"Justice must not only be done, but must also be seen to be done"—ungkapan klasik Lord Hewart ini mengingatkan bahwa keadilan
bukan sekadar hasil akhir, melainkan juga proses yang dapat dirasakan dan
dipahami oleh masyarakat.
Di Indonesia, evaluasi kinerja hakim masih didominasi oleh
indikator kuantitatif seperti jumlah perkara yang diselesaikan dan kecepatan
memutus perkara. Pendekatan ini, meski penting untuk efisiensi administratif,
melewatkan dimensi krusial: bagaimana hakim berkomunikasi di ruang sidang.
Ruang sidang adalah panggung utama di mana masyarakat berinteraksi
langsung dengan sistem peradilan. Di sinilah wajah keadilan pertama kali
terlihat—bukan melalui putusan tertulis yang sarat bahasa hukum, melainkan
melalui cara hakim memimpin persidangan, mendengarkan para pihak, dan
menyampaikan pertanyaan atau arahan.
Baca Juga: Imparsial Sejak Dalam Pikiran
Ironisnya, kualitas komunikasi hakim dalam menjalankan tugasnya
belum menjadi bagian dari sistem evaluasi kinerja yang komprehensif. Tulisan
ini menakar kemungkinan menempatkan kemampuan komunikasi hakim sebagai salah
satu indikator evaluasi kinerja internal yang mendukung pengembangan profesi
hakim secara berkelanjutan.
Konteks Normatif, Filosofis dan Komparatif
Landasan konstitusional untuk memasukkan komunikasi sebagai
kompetensi hakim dapat ditemukan dalam UU Kekuasaan Kehakiman, yang mewajibkan
hakim "menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat".
Mandat ini tidak mungkin terpenuhi tanpa kemampuan komunikasi yang
memadai. Hakim yang tidak dapat berkomunikasi dengan jelas, netral, dan
manusiawi akan kesulitan memahami aspirasi keadilan yang berkembang di
masyarakat.
Dari perspektif filosofis, komunikasi berfungsi sebagai jembatan
antara norma hukum tertulis dengan rasa keadilan yang hidup. Hans Kelsen dalam
teori hukum murninya memang menekankan validitas formal hukum, namun dalam
praktik peradilan, legitimasi putusan tidak hanya bergantung pada kebenaran
juridis, tetapi juga pada penerimaan publik terhadap proses yang
menghasilkannya (hans Kelsen, 1967).
Teori legitimasi prosedural yang dikembangkan Tom Tyler menunjukkan
bahwa persepsi masyarakat tentang keadilan sangat dipengaruhi oleh kualitas
proses, bukan hanya hasil (Tom R. Tyler, 1990).
Ketika hakim berkomunikasi dengan cara yang dianggap adil, hormat,
dan dapat dipahami, maka putusan yang dihasilkan, meski tidak selalu
menguntungkan semua pihak, akan lebih mudah diterima. Sebaliknya, komunikasi
yang buruk dapat merusak persepsi tentang netralitas dan kompetensi hakim,
bahkan ketika putusannya secara substansial benar.
Sejumlah negara sendiri, telah memasukkan komunikasi sebagai bagian
evaluasi kinerja hakim. Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, program Judicial
Performance Evaluation menilai keterampilan menjelaskan prosedur,
mendengarkan, dan menjaga suasana sidang melalui survei terhadap pengacara,
juri, dan staf.
Di Victoria, Australia, program Court Craft menilai dan
memandu kemampuan hakim berkomunikasi di persidangan dengan pihak berperkara,
termasuk pihak tanpa kuasa hukum, serta cara menyampaikan keputusan dan menjaga
atmosfer sidang. Dari praktik ini tampak bahwa evaluasi komunikasi bukanlah
alat kontrol eksternal, melainkan sarana pengembangan profesi yang menekankan
dimensi pembinaan, bukan penghukuman, sehingga tetap sejalan dengan prinsip
independensi hakim.
Urgensi di Indonesia
Di Indonesia, urgensi memasukkan aspek komunikasi dalam evaluasi
kinerja hakim semakin nyata. Kritik publik kini tidak hanya tertuju pada
putusan, tetapi juga pada gaya komunikasi hakim yang kerap dianggap tidak
pantas, seperti sikap temperamental, pembatasan ruang bicara, atau penggunaan
bahasa yang intimidatif. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat menilai
kualitas peradilan bukan semata dari hasil putusan, melainkan juga dari proses
yang melahirkannya.
Perkembangan teknologi, khususnya sidang elektronik selama pandemi
COVID-19, membuka peluang baru. Rekaman persidangan dapat dijadikan bahan
evaluasi otentik atas cara hakim berkomunikasi tanpa mengganggu independensi
peradilan.
Dalam konteks reformasi Mahkamah Agung yang berorientasi pada
pelayanan publik, integrasi kualitas komunikasi sebagai indikator “hakim
berkualitas” menjadi langkah strategis untuk mewujudkan peradilan agung, yakni
peradilan yang menghadirkan keadilan tidak hanya melalui hasil, tetapi juga
melalui proses yang bermartabat.
Usulan Konseptual
Untuk mewujudkan integrasi komunikasi dalam evaluasi kinerja hakim,
diperlukan kerangka konseptual yang jelas dan dapat diterapkan. Pertama,
keterampilan komunikasi perlu diposisikan sebagai indikator kinerja kualitatif
dalam pedoman evaluasi internal Mahkamah Agung, sejajar dengan indikator
kuantitatif yang sudah ada.
Dimensi penilaian dapat mencakup empat aspek utama:
- Kejelasan komunikasi: kemampuan hakim menjelaskan prosedur,
mengajukan pertanyaan yang mudah dipahami, dan menyampaikan arahan dengan
bahasa yang mudah diakses;
- Netralitas tampak: konsistensi sikap dan nada bicara terhadap
semua pihak, menghindari kesan memihak atau prasangka;
- Pengendalian sidang: kemampuan menjaga suasana persidangan yang
kondusif, mengelola emosi para pihak, dan memastikan semua mendapat kesempatan
bicara yang adil;
- Sensitivitas sosial-budaya: kesadaran terhadap latar belakang
para pihak, termasuk tingkat pendidikan, status sosial-ekonomi, dan kekhususan
budaya lokal.
Mekanisme evaluasi dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yang
saling melengkapi. Observasi pimpinan secara berkala dengan menggunakan rubrik
penilaian yang terstandar. Peer review terbatas melibatkan sesama hakim untuk
memberikan masukan konstruktif berdasarkan pengalaman dan observasi kolegal.
Refleksi mandiri hakim melalui instrumen self-assessment yang mendorong hakim untuk mengevaluasi kemampuan
komunikasinya sendiri. Terakhir, pemanfaatan rekaman sidang dapat digunakan
sebagai bahan pelatihan dan coaching
individual, dengan tetap menjaga kerahasiaan dan hanya diakses oleh tim pembina
internal.
Yang terpenting, seluruh sistem ini harus ditekankan sebagai
instrumen pembinaan internal, bukan alat sanksi. Tujuannya adalah
membantu hakim mengembangkan kemampuan komunikasi yang lebih baik, bukan
mencari kesalahan atau memberikan hukuman. Pendekatan ini menjaga keseimbangan
antara akuntabilitas dan independensi hakim.
Penutup
Keadilan sejati tidak hanya hadir di atas kertas putusan yang sarat
dengan pertimbangan hukum, tetapi juga harus dapat dirasakan di ruang sidang
tempat masyarakat berinteraksi langsung dengan sistem peradilan. Komunikasi
hakim yang bermutu merupakan wajah pertama keadilan yang terlihat oleh publik.
Ketika hakim berkomunikasi dengan jelas, netral, dan manusiawi, ia tidak hanya
menjalankan fungsi yudisial, tetapi juga membangun kepercayaan publik terhadap
institusi peradilan.
Integrasi keterampilan komunikasi dalam evaluasi kinerja hakim
bukanlah upaya mengintervensi independensi hakim, melainkan investasi untuk
memperkuat kualitas peradilan secara keseluruhan. Melalui pendekatan yang bersifat
konstruktif dan berfokus pada pembinaan internal, sistem evaluasi ini dapat
menjadi instrumen yang memperkuat profesionalisme hakim sekaligus menjaga
martabat profesi yang mulia ini. Pada akhirnya, hakim yang berkomunikasi dengan
baik adalah hakim yang tidak hanya memutus perkara dengan benar, tetapi juga
menghadirkan keadilan yang dapat dilihat, dirasakan, dan dipahami oleh seluruh
lapisan masyarakat. (ldr)
Catatan Kaki:
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight
(Berkeley: University of California Press, 1967)
Tom R. Tyler, Why People Obey the Law (New Haven: Yale
University Press, 1990)
https://www.americanbar.org/content/dam/aba/publications/judicial_division/aba_blackletterguidelines_jpe_wcom.authcheckdam.pdf
Baca Juga: Strategi Jadi Mediator Perkara Lingkungan Hidup yang Profesional
Judicial College of Victoria, https://judicialcollege.vic.edu.au/bench-books?page=0
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI