Cari Berita

Pertanggungjawaban Pidana Penyandang Disabilitas Mental dan Intelektual

Pradikta Andi Alvat-PNS PN Rembang - Dandapala Contributor 2025-10-19 10:25:31
Dok. Penulis.

Roeslan Saleh dalam buku Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (1983) mendefinisikan pertanggungjawaban pidana sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif pada orang yang melakukannya telah memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.

Romli Atmasasmita dalam buku Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana (1989), mengartikan pertanggungjawaban pidana sebagai suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang dilakukan.

Pertanggungjawaban pidana erat kaitannya dengan faktor subyektif yakni kesalahan sebagai aspek lanjutan dari terjadinya tindak pidana untuk menentukan dapat tidaknya seseorang dijatuhi sanksi pidana. Menurut doktrin hukum pidana, seseorang dapat dijatuhi sanksi pidana jika terpenuhi dua hal secara integral yakni melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan. Melakukan tindak pidana asasnya nulla poena sine crimen, yang artinya tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana. Sedangkan kesalahan asasnya adalah geen straf zonder schuld, yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan.

Baca Juga: Keren! Ini 4 Gebrakan PN Rote Ndao untuk Penyandang Disabilitas

Kesalahan secara prinsipil merupakan dasar pertanggungjawaban pidana. Kesalahan adalah keadaan jiwa dari pelaku dan hubungan batin antara si pelaku dan perbuatannya sehingga patut untuk dikenakan celaan secara hukum.

Mengenai keadaan jiwa dari si pelaku dapat dipahami sebagai kemampuan bertanggungjawab. Sedangkan hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya dipahami sebagai bentuk dari kesalahan yakni kesengajaan dan kealpaan serta ketiadaan alasan pemaaf. Jadi, dalam aspek kesalahan terdapat 3 unsur yakni kemampuan bertanggungjawab, bentuk kesalahan (kesengajaan/kealpaan), dan ketiadaan alasan pemaaf.

Menurut Prof Sudarto dalam buku Kapita Selekta Hukum Pidana (2006), kemampuan bertanggungjawab merupakan keadaan dan normalitas psikis yang ditandai adanya 3 kemampuan yakni menginsyafi arti dan akibat perbuatannya, memahami bahwa perbuatan itu tercela, dan memiliki kemampuan menentukan kehendak untuk berbuat.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur dari kesalahan yang menyangkut kondisi psikis seseorang untuk memahami hakikat perbuatan yang dilakukan artinya menyangkut batas usia untuk dianggap matang dan ada tindaknya masalah kejiwaaan.

Orang dianggap memiliki kemampuan bertanggungjawab jika berusia 12 tahun ke atas (batas usia bisa dimintai pertanggungjawaban pidana) karena menurut pembentuk undang-undang, usia 12 tahun adalah batas usia dimana seseorang memiliki kematangan secara psikis untuk menginsyafi esensi perbuatannya.

Selain itu, orang dianggap memiliki kemampuan bertanggungjawab jika tidak memiliki masalah kejiwaan/psikis yang secara contrario dimaknai bahwa orang yang memiliki masalah kejiwaan/psikis tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Kemampuan Bertanggungjawab Penyandang Disabilitas Mental dan Intelektual

Berdasarkan konsep pertanggungjawaban pidana di atas, maka bagaimana hukum pidana dalam mengkonstruksi pertanggungjawaban pidana penyandang disabilitas.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Disabilitas, penyandang disabiltas (difabel) didefinisikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu yang lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Secara prinsip, penyandang disabilitas diakui sebagai subyek hukum, memiliki hak dan kewajiban hukum serta berhak mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 9 huruf a dan b UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang disabilitas. Namun dalam aspek pertanggungjawaban pidana terdapat afirmasi terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual karena menyangkut kondisi psikis (kemampuan bertanggungjawab).

Disabilitas intelektual adalah disfungsi/keterbatasan secara intelektual dan perilaku adaptif yang ditandai oleh deteriorasi fungsi konkrit pada intelegensia sehingga menyebabkan hambatan dalam kemampuan komunikasi dan interaksi sosial dalam komunitas, kemampuan akademik, serta kemampuan bekerja.

Contoh disabilitas intelektual adalah down syndrome. Kemudian, disabilitas mental merupakan terganggunya fungsi pikir, emosi, perilaku, dan psikologis yang menyebabkan terganggunya kemampuan interaksi sosial. Contoh disabilitas mental diantaranya skizofrenia, depresi, bipolar, anxietas, autis, dan hiperaktif.


Merujuk ketentuan Pasal 44 KUHP positif, barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Jiwanya cacat dalam pertumbuhan artinya adalah kurang sempurnanya akal yakni terkait ketidaknormalan/kurangya kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran sedangkan terganggu karena penyakit adalah menderita sakit yang merubah kesehatan akalnya.

Berdasarkan konstruksi Pasal 44 ayat KUHP positif, maka penyandang disabilitas yang available untuk tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana adalah penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual sedangkan penyandang disabilitas fisik dan disabilitas sensorik dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana karena tidak berkaitan dengan aspek psikis.

Meskipun dalam praktiknya, masih terdapat penyandang disabilitas intelektual yang dijatuhi sanksi pidana, contohnya putusan Nomor 264/Pid.Sus/2019/PN Trg yang menjatuhkan vonis pemidanaan terhadap terdakwa dengan skor IQ 57. Akan tetapi, terdapat tranformasi substantif dalam KUHP Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 yang berlaku pada 2 Januari tahun 2026 nanti.

Dalam KUHP baru, aspek kemampuan bertanggungjawab bagi penyandang disabilitas mental dan intelektual dipertegas kualifikasinya menjadi tidak mampu bertanggungjawab dan kurang mampu bertanggungjawab. Bagi yang tidak mampu bertanggungjawab maka tidak dapat dijatuhi pidana tetapi dapat dikenakan tindakan.

Dalam hal ini, tindakan disini bukan merupakan sebuah penghukuman melainkan treatments. Sedangkan bagi yang kurang mampu bertanggungjawab dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenakan tindakan. Pengenaan pidana dan/atau tindakan disini merupakan bentuk penghukuman sebagai implikasi pertanggungjawaban pidana.

Menurut Pasal 38 KUHP baru, setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan. Dalam hal ini keadaan disabilitas mental dan/atau intelektual pada waktu melakukan tindak pidana menjadi alasan yang meringankan karena dianggap kurang mampu bertanggungjawab secara pidana.

Sedangkan menurut Pasal 39 KUHP baru, setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana tetapi dapat dikenakan tindakan.

Jadi, penyandang disabilitas intelektual dan/atau mental yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena dianggap tidak mampu bertanggungjawab adalah penyandang disabilitas intelektual dan/atau mental yang saat melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik serta disabilitas intelektual derajat sedang atau berat.

Sedangkan penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual selain itu yang melakukan tindak pidana dianggap kurang mampu bertanggungjawab sehingga dapat dijatuhi pidana dengan pengurangan, dijatuhi tindakan saja, dan dijatuhi pidana dengan pengurangan plus tindakan. Artinya, keadaan kurang mampu bertanggungjawab menjadi dasar alasan peringanan hukuman terhadap penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual yang melakukan tindak pidana. (ypy, ldr)

Pustaka

Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta

Romli Atmasasmita, 1989, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta

Baca Juga: Wujudkan Peradilan Inklusif, PN Banjar Jabar Kolaborasi dengan Dinsos dan SLB

Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung 

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI