Tanjung Selor, Kalimantan Utara – Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Kalimantan Utara, Dr. Marsudin Nainggolan, S.H., M.H., yang juga merupakan dosen hukum pidana di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, hadir sebagai narasumber dalam seminar sehari bertema “Optimalisasi Pendekatan Follow the Asset dan Follow the Money melalui Deferred Prosecution Agreement (DPA) dalam Penanganan Perkara Pidana”. Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Kejaksaan Republik Indonesia ke-80 di Aula Kantor Kejaksaan Tinggi Kalimantan Utara.
Dalam paparannya, Marsudin menjelaskan bahwa konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA), atau perjanjian penundaan penuntutan, memang belum diatur secara eksplisit dalam KUHAP. Namun, menurutnya, terdapat peluang besar untuk mengimplementasikan konsep tersebut di Indonesia. Hal tersebut karena sudah ada praktik hukum yang sejalan, seperti perampasan aset tanpa proses pidana (Non Conviction Based), penerapan Restorative Justice, serta penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal.
“Semua itu dapat diperkuat dengan landasan Teori Keadilan Restoratif, Teori Efektivitas Hukum, serta Teori Pidana Modern. Dengan demikian, sistem hukum kita tidak hanya menekankan pada pemidanaan, tetapi juga pada pemulihan kerugian negara dan kepastian hukum,” ungkap Marsudin.
Baca Juga: Semangat Kebersamaan dan Pengabdian Warnai Semarak HUT MA di PT Kaltara
Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa penerapan DPA di Indonesia harus memenuhi beberapa syarat pokok, yaitu:
1. Pengembalian aset (asset recovery) sebagai syarat utama penangguhan penuntutan.
2. Pengawasan ketat oleh PPATK, OJK, serta lembaga independen untuk memastikan korporasi menjalankan kewajibannya.
3. Pemberlakuan DPA terbatas pada tindak pidana ekonomi atau korporasi tertentu, bukan untuk kasus yang menyangkut korban jiwa seperti pembunuhan.
4. Memerlukan penetapan Pengadilan Negeri setempat untuk memastikan proses hukum berjalan, sebagaimana mekanisme diversi dalam UU SPPA.
Marsudin juga menekankan bahwa peluang penerapan DPA ini sejalan dengan arah transformasi pembangunan hukum nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025–2045, yang menempatkan penguatan sistem hukum dan pemberantasan tindak pidana ekonomi sebagai agenda strategis.
Menurutnya, semangat DPA sejatinya sudah tercermin dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013 serta sejumlah yurisprudensi Mahkamah Agung.
Baca Juga: Arbitration Agreements as Jurisdictional Boundaries, Rules and Challenges in Indonesia
“Dengan dukungan regulasi dan visi pembangunan hukum nasional, konsep DPA bisa menjadi instrumen penting dalam mewujudkan penegakan hukum yang efektif, efisien, dan berkeadilan. Terutama dalam kasus-kasus korupsi dan kejahatan korporasi yang merugikan negara,” tegasnya.
Seminar tersebut mendapat antusiasme tinggi dari para peserta, yang terdiri dari jajaran kejaksaan, aparat penegak hukum, akademisi, serta praktisi hukum di Kalimantan Utara. IKAW/WI
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI