Informed
consent dapat diartikan sebagai persetujuan atas apa
yang dilakukan oleh seorang dokter kepada pasien untuk tindakan medis yang akan
dilakukan. Prinsip dari informed consent sebetulnya merupakan
kepercayaan dan kejujuran, dimana pasien wajib memberikan informasi yang detail
mengenai keluhan apa yang terjadi dan riwayat penyakit yang dihadapi serta
informasi dan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter secara akurat dan tepat.
Pengaturan
Pengaturan
informed consent secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran. Informasi yang wajib didapatkan oleh pasien atas tindakan yang
dilakukan oleh dokter seperti diagnosis terhadap penyakit yang diderita,
tindakan yang akan dilakukan, tujuan dari tindakan tersebut, resiko yang
mungkin terjadi, serta perkiraan biaya atas tindakan tersebut.
Baca Juga: Euthanasia Pasif di Indonesia Ditinjau dari Hukum Positif
Kewajiban
seorang dokter untuk memberikan informasi secara detail kepada pasien termuat
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang
Kesehatan dimana setiap orang berhak mendapatkan informasi dan edukasi tentang
Kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
Kronologis
Kasus
Tindakan
dokter yang tidak melakukan informed consent kepada pasien dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melawan hukum. Itulah kaidah hukum yang dapat disimpulkan
dari putusan Nomor 3203 K/Pdt/2017 yang diputus pada Jumat (22/12/2017), antara
Samat Ngadimin selaku Penggugat atau Pemohon Kasasi melawan Drg. Yus Andjojo
D.H selaku Tergugat atau Termohon Kasasi.
Kasus
ini berawal pada tahun 2013, dimana Penggugat yang mendatangi klinik Tergugat
untuk melakukan pengobatan gigi sekaligus melakukan implant gigi. Selanjutnya,
dilakukan operasi sebanyak lima kali dalam kurun waktu bulan September tahun 2013
sampai dengan operasi terakhir pada 25 Juli 2014.
Setelah
dua hari dilakukan operasi implant, timbul bau busuk pada gusi Penggugat
sehingga Penggugat datang ke Tergugat untuk meminta pertolongan, hingga pada
tanggal 29 Juli 2014, dengan kondisi yang cukup parah, Penggugat meminta agar
hasil implant gigi tersebut dibongkar, sehingga Tergugat menyarankan untuk
dilakukan pembersihan dengan operasi besar.
Pada
saat pembongkaran implant gigi tersebut, ditemukan fakta jika Tergugat telah
memasangkan implant pada gigi lainnya yang juga ikut membusuk sehingga harus
dibongkar juga.
Melihat
perbuatan Tergugat yang memasang implant pada gigi lain tanpa sepengetahuan Penggugat,
hal itu yang menjadikan pertanyaan dikarenakan Penggugat maupun keluarganya
tidak pernah memberikan persetujuan tertulis (informed consent) terhadap
apa yang dilakukan oleh Tergugat.
Tergugat
menanggapi dalam jawabannya jika pemasangan implant gigi sudah sesuai dengan
prosedur, dimana telah dilakukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada pasien
sehingga menjadi sesuatu yang mustahil apabila pemasangan implant tanpa
sepengetahuan dari Penggugat.
Judex
Facti pada peradilan tingkat pertama dan banding dalam
putusannya menolak gugatan Penggugat seluruhnya. Hingga pada akhirnya di
tingkat kasasi Judex Juris mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan
Penggugat dan menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum,
sebagaimana Putusan Nomor 3203 K/Pdt/2017 tanggal 22 Desember 2017.
Penerapan
Informed Consent
Dalam
pertimbangannya Mahkamah Agung berpendapat, tindakan medis Tergugat terhadap
Pengugat berupa operasi pemasangan implan gigi merupakan tindakan/operasi
kecil, akan tetapi para saksi Tergugat khususnya yang satu profesi dengan Tergugat
menerangkan antara lain bahwa tindakan/operasi pemasangan implan gigi merupakan
tindakan/operasi yang penuh resiko gagal, baik karena resiko atau kegagalan
langsung dari hasil tindakan/operasi yang dilakukan oleh seorang dokter gigi
(ahli) yang bersangkutan, seperti yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat,
juga bisa resiko kegagalan tersebut disebabkan oleh tindakan pasien itu sendiri
setelah dilakukan tindakan/operasi, dari fakta di atas dihubungkan dengan
tindakan Tergugat yang di dalam melakukan beberapa kali tindakan medis antara
lain berupa, melakukan operasi pemasangan implan gigi Penggugat, yang ternyata Tergugat
sama sekali tidak meminta persetujuan secara tertulis kepada Penggugat dan atau
keluarga Penggugat merupakan tindakan kekurang hati-hatian.
Terlebih,
Tergugat dalam menjalankan profesinya atau telah melakukan malpraktek sehingga
menjadikan tindakan operasi pemasangan implan gigi oleh Tergugat kepada Penggugat
tersebut dapat dikualifikasikan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan
melawan hukum.
Penutup
Berdasarkan
putusan kasasi tersebut, dapat dipahami bahwa informed consent merupakan
hak bagi pasien untuk mendapatkan informasi yang jelas terhadap tindakan apa
yang akan dilakukan oleh dokter. Hal ini tercermin dalam Pasal 274 UU Kesehatan
yang mana tenaga medis dan kesehatan dalam menjalankan praktik wajib memperoleh
persetujuan dari pasien atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan.
Sebagai penutup, agar kejadian serupa tidak terjadi lagi, setiap tenaga medis diharapkan dapat memberikan informasi secara detail kepada pasien/keluarganya dan harus mendapat persetujuan atas setiap tindakan dengan membuat perincian yang jelas untuk ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu dokter maupun pasien/keluarganya. (asn)
DAFTAR
PUSTAKA
Wahyu
Adrianto, Informed Consent sebagai Fondasi Tindakan Medis, 2025
Anggun
Rezki Pebrina, Fungsi Penerapan Informed Consent Sebagai Persetujuan Pada
Perjanjian, 2022
Baca Juga: Menjamin Independensi Hakim: Urgensi Pengaturan Gaji dalam UUD 1945
Putusan
Kasasi Nomor 3203 K/Pdt/2017 tanggal 22 Desember 2017
Putusan Nomor 11/Pdt.G./2016/PN.JKT.BRT
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI