Cari Berita

KUHAP Baru! Check & Balance Penegakan Hukum Melalui Judicial Scrutiny

Anissa Larasati & Urif Syarifudin - Dandapala Contributor 2025-11-22 18:00:19
Dok. Ist

Jakarta - Disahkannya KUHAP Baru menjadi sorotan utama dalam Webinar Nasional bertema “Telaah Kritis Judicial Scrutiny dalam KUHAP Baru: Menghindari Legitimasi Praktik Kesewenang-wenangan Aparat Penegak Hukum” yang digelar IMMH-UI pada Sabtu (22/11). Para akademisi dan peneliti menilai regulasi baru tersebut masih menyimpan celah kriminalisasi serta potensi pelanggaran HAM apabila tidak disertai penguatan mekanisme pengawasan hakim.

Acara yang berlangsung secara virtual dari Kampus FHUI itu menghadirkan tiga narasumber utama, yakni Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Prof. Syahlan, dan Girlie Aneira. Ketiganya menekankan perlunya judicial scrutiny yang efektif agar kewenangan aparat tidak berubah menjadi praktik sewenang-wenang.

Webinar dimulai pukul 09.00 WIB melalui fasilitas Zoom diawali dengan sambutan disampaikan Ketua IMMH UI.

Baca Juga: Judicial Scrutiny sebagai Upaya Reintegrasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Prof. Harkristuti Harkrisnowo sebagai pemateri pertama menyampaikan paparannya Ia menegaskan bahwa perubahan KUHAP harus diikuti instrumen pengawasan yang kuat demi mencegah penyalahgunaan kewenangan penegak hukum. “Tanpa penguatan mekanisme judicial scrutiny, KUHAP Baru berisiko membuka ruang kriminalisasi karena upaya paksa dapat digunakan secara sewenang-wenang tanpa filter yudisial yang memadai,” ujarnya.

Sesi berikutnya diisi Prof. Syahlan, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bandung. Ia menilai perluasan tindakan upaya paksa dalam KUHAP tidak otomatis menjamin perlindungan hak warga negara. “Dengan perluasan upaya paksa dan kewenangan aparat, RUU KUHAP tetap menyimpan potensi pelanggaran HAM ketika mekanisme pengawasan dan batasan tindakan sewenang-wenang belum ditegaskan secara efektif,” kata Syahlan.

Materi terakhir disampaikan peneliti ICJR, Girlie Lipsky Aneira, menyoroti kewenangan penyidik yang semakin luas, mulai dari penahanan hingga penyadapan, yang dinilai rentan tanpa pengawasan hakim secara ketat. “Tanpa pengawasan yudisial yang kuat terhadap seluruh upaya paksa, KUHAP Baru berisiko membuka ruang abuse of power karena banyak kewenangan penyidik (mulai dari penahanan hingga penyadapan) dapat dijalankan secara subjektif tanpa safeguard memadai,” ujarnya.

Usai pemaparan, Peserta webinar menanyakan implikasi praktis regulasi baru terhadap standar pemeriksaan praperadilan, serta kesiapan lembaga peradilan dalam memperkuat fungsi kontrol terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum. 

Diketahui, kegiatan itu digelar sebagai respons akademik atas pengesahan KUHAP Baru yang dinilai membawa perubahan besar dalam sistem peradilan pidana, terutama terkait prosedur upaya paksa dan ruang intervensi aparat penegak hukum.

Baca Juga: Menggali Makna Praperadilan Terhadap Penyitaan

Para pembicara sepakat bahwa tanpa batasan yuridis yang jelas dan mekanisme pengawasan berlapis, perubahan dalam KUHAP berpotensi mendorong kriminalisasi tindakan warga serta memperlemah perlindungan hak tersangka. Selain itu, absennya mandat eksplisit terkait judicial scrutiny dinilai dapat mengurangi peran hakim sebagai penjaga keadilan dalam proses penyidikan.

Melalui webinar ini, ditegaskan urgensi memperkuat mekanisme pengawasan yudisial sebagai langkah pencegahan atas penyalahgunaan kewenangan dalam implementasi KUHAP Baru. Meski telah disahkan, regulasi tersebut dinilai masih membutuhkan penegasan teknis agar tidak membuka ruang kriminalisasi dan pelanggaran HAM dalam praktik penegakan hukum ke depan. (zm/fac)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…