Cari Berita

Inform Consent Dalam Tindakan Medis sebagai Hak Pasien

Bagus Mizan Albab – Hakim PN Blangpidie - Dandapala Contributor 2025-09-25 12:10:50
Dok. Ist.

Informed consent dapat diartikan sebagai persetujuan atas apa yang dilakukan oleh seorang dokter kepada pasien untuk tindakan medis yang akan dilakukan. Prinsip dari informed consent sebetulnya merupakan kepercayaan dan kejujuran, dimana pasien wajib memberikan informasi yang detail mengenai keluhan apa yang terjadi dan riwayat penyakit yang dihadapi serta informasi dan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter secara akurat dan tepat.

Pengaturan

Pengaturan informed consent secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Informasi yang wajib didapatkan oleh pasien atas tindakan yang dilakukan oleh dokter seperti diagnosis terhadap penyakit yang diderita, tindakan yang akan dilakukan, tujuan dari tindakan tersebut, resiko yang mungkin terjadi, serta perkiraan biaya atas tindakan tersebut.

Baca Juga: Euthanasia Pasif di Indonesia Ditinjau dari Hukum Positif

Kewajiban seorang dokter untuk memberikan informasi secara detail kepada pasien termuat dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dimana setiap orang berhak mendapatkan informasi dan edukasi tentang Kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.

Kronologis Kasus

Tindakan dokter yang tidak melakukan informed consent kepada pasien dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Itulah kaidah hukum yang dapat disimpulkan dari putusan Nomor 3203 K/Pdt/2017 yang diputus pada Jumat (22/12/2017), antara Samat Ngadimin selaku Penggugat atau Pemohon Kasasi melawan Drg. Yus Andjojo D.H selaku Tergugat atau Termohon Kasasi.

Kasus ini berawal pada tahun 2013, dimana Penggugat yang mendatangi klinik Tergugat untuk melakukan pengobatan gigi sekaligus melakukan implant gigi. Selanjutnya, dilakukan operasi sebanyak lima kali dalam kurun waktu bulan September tahun 2013 sampai dengan operasi terakhir pada 25 Juli 2014.

Setelah dua hari dilakukan operasi implant, timbul bau busuk pada gusi Penggugat sehingga Penggugat datang ke Tergugat untuk meminta pertolongan, hingga pada tanggal 29 Juli 2014, dengan kondisi yang cukup parah, Penggugat meminta agar hasil implant gigi tersebut dibongkar, sehingga Tergugat menyarankan untuk dilakukan pembersihan dengan operasi besar.

Pada saat pembongkaran implant gigi tersebut, ditemukan fakta jika Tergugat telah memasangkan implant pada gigi lainnya yang juga ikut membusuk sehingga harus dibongkar juga.

Melihat perbuatan Tergugat yang memasang implant pada gigi lain tanpa sepengetahuan Penggugat, hal itu yang menjadikan pertanyaan dikarenakan Penggugat maupun keluarganya tidak pernah memberikan persetujuan tertulis (informed consent) terhadap apa yang dilakukan oleh Tergugat.

Tergugat menanggapi dalam jawabannya jika pemasangan implant gigi sudah sesuai dengan prosedur, dimana telah dilakukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada pasien sehingga menjadi sesuatu yang mustahil apabila pemasangan implant tanpa sepengetahuan dari Penggugat.

Judex Facti pada peradilan tingkat pertama dan banding dalam putusannya menolak gugatan Penggugat seluruhnya. Hingga pada akhirnya di tingkat kasasi Judex Juris mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Penggugat dan menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana Putusan Nomor 3203 K/Pdt/2017 tanggal 22 Desember 2017.

Penerapan Informed Consent

Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung berpendapat, tindakan medis Tergugat terhadap Pengugat berupa operasi pemasangan implan gigi merupakan tindakan/operasi kecil, akan tetapi para saksi Tergugat khususnya yang satu profesi dengan Tergugat menerangkan antara lain bahwa tindakan/operasi pemasangan implan gigi merupakan tindakan/operasi yang penuh resiko gagal, baik karena resiko atau kegagalan langsung dari hasil tindakan/operasi yang dilakukan oleh seorang dokter gigi (ahli) yang bersangkutan, seperti yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat, juga bisa resiko kegagalan tersebut disebabkan oleh tindakan pasien itu sendiri setelah dilakukan tindakan/operasi, dari fakta di atas dihubungkan dengan tindakan Tergugat yang di dalam melakukan beberapa kali tindakan medis antara lain berupa, melakukan operasi pemasangan implan gigi Penggugat, yang ternyata Tergugat sama sekali tidak meminta persetujuan secara tertulis kepada Penggugat dan atau keluarga Penggugat merupakan tindakan kekurang hati-hatian.

Terlebih, Tergugat dalam menjalankan profesinya atau telah melakukan malpraktek sehingga menjadikan tindakan operasi pemasangan implan gigi oleh Tergugat kepada Penggugat tersebut dapat dikualifikasikan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Penutup

Berdasarkan putusan kasasi tersebut, dapat dipahami bahwa informed consent merupakan hak bagi pasien untuk mendapatkan informasi yang jelas terhadap tindakan apa yang akan dilakukan oleh dokter. Hal ini tercermin dalam Pasal 274 UU Kesehatan yang mana tenaga medis dan kesehatan dalam menjalankan praktik wajib memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan.

Sebagai penutup, agar kejadian serupa tidak terjadi lagi, setiap tenaga medis diharapkan dapat memberikan informasi secara detail kepada pasien/keluarganya dan harus mendapat persetujuan atas setiap tindakan dengan membuat perincian yang jelas untuk ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu dokter maupun pasien/keluarganya. (asn)

DAFTAR PUSTAKA

Wahyu Adrianto, Informed Consent sebagai Fondasi Tindakan Medis, 2025

Anggun Rezki Pebrina, Fungsi Penerapan Informed Consent Sebagai Persetujuan Pada Perjanjian, 2022

Baca Juga: Menjamin Independensi Hakim: Urgensi Pengaturan Gaji dalam UUD 1945

Putusan Kasasi Nomor 3203 K/Pdt/2017 tanggal 22 Desember 2017

Putusan Nomor 11/Pdt.G./2016/PN.JKT.BRT

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI