Korupsi hingga hari ini masih menjadi ancaman serius bagi
bangunan peradaban hukum Indonesia. Upaya pemberantasannya tidak hanya
memerlukan pendekatan hukum positif, tetapi juga penguatan moral, spiritual,
dan etika di tingkat individu maupun kelembagaan.
Ajaran Hindu, menghadirkan kerangka pandangan yang
sangat kaya dalam memahami dan melawan praktik korupsi. Dalam perspektif Hindu,
korupsi bukan sekadar tindakan melanggar hukum negara, tetapi merupakan
perbuatan adharma, yakni perilaku yang bertentangan dengan kebenaran dan
kebajikan.
Sarasamuscaya sloka 263 dengan tegas menyatakan jika
harta itu diperoleh berlandaskan dharma, itu dinamakan keberuntungan, sungguh
akan mengalami kesenangan orang yang memperoleh harta itu, tetapi jika harta
itu diperoleh dengan jalan adharma maka harta itu merupakan noda, dihindari
oleh orang yang berbudi mulia. Oleh karena itu, janganlah bertindak menyalahi
dharma dalam menuntut sesuatu.
Baca Juga: Kode Etik Hakim dalam Perspektif Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu
Dalam pandangan ini, korupsi adalah pelanggaran
spiritual, karena ia mengabaikan dharma, merusak harmoni sosial, dan menodai
kesucian pikiran, perkataan, serta perbuatan.
Ajaran Hindu menempatkan manusia sebagai makhluk yang
dikaruniai wiweka, kemampuan membedakan mana yang benar dan salah. Wiweka
adalah kompas moral yang seharusnya membimbing pikiran (manacika), perkataan
(wacika), dan tindakan (kayika) agar tetap berada pada jalan kebenaran.
Karena itu, konsep Tri Kaya Parisudha menjadi kunci
membangun karakter antikorupsi. Tri Kaya Parisudha mengajarkan bahwa pikiran
harus bersih, perkataan harus jujur, dan perbuatan harus lurus sebuah kesatuan
integritas yang tidak hanya mendidik seseorang untuk tidak mencuri, tetapi juga
tidak berniat melakukan kebohongan sekecil apa pun.
Ajaran ini diperkuat oleh Panca Satya, lima bentuk
kejujuran dalam Hindu: satya wacana, satya hrdaya, satya laksana, satya mitra,
dan satya samaya, yang menegaskan bahwa kejujuran harus hadir dalam setiap
aspek kehidupan manusia.
Dalam kitab-kitab suci Hindu ditegaskan bahwa
kebenaranlah yang pada akhirnya jaya, bukan tipu daya, sebagaimana dinyatakan
dalam Mundaka Upanisad bahwa satyam eva jayate nanrtam (hanya kebenaran
yang menang, bukan kejahatan).
Demikian pula Manawa Dharmasastra menegaskan bahwa
kekayaan yang diperoleh dari jalan yang tidak benar hanya bertahan sebentar
sebelum musnah bersama kehormatan pelakunya
Jika nilai-nilai tersebut dihubungkan dengan profesi
Hakim sebagai penjaga marwah keadilan, terlihat bahwa ajaran Hindu memberikan
fondasi moral yang sangat relevan. Hakim adalah figur yang dipercaya publik
sebagai penentu akhir benar dan salah. Karena itu, ia harus terlebih dahulu
mampu menaklukkan nafsu dan ambisinya sendiri sebelum mengadili orang lain sebagaimana
ajaran Hindu menuntut seseorang untuk mengendalikan indriya sehingga pikirannya
tetap bersih dan tidak terpengaruh godaan duniawi.
Dalam kisah simbolik yang diuraikan dalam ajaran
Upanisad, Prajapati memberikan nasihat kepada tiga makhluk melalui satu kata
yang sama, yaitu “da”, namun ditafsirkan berbeda oleh masing-masing: dama
(pengendalian diri) bagi para dewa, datta (kerelaan memberi dan tidak tamak)
bagi manusia, dan daya (kasih sayang) bagi para asura.
Prajapati kemudian menegaskan bahwa ketiganya harus
dipraktikkan bersama sebagai dasar perilaku manusia yang benar. Hal tersebut mutlak
diperlukan secara seimbang dalam kehidupan manusia untuk mencapai kesempurnaan
etika dan spiritual. Bagi
seorang Hakim, ketiga nilai tersebut sangat penting.
Dama menuntunnya untuk tidak tergoda suap atau
intervensi. Datta mengingatkannya agar tidak tamak terhadap fasilitas dan
jabatan. Daya mendorongnya untuk tetap berbelas kasih dalam mengadili
(menggunakan akal sehat dan hati nurani), terutama ketika perkara melibatkan
anak atau kelompok rentan. Ketiga nilai ini, ketika dihayati secara utuh,
membentuk karakter Hakim yang bersih, teguh, dan bijaksana.
Selain itu, ajaran tentang karmaphala memberikan
peringatan keras bahwa setiap perbuatan akan kembali kepada pelakunya, termasuk
perbuatan koruptif yang tampak menguntungkan secara materi namun sesungguhnya
membawa penderitaan bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Keyakinan Hindu memposisikan bahwa korupsi membawa
penderitaan tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga keluarga, kerabat, dan
masyarakat luas yang ikut menikmati atau terdampak oleh harta tersebut
Prinsip ini sangat relevan bagi Hakim yang tidak hanya
menanggung tanggung jawab profesional, tetapi juga tanggung jawab moral di
hadapan keluarganya, masyarakat, dan Hyang Widhi Wasa.
Dalam perspektif swadharma, pekerjaan Hakim adalah
panggilan suci yang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, dan
dengan penuh kesadaran bahwa keputusan yang diambilnya mempengaruhi kehidupan
banyak orang.
Ajaran Hindu juga menekankan pentingnya keberanian
moral (sauryam) untuk menegakkan keadilan.
Bhagavad Gita menyebut keberanian sebagai sifat yang
harus dimiliki kesatria, sedangkan Slokantara menempatkan orang yang berani dan
percaya diri sebagai salah satu golongan yang akan menikmati kebahagiaan hidup.
Bagi seorang Hakim, keberanian moral menjadi sangat penting ketika ia harus
menghadapi tekanan, intervensi, atau opini publik yang tidak menentu. Hakim
yang menjaga dharma harus tetap teguh meskipun putusannya tidak populer, selama
putusan itu benar menurut hukum dan nurani.
Melalui keseluruhan pandangan ini, jelas bahwa
falsafah Hindu memberikan landasan spiritual, moral, dan etis yang kuat untuk
membentuk karakter antikorupsi. Ajaran dharma, Tri Kaya Parisudha, Panca Satya,
dama-datta-daya, karmaphala, hingga etos kerja dalam kitab-kitab suci Hindu
bukan hanya pedoman religius, tetapi juga pedoman profesional terutama bagi
Hakim yang dalam tugasnya mengemban kepercayaan publik yang sangat besar.
Hakim adalah cermin moral negara. Bila ia bersih,
tegak, dan berintegritas, maka cahaya dharma terpancar dalam
putusan-putusannya. Namun bila ia menyimpang, maka rusaklah keadilan dan
runtuhlah kepercayaan masyarakat.
Pada akhirnya, memahami antikorupsi melalui perspektif
falsafah Hindu bukan hanya soal mengenali larangan terhadap tindakan korupsi,
tetapi memahami bahwa antikorupsi adalah laku spiritual, jalan menuju kesucian
pikiran, kebersihan tindakan, dan kemuliaan profesi.
Bagi seorang Hakim, antikorupsi adalah manifestasi
swadharma jalan kebenaran yang harus dijalani demi terwujudnya keadilan yang
sejati. Dengan menegakkan dharma dalam setiap putusan, Hakim bukan hanya
mengadili perkara, tetapi juga menegakkan kemuliaan hidup, kehormatan jabatan,
dan martabat peradaban hukum Indonesia. (ldr)
Referensi
Baca Juga: Duit Setan Dipangan Demit, Falsafah Jawa Anti Korupsi
Sarasamuccaya dan terjemahannya,
Tim Pengkaji dan Penerjemah Pustaka Suci Veda, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Hindu Kementerian Agama Republik Indonesia, 2021
Pendidikan Antikoripsi untuk Pemeluk Agama Hindu, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI