Cari Berita

Keamanan Hakim di Indonesia: Resiko Pekerjaan atau Pembiaran?

Bintoro Wisnu P – Hakim PN Serui - Dandapala Contributor 2025-11-12 16:00:56
Dok. Ist.

Beberapa hari yang lalu waktu saya dan rekan rekan Hakim yang lain sedang mengambil air di kantor kami dengan galon untuk mengisi air guna memenuhi bak mandi di Rumah Dinas kami karena aliran air yang seringkali mati, terjadi percakapan yang cukup menggugah hati saya.

“Ternyata selain ancaman keamanan, ancaman tidak bisa mandi juga jadi ancaman sebagai seorang hakim ya” celetuk salah satu rekan saya sambil tertawa. Moment ini bertepatan dengan terjadinya kebakaran di salah satu Rumah Hakim Senior kami di Medan. Hal ini menjadi pertanyaan besar di kepala saya, karena sesungguhnya seiring berjalan waktu menjadi Hakim saya sering menganggap keamanan saya dalam bekerja sebagai Hakim bukan suatu hal yang penting dan menjalaninya adalah sebuah resiko pekerjaan, padahal bukan itu yang menjadi sebuah tujuan bukan atau saking sudah terbiasanya? 

Keamanan hakim dalam kehidupan dunia peradilan saat ini merupakan komponen penting yang menentukan kualitas hukum dan keadilan. Namun yang menjadi pertanyaan mendasar, apakah ancaman yang dihadapi hakim merupakan konsekuensi dari pekerjaan mereka sendiri atau justru hasil dari pembiaran negara? Semakin banyak kasus intimidasi, ancaman, dan bahkan kekerasan verbal maupun non verbal terhadap hakim yang seharusnya dilindungi.

Baca Juga: Kasus Korupsi Tagihan Fiktif, Mantan Dua Bos Telkom Akses Dibui 7 Tahun

Hakim membutuhkan integritas moral dan intelektual serta keberanian mental untuk membuat putusan yang tidak selalu disukai memuaskan semua orang. Seorang hakim sering kali menghadapi resiko yang melebihi batas-batas normal yang bisa dibayangkan Bisa dibayangkan bagaimana ketika para hakim ini harus memutuskan perkara yang melibatkan figur kuat atau mengadili sengketa tanah dengan pihak-pihak berpengaruh di Negara ini, tentu tidak bisa dipungkiri hal ini tetap memiliki Faktor Faktor yang tidak bisa diprediksi. Ironisnya, negara yang seharusnya berperan sebagai pelindung utama kadang-kadang tampak tidak melakukan apa-apa atau merespons terlambat.

Hak keamanan hakim adalah hak dasar yang dijamin, prinsip-prinsip ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “hakim dan hakim konstitusi diberikan penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin persidangan.

Hakim dan hakim konstitusi harus diberikan perlindungan keamanan oleh konstitusi aparat terkait yakni aparat kepolisian agar hakim dan hakim konstitusi mampu memeriksa, mengadili dan memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun.

Perlindungan ini tidak hanya berfungsi untuk mencegah ancaman, tetapi juga untuk mengobati ketika ancaman sudah terjadi, negara bertanggung jawab untuk menjaga keamanan hakim, keluarga mereka, dan properti mereka dari segala bentuk ancaman.

Ketika membacanya sekilas kita bisa pahami Bahwa Hakim selalu memiliki Resiko di setiap lini kehidupannya yang mampu mengancam diri sendiri, keluarga maupun Properti yang dimilikinya. Tapi bagaimana jika hal ini diabaikan dan dibiarkan sementara para “Wakil Tuhan” ini dituntut untuk bisa menjaga kemandiriannya.

Kemandirian hakim dan keamanan mereka adalah hal yang sama. Satu tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa yang lain. Hakim akan secara bertahap kehilangan kemandirian mereka ketika mereka merasa tidak aman. Mereka mungkin lebih suka menghindari kasus kontroversial atau membuat keputusan yang "aman" daripada keputusan yang adil.

Hubungan ini membentuk siklus yang kompleks, keamanan diperlukan untuk independensi, tetapi keamanan yang berlebihan juga dapat mengancam independensi. Oleh karena itu, sistem perlindungan hakim harus memiliki kekuatan yang cukup untuk melindungi, tanpa menganggu independensi Hakim.

Standar Perlindungan untuk hakim secara menyeluruh telah dilaksanakan oleh banyak negara lain akan tetapi belum dilaksanakan di Indonesia. Misalnya, di Amerika Serikat, U.S. Marshals Service memiliki program khusus untuk melindungi hakim federal yang menghadapi resiko yang signifikan. Kemudian di Jerman Perlindungan hakim dimasukkan ke dalam sistem kepolisian melalui protokol khusus untuk menangani ancaman dengan cepat. Beberapa komponen penting yang diperlukan untuk melindungi hakim ditetapkan oleh standar seperti perlindungan fisik, keamanan kantor, rumah, dan transportasi, perlindungan digital serta perlindungan psikologis.

Sebagai negara hukum, Indonesia seharusnya memiliki standar perlindungan yang sebanding dengan untuk melindungi Hakim Hakimnya sebagai ujung tombak penegakan keadilan. Realitas Ancaman di Lapangan memiliki Statistik yang begitu mengkhawatirkan.

Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai mengungkap fakta terkait penghinaan terhadap pengadilan atau contempt of court (Coc). Berdasarkan survei advokasi hakim yang pernah dilakukan KY, dari 120 satuan kerja yang disurvei, sebanyak 59 persen responden mengaku pernah mengalami ancaman keamanan, seperti ancaman pembunuhan, guna-guna, dan santet. Sementara 38,5 persen lainnya mengaku pernah mengalami bahaya keamanan.

Angka ini mungkin belum mencakup semua hal yang terjadi di lapangan mungkin karena tidak semuanya dilaporkan karena ketakutan akan eskalasi atau ketidakpercayaan terhadap sistem perlindungan yang ada, survei ini semakin mengkhawatirkan karena selain jumlahnya yang besar bisa saja hal ini merupakan fenomena gunung es yang akan sangat menggelembung jika berdasarkan keadaan di lapangan yang sebenarnya.

Beberapa kasus yang melibatkan ancaman terhadap hakim telah menarik perhatian publik antara lain:

  • Hakim Pengadilan Agama, ditusuk oleh orang tak dikenal saat hendak berangkat kerja. Pelaku kabur menggunakan sepeda motor.
  • Seorang pengacara menyerang dua hakim dengan ikat pinggang saat persidangan berlangsung karena tidak terima dengan pertimbangan putusan yang dianggap akan menolak gugatan kliennya.
  • Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo ditusuk oleh seorang pria saat bersidang dengan menggunakan sangkur.
  • Kebakaran di rumah seorang hakim Pengadilan Negeri Medan yang Sebelumnya mendapatkan teror lewat Telepon dari orang yang tidak dikenal.
  • Seorang hakim meninggal dunia karena diteror darah berkali-kali di rumahnya yang mengakibatkan stress, sehingga memicu penyakit yang dideritanya dan meninggal dalam kondisi menjalankan tugas.

Apakah contoh Peristiwa diatas tersebut tidak cukup untuk membuka mata negara dan hal-hal tersebut dianggap sebagai resiko pekerjaan atau bagian dari pekerjaan, padahal hal-hal tersebut sebenarnya seharusnya bisa dicegah jikalau ada kepedulian serta tidak adanya pembiaran.

Pada ujugnya negara hukum hanya akan menjadi konsep teoretis yang tidak pernah terwujud dalam dunia nyata jika tidak ada peradilan yang independen dan aman.  Hakim yang merasa aman akan menjadi berani, dan mereka yang berani akan menjadi penjaga keadilan yang sebenarnya.

Baca Juga: Jika Hakim Menjaga Hukum, Siapa yang Menjaga Hakim tanpa POLSUS Pengadilan?

"Pertaruhan Nyawa dan Martabat di Kursi Hakim" menunjukkan bahwa menjadi hakim di Indonesia seringkali merupakan pertaruhan nyawa.  Meskipun demikian, ini bukan situasi yang harus diterima begitu saja.  Sebagai negara seharusnya pemerintah memiliki kekuatan dan kekuatan untuk mengubah cerita ini dari pertaruhan menjadi kesetiaan, dari ketakutan menjadi keberanian, dan dari pembiaran menjadi perlindungan.

Keputusan yang kita buat hari ini akan menentukan masa depan peradilan Indonesia.  Apakah kita akan membangun sistem yang secara proaktif melindungi para penjaga keadilan atau kita akan terus membiarkan para Hakim Hakim berjuang sendirian melawan ancaman? (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…