Cari Berita

Memahami Antikorupsi dalam Perspektif Falsafah Hindu dan Relevansinya bagi Jabatan Hakim

I Kadek Apdila Wirawan Hakim PN Gianyar - Dandapala Contributor 2025-12-10 08:05:23
Dok. Ist.

Korupsi hingga hari ini masih menjadi ancaman serius bagi bangunan peradaban hukum Indonesia. Upaya pemberantasannya tidak hanya memerlukan pendekatan hukum positif, tetapi juga penguatan moral, spiritual, dan etika di tingkat individu maupun kelembagaan.

Ajaran Hindu, menghadirkan kerangka pandangan yang sangat kaya dalam memahami dan melawan praktik korupsi. Dalam perspektif Hindu, korupsi bukan sekadar tindakan melanggar hukum negara, tetapi merupakan perbuatan adharma, yakni perilaku yang bertentangan dengan kebenaran dan kebajikan.

Sarasamuscaya sloka 263 dengan tegas menyatakan jika harta itu diperoleh berlandaskan dharma, itu dinamakan keberuntungan, sungguh akan mengalami kesenangan orang yang memperoleh harta itu, tetapi jika harta itu diperoleh dengan jalan adharma maka harta itu merupakan noda, dihindari oleh orang yang berbudi mulia. Oleh karena itu, janganlah bertindak menyalahi dharma dalam menuntut sesuatu.

Baca Juga: Kode Etik Hakim dalam Perspektif Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu

Dalam pandangan ini, korupsi adalah pelanggaran spiritual, karena ia mengabaikan dharma, merusak harmoni sosial, dan menodai kesucian pikiran, perkataan, serta perbuatan.

Ajaran Hindu menempatkan manusia sebagai makhluk yang dikaruniai wiweka, kemampuan membedakan mana yang benar dan salah. Wiweka adalah kompas moral yang seharusnya membimbing pikiran (manacika), perkataan (wacika), dan tindakan (kayika) agar tetap berada pada jalan kebenaran.

Karena itu, konsep Tri Kaya Parisudha menjadi kunci membangun karakter antikorupsi. Tri Kaya Parisudha mengajarkan bahwa pikiran harus bersih, perkataan harus jujur, dan perbuatan harus lurus sebuah kesatuan integritas yang tidak hanya mendidik seseorang untuk tidak mencuri, tetapi juga tidak berniat melakukan kebohongan sekecil apa pun.

Ajaran ini diperkuat oleh Panca Satya, lima bentuk kejujuran dalam Hindu: satya wacana, satya hrdaya, satya laksana, satya mitra, dan satya samaya, yang menegaskan bahwa kejujuran harus hadir dalam setiap aspek kehidupan manusia.

Dalam kitab-kitab suci Hindu ditegaskan bahwa kebenaranlah yang pada akhirnya jaya, bukan tipu daya, sebagaimana dinyatakan dalam Mundaka Upanisad bahwa satyam eva jayate nanrtam (hanya kebenaran yang menang, bukan kejahatan).

Demikian pula Manawa Dharmasastra menegaskan bahwa kekayaan yang diperoleh dari jalan yang tidak benar hanya bertahan sebentar sebelum musnah bersama kehormatan pelakunya

Jika nilai-nilai tersebut dihubungkan dengan profesi Hakim sebagai penjaga marwah keadilan, terlihat bahwa ajaran Hindu memberikan fondasi moral yang sangat relevan. Hakim adalah figur yang dipercaya publik sebagai penentu akhir benar dan salah. Karena itu, ia harus terlebih dahulu mampu menaklukkan nafsu dan ambisinya sendiri sebelum mengadili orang lain sebagaimana ajaran Hindu menuntut seseorang untuk mengendalikan indriya sehingga pikirannya tetap bersih dan tidak terpengaruh godaan duniawi.

Dalam kisah simbolik yang diuraikan dalam ajaran Upanisad, Prajapati memberikan nasihat kepada tiga makhluk melalui satu kata yang sama, yaitu “da”, namun ditafsirkan berbeda oleh masing-masing: dama (pengendalian diri) bagi para dewa, datta (kerelaan memberi dan tidak tamak) bagi manusia, dan daya (kasih sayang) bagi para asura.

Prajapati kemudian menegaskan bahwa ketiganya harus dipraktikkan bersama sebagai dasar perilaku manusia yang benar. Hal tersebut mutlak diperlukan secara seimbang dalam kehidupan manusia untuk mencapai kesempurnaan etika dan spiritual. Bagi seorang Hakim, ketiga nilai tersebut sangat penting.

Dama menuntunnya untuk tidak tergoda suap atau intervensi. Datta mengingatkannya agar tidak tamak terhadap fasilitas dan jabatan. Daya mendorongnya untuk tetap berbelas kasih dalam mengadili (menggunakan akal sehat dan hati nurani), terutama ketika perkara melibatkan anak atau kelompok rentan. Ketiga nilai ini, ketika dihayati secara utuh, membentuk karakter Hakim yang bersih, teguh, dan bijaksana.

Selain itu, ajaran tentang karmaphala memberikan peringatan keras bahwa setiap perbuatan akan kembali kepada pelakunya, termasuk perbuatan koruptif yang tampak menguntungkan secara materi namun sesungguhnya membawa penderitaan bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Keyakinan Hindu memposisikan bahwa korupsi membawa penderitaan tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga keluarga, kerabat, dan masyarakat luas yang ikut menikmati atau terdampak oleh harta tersebut

Prinsip ini sangat relevan bagi Hakim yang tidak hanya menanggung tanggung jawab profesional, tetapi juga tanggung jawab moral di hadapan keluarganya, masyarakat, dan Hyang Widhi Wasa.

Dalam perspektif swadharma, pekerjaan Hakim adalah panggilan suci yang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, dan dengan penuh kesadaran bahwa keputusan yang diambilnya mempengaruhi kehidupan banyak orang.

Ajaran Hindu juga menekankan pentingnya keberanian moral (sauryam) untuk menegakkan keadilan.

Bhagavad Gita menyebut keberanian sebagai sifat yang harus dimiliki kesatria, sedangkan Slokantara menempatkan orang yang berani dan percaya diri sebagai salah satu golongan yang akan menikmati kebahagiaan hidup. Bagi seorang Hakim, keberanian moral menjadi sangat penting ketika ia harus menghadapi tekanan, intervensi, atau opini publik yang tidak menentu. Hakim yang menjaga dharma harus tetap teguh meskipun putusannya tidak populer, selama putusan itu benar menurut hukum dan nurani.

Melalui keseluruhan pandangan ini, jelas bahwa falsafah Hindu memberikan landasan spiritual, moral, dan etis yang kuat untuk membentuk karakter antikorupsi. Ajaran dharma, Tri Kaya Parisudha, Panca Satya, dama-datta-daya, karmaphala, hingga etos kerja dalam kitab-kitab suci Hindu bukan hanya pedoman religius, tetapi juga pedoman profesional terutama bagi Hakim yang dalam tugasnya mengemban kepercayaan publik yang sangat besar.

Hakim adalah cermin moral negara. Bila ia bersih, tegak, dan berintegritas, maka cahaya dharma terpancar dalam putusan-putusannya. Namun bila ia menyimpang, maka rusaklah keadilan dan runtuhlah kepercayaan masyarakat.

Pada akhirnya, memahami antikorupsi melalui perspektif falsafah Hindu bukan hanya soal mengenali larangan terhadap tindakan korupsi, tetapi memahami bahwa antikorupsi adalah laku spiritual, jalan menuju kesucian pikiran, kebersihan tindakan, dan kemuliaan profesi.

Bagi seorang Hakim, antikorupsi adalah manifestasi swadharma jalan kebenaran yang harus dijalani demi terwujudnya keadilan yang sejati. Dengan menegakkan dharma dalam setiap putusan, Hakim bukan hanya mengadili perkara, tetapi juga menegakkan kemuliaan hidup, kehormatan jabatan, dan martabat peradaban hukum Indonesia. (ldr)

Referensi

Baca Juga: Duit Setan Dipangan Demit, Falsafah Jawa Anti Korupsi

Sarasamuccaya dan terjemahannya, Tim Pengkaji dan Penerjemah Pustaka Suci Veda, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Republik Indonesia, 2021

Pendidikan Antikoripsi untuk Pemeluk Agama Hindu, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…