkin lebih suka menghindari
kasus kontroversial atau membuat keputusan yang "aman" daripada
keputusan yang adil.
Hubungan
ini membentuk siklus yang kompleks, keamanan diperlukan untuk independensi,
tetapi keamanan yang berlebihan juga dapat mengancam independensi. Oleh karena
itu, sistem perlindungan hakim harus memiliki kekuatan yang cukup untuk
melindungi, tanpa menganggu independensi Hakim.
Standar
Perlindungan untuk hakim secara menyeluruh telah dilaksanakan oleh banyak
negara lain akan tetapi belum dilaksanakan di Indonesia. Misalnya, di Amerika
Serikat, U.S. Marshals Service memiliki program khusus untuk melindungi hakim
federal yang menghadapi resiko yang signifikan. Kemudian di Jerman Perlindungan
hakim dimasukkan ke dalam sistem kepolisian melalui protokol khusus untuk
menangani ancaman dengan cepat. Beberapa komponen penting yang diperlukan untuk
melindungi hakim ditetapkan oleh standar seperti perlindungan fisik, keamanan
kantor, rumah, dan transportasi, perlindungan digital serta perlindungan
psikologis.
Sebagai
negara hukum, Indonesia seharusnya memiliki standar perlindungan yang sebanding
dengan untuk melindungi Hakim Hakimnya sebagai ujung tombak penegakan keadilan.
Realitas Ancaman di Lapangan memiliki Statistik yang begitu mengkhawatirkan.
Ketua
Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai mengungkap fakta terkait penghinaan
terhadap pengadilan atau contempt of court (Coc). Berdasarkan
survei advokasi hakim yang pernah dilakukan KY, dari 120 satuan kerja yang
disurvei, sebanyak 59 persen responden mengaku pernah mengalami ancaman
keamanan, seperti ancaman pembunuhan, guna-guna, dan santet. Sementara 38,5
persen lainnya mengaku pernah mengalami bahaya keamanan.
Angka
ini mungkin belum mencakup semua hal yang terjadi di lapangan mungkin karena tidak
semuanya dilaporkan karena ketakutan akan eskalasi atau ketidakpercayaan
terhadap sistem perlindungan yang ada, survei ini semakin mengkhawatirkan
karena selain jumlahnya yang besar bisa saja hal ini merupakan fenomena gunung
es yang akan sangat menggelembung jika berdasarkan keadaan di lapangan yang
sebenarnya.
Beberapa kasus yang melibatkan ancaman
terhadap hakim telah menarik perhatian publik antara lain:
- Hakim Pengadilan Agama, ditusuk oleh orang tak dikenal saat hendak berangkat kerja. Pelaku kabur menggunakan sepeda motor.
- Seorang pengacara menyerang dua hakim dengan ikat pinggang saat persidangan berlangsung karena tidak terima dengan pertimbangan putusan yang dianggap akan menolak gugatan kliennya.
- Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo
ditusuk oleh seorang pria saat bersidang dengan menggunakan sangkur.
- Kebakaran di rumah seorang hakim Pengadilan Negeri Medan yang Sebelumnya mendapatkan teror lewat Telepon dari orang yang tidak dikenal.
- Seorang hakim meninggal dunia karena diteror darah berkali-kali di rumahnya yang mengakibatkan stress, sehingga memicu penyakit yang dideritanya dan meninggal dalam kondisi menjalankan tugas.
Apakah contoh Peristiwa
diatas tersebut tidak cukup untuk membuka mata negara dan hal-hal tersebut
dianggap sebagai resiko pekerjaan atau bagian dari pekerjaan, padahal hal-hal
tersebut sebenarnya seharusnya bisa dicegah jikalau ada kepedulian serta tidak
adanya pembiaran.
Pada
ujugnya negara hukum hanya akan menjadi konsep teoretis yang tidak pernah
terwujud dalam dunia nyata jika tidak ada peradilan yang independen dan
aman. Hakim yang merasa aman akan
menjadi berani, dan mereka yang berani akan menjadi penjaga keadilan yang
sebenarnya.
Baca Juga: Jika Hakim Menjaga Hukum, Siapa yang Menjaga Hakim tanpa POLSUS Pengadilan?
"Pertaruhan
Nyawa dan Martabat di Kursi Hakim" menunjukkan bahwa menjadi hakim di
Indonesia seringkali merupakan pertaruhan nyawa. Meskipun demikian, ini bukan situasi yang
harus diterima begitu saja. Sebagai
negara seharusnya pemerintah memiliki kekuatan dan kekuatan untuk mengubah
cerita ini dari pertaruhan menjadi kesetiaan, dari ketakutan menjadi
keberanian, dan dari pembiaran menjadi perlindungan.
Keputusan yang kita buat hari ini akan menentukan masa depan peradilan Indonesia. Apakah kita akan membangun sistem yang secara proaktif melindungi para penjaga keadilan atau kita akan terus membiarkan para Hakim Hakim berjuang sendirian melawan ancaman? (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI