Roeslan Saleh dalam buku Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (1983) mendefinisikan pertanggungjawaban pidana sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif pada orang yang melakukannya telah memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.
Romli Atmasasmita dalam buku Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana (1989), mengartikan
pertanggungjawaban pidana sebagai suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat
yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang
dilakukan.
Pertanggungjawaban
pidana erat kaitannya dengan faktor subyektif yakni kesalahan sebagai aspek
lanjutan dari terjadinya tindak pidana untuk menentukan dapat tidaknya
seseorang dijatuhi sanksi pidana. Menurut doktrin hukum pidana, seseorang dapat
dijatuhi sanksi pidana jika terpenuhi dua hal secara integral yakni melakukan
tindak pidana dan memiliki kesalahan. Melakukan tindak pidana asasnya nulla poena sine crimen, yang artinya
tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana. Sedangkan kesalahan asasnya adalah geen straf zonder schuld, yang artinya
tiada pidana tanpa kesalahan.
Baca Juga: Keren! Ini 4 Gebrakan PN Rote Ndao untuk Penyandang Disabilitas
Kesalahan secara prinsipil merupakan dasar pertanggungjawaban pidana. Kesalahan adalah keadaan jiwa dari pelaku dan hubungan batin antara si pelaku dan perbuatannya sehingga patut untuk dikenakan celaan secara hukum.
Mengenai keadaan jiwa dari
si pelaku dapat dipahami sebagai kemampuan bertanggungjawab. Sedangkan hubungan
batin antara pelaku dengan perbuatannya dipahami sebagai bentuk dari kesalahan
yakni kesengajaan dan kealpaan serta ketiadaan alasan pemaaf. Jadi, dalam aspek
kesalahan terdapat 3 unsur yakni kemampuan bertanggungjawab, bentuk kesalahan
(kesengajaan/kealpaan), dan ketiadaan alasan pemaaf.
Menurut Prof Sudarto dalam buku Kapita Selekta Hukum Pidana (2006), kemampuan bertanggungjawab merupakan keadaan dan normalitas psikis yang ditandai adanya 3 kemampuan yakni menginsyafi arti dan akibat perbuatannya, memahami bahwa perbuatan itu tercela, dan memiliki kemampuan menentukan kehendak untuk berbuat.
Kemampuan bertanggungjawab
merupakan unsur dari kesalahan yang menyangkut kondisi psikis seseorang untuk
memahami hakikat perbuatan yang dilakukan artinya menyangkut batas usia untuk
dianggap matang dan ada tindaknya masalah kejiwaaan.
Orang dianggap memiliki kemampuan bertanggungjawab jika berusia 12 tahun ke atas (batas usia bisa dimintai pertanggungjawaban pidana) karena menurut pembentuk undang-undang, usia 12 tahun adalah batas usia dimana seseorang memiliki kematangan secara psikis untuk menginsyafi esensi perbuatannya.
Selain itu,
orang dianggap memiliki kemampuan bertanggungjawab jika tidak memiliki masalah
kejiwaan/psikis yang secara contrario
dimaknai bahwa orang yang memiliki masalah kejiwaan/psikis tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.
Kemampuan Bertanggungjawab Penyandang Disabilitas
Mental dan Intelektual
Berdasarkan konsep pertanggungjawaban pidana di atas, maka bagaimana hukum pidana dalam mengkonstruksi pertanggungjawaban pidana penyandang disabilitas.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Disabilitas, penyandang disabiltas (difabel) didefinisikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu yang lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Secara prinsip, penyandang disabilitas diakui sebagai subyek
hukum, memiliki hak dan kewajiban hukum serta berhak mendapat perlakuan yang
sama di hadapan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 9 huruf a dan b UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang
disabilitas. Namun
dalam aspek pertanggungjawaban pidana terdapat afirmasi terhadap penyandang
disabilitas mental dan intelektual karena menyangkut kondisi psikis (kemampuan
bertanggungjawab).
Disabilitas intelektual adalah disfungsi/keterbatasan secara intelektual dan perilaku adaptif yang ditandai oleh deteriorasi fungsi konkrit pada intelegensia sehingga menyebabkan hambatan dalam kemampuan komunikasi dan interaksi sosial dalam komunitas, kemampuan akademik, serta kemampuan bekerja.
Contoh disabilitas intelektual adalah down syndrome. Kemudian, disabilitas mental merupakan terganggunya fungsi pikir, emosi, perilaku, dan psikologis yang menyebabkan terganggunya kemampuan interaksi sosial. Contoh disabilitas mental diantaranya skizofrenia, depresi, bipolar, anxietas, autis, dan hiperaktif.
Merujuk ketentuan Pasal 44 KUHP positif, barang siapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat
dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Jiwanya cacat
dalam pertumbuhan artinya adalah kurang sempurnanya akal yakni terkait ketidaknormalan/kurangya
kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran sedangkan terganggu
karena penyakit adalah menderita sakit yang merubah kesehatan akalnya.
Berdasarkan konstruksi Pasal 44 ayat KUHP positif, maka penyandang disabilitas yang available untuk tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana adalah penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual sedangkan penyandang disabilitas fisik dan disabilitas sensorik dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana karena tidak berkaitan dengan aspek psikis.
Meskipun dalam praktiknya, masih terdapat
penyandang disabilitas intelektual yang dijatuhi sanksi pidana, contohnya
putusan Nomor 264/Pid.Sus/2019/PN Trg yang menjatuhkan vonis pemidanaan
terhadap terdakwa dengan skor IQ 57. Akan tetapi, terdapat tranformasi substantif dalam KUHP Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2023 yang berlaku pada 2 Januari tahun 2026 nanti.
Dalam KUHP baru, aspek kemampuan bertanggungjawab bagi penyandang disabilitas mental dan intelektual dipertegas kualifikasinya menjadi tidak mampu bertanggungjawab dan kurang mampu bertanggungjawab. Bagi yang tidak mampu bertanggungjawab maka tidak dapat dijatuhi pidana tetapi dapat dikenakan tindakan.
Dalam hal ini, tindakan disini
bukan merupakan sebuah penghukuman melainkan treatments. Sedangkan bagi yang kurang mampu bertanggungjawab dapat
dikurangi pidananya dan/atau dikenakan tindakan. Pengenaan pidana dan/atau
tindakan disini merupakan bentuk penghukuman sebagai implikasi
pertanggungjawaban pidana.
Menurut Pasal 38 KUHP baru, setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan. Dalam hal ini keadaan disabilitas mental dan/atau intelektual pada waktu melakukan tindak pidana menjadi alasan yang meringankan karena dianggap kurang mampu bertanggungjawab secara pidana.
Sedangkan menurut
Pasal 39 KUHP baru, setiap
orang yang pada waktu melakukan tindak
pidana menyandang disabilitas mental dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau
disabilitas intelektual derajat sedang
atau berat tidak dapat dijatuhi pidana tetapi dapat dikenakan tindakan.
Jadi, penyandang disabilitas intelektual dan/atau mental yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena dianggap tidak mampu bertanggungjawab adalah penyandang disabilitas intelektual dan/atau mental yang saat melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik serta disabilitas intelektual derajat sedang atau berat.
Sedangkan penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual selain itu yang melakukan tindak pidana dianggap kurang mampu bertanggungjawab sehingga dapat dijatuhi pidana dengan pengurangan, dijatuhi tindakan saja, dan dijatuhi pidana dengan pengurangan plus tindakan. Artinya, keadaan kurang mampu bertanggungjawab menjadi dasar alasan peringanan hukuman terhadap penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual yang melakukan tindak pidana. (ypy, ldr)
Pustaka
Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta
Romli Atmasasmita,
1989, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta
Baca Juga: Wujudkan Peradilan Inklusif, PN Banjar Jabar Kolaborasi dengan Dinsos dan SLB
Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI