Konteks Hukum dan Sosial
mengenai pergantian nama di Bali
Seorang Hakim dituntut untuk
tidak hanya memahami hukum positif, tetapi juga mampu membaca nilai-nilai lokal
yang hidup dalam masyarakat tempat ia bertugas. Di Bali, adat dan budaya bukan
sekadar latar belakang sosial, melainkan sistem nilai yang menyatu dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk dalam perkara yang tampak sederhana seperti
permohonan pergantian nama.
Secara hukum, pergantian nama
adalah hak setiap warga negara yang diatur dalam UU Administrasi Kependudukan
dan Permendagri Nomor 73 Tahun 2022. Namun, ketika permohonan tersebut
menyentuh aspek gelar kebangsawanan atau wangsa dalam masyarakat Bali, maka
pertimbangan hukum tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan adat.
Baca Juga: Quo Vadis: Dapatkah Perempuan Hak Mewaris dalam Perspektif Hukum Adat Bali?
Kendati demikian, hukum negara tidak serta-merta dapat mengesampingkan norma-norma yang berlaku dalam tatanan adat, terutama di wilayah seperti Bali. Di Provinsi Bali, nama bukan sekadar identitas administratif. Nama merupakan warisan keluarga, penanda keturunan, dan bagian yang tak terpisahkan dari sistem adat yang telah terkonstruksi selama berabad-abad.
Dalam konteks ini, praktik ganti nama yang mengubah gelar
kebangsawanan (wangsa)—misalnya dari “I Gede” menjadi “Anak Agung”,
“Cokorda”, atau “I Gusti Ngurah”—menimbulkan pertanyaan serius tentang
validitas, etika, dan dampaknya terhadap tatanan sosial.
Nama mencerminkan banyak hal.
Perubahan nama yang melibatkan perubahan gelar wangsa bukan hanya soal
administratif, melainkan menyangkut legitimasi sosial dan genealogis. Dalam
tradisi Bali, gelar seperti “Anak Agung” tidak diberikan sembarangan, melainkan
diwariskan melalui garis keturunan yang dapat ditelusuri secara adat dan
dokumentatif kebenarannya.
Surat Gubernur Bali
Tahun 1994 dan Ketentuan Adat tentang Gelar/Wangsa
Guna menyelesaikan polemik tersebut, Gubernur Bali pada tahun 1994 yakni Ida Bagus Oka, menerbitkan Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor: MPLA/I/234/1994 tanggal 2 Juni 1994 tentang Marga, Clan, Fam, Suku dan Gelar Kebangsawanan di Bali.
Dalam kaitannya dengan gelar kebangsawanan, dalam poin angka 3 dijelaskan pada pokoknya pengelompokan masyarakat etnis Bali adalah berdasarkan keturunan (Genealogis) yang disebut “catur wangsa”, di mana orang-orangnya selain memiliki suatu sebutan sendiri juga mendapat status sosial tertentu yang diberikan oleh raja-raja sebagai pemerintah di Bali zaman dahulu.
Ini merupakan
suatu warisan sejarah yang faktual dan masih hidup di masyarakat Bali,
kedudukan tersebut dimiliki dan tetap melekat secara turun temurun yang tidak
dapat dialihkan kepada orang lain kecuali yang bersangkutan secara sukarela
melepaskannya dengan suatu alasan (dikenal pula dengan istilah nyineb wangsa)
atau dicabut oleh pihak yang berwenang pada waktu itu.
Relevansi dengan suatu permohonan ganti nama yang menginginkan ditambahkannya gelar kebangsawanan tersebut dalam nama Pemohon terdapat pada angka 6 surat Gubernur tersebut. Ditegaskan kembali dalam pembahasan poin tersebut, sebutan kebangsawanan merupakan suatu warisan sejarah yang diberikan oleh raja-raja di Bali pada zaman dahulu, dengan kata lain, yang berwenang memberikan sebutan tersebut adalah raja-raja pada zaman dahulu yang berperan sebagai pemerintah di Bali.
Lembaga kerajaan tersebut telah dihapus dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dengan kata lain,
lembaga yang berwenang memberikan sebutan atau gelar tersebut secara hukum
sudah tidak diakui, sehingga sebutan-sebutan yang masih melekat pada sejumlah
individu di Bali merupakan warisan keluarga yang melekat pada keturunannya.
Lebih lanjut, terdapat ketentuan limitatif yang memberikan ruang untuk penggunaan gelar tersebut. Apabila terdapat suatu permohonan dari seseorang untuk mengubah sebutan kebangsawanannya, maka harus dibuktikan terlebih dahulu dengan menunjukkan bukti-bukti otentik yang sah mengenai sebutan kebangsawanan yang melekat pada nama leluhurnya yaitu Kumpinya (Kumpi : Ayah dari kakek, tiga tingkat ke atas menurut garis Purusa).
Ketentuan ini bertujuan untuk
menjaga keabsahan penggunaan gelar, mencegah penyalahgunaan status sosial, dan
memastikan bahwa penggunaan gelar wangsa tetap berjalan sesuai dengan
prinsip genealogis yang dikenal dalam struktur sosial masyarakat Bali. Dengan
demikian, proses verifikasi ini bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan
bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai adat dan warisan budaya yang telah
dijaga secara turun-temurun.
Bagaimana dengan seseorang
yang pindah agama dari agama lain ke agama Hindu? Apabila terjadi demikian,
surat tersebut menjelaskan, sebutan namanya tidak berubah dan tetap seperti
semula, yang berarti pula tidak bisa menggunakan sebutan kebangsawanan
masyarakat Bali yang beragama Hindu. Hal tersebut dijelaskan dalam poin 7, yang
berarti pergantian nama ketika memeluk agama Hindu bukanlah hal yang wajib,
namun dapat diubah tanpa menggunakan sebutan kebangsawanan yang ada.
Menutup surat tersebut, pada poin 8 dijelaskan apabila terdapat permohonan untuk mengubah sebutan kebangsawanan yang berlaku dalam masyarakat Bali yang diajukan oleh seseorang, sebelum Hakim mengambil keputusan dengan mengeluarkan penetapan, hendaknya terlebih dahulu mendengarkan pendapat dari Departemen Agama yang membidangi agama Hindu, Parisada Hindu Dharma Indonesia, dan Majelis Lembaga Adat di Bali.
Ketentuan-ketentuan dalam Surat Gubernur tersebut menandakan adanya keseriusan
pemerintah setempat dalam menjaga dan melestarikan warisan-warisan budaya dan
adat Bali agar tidak terjadi kesewenangan atau penyalahgunaan yang dapat
menciptakan kebingungan dalam tatatan sosial masyarakat.
Penutup: Menjaga
Keseimbangan antara Hak dan Adat
Di tengah arus modernisasi dan
fleksibilitas hukum administratif, pergantian nama di Bali bukan sekadar soal
legalitas, tetapi menyangkut integritas budaya dan legitimasi sosial. Hakim
memiliki peran strategis untuk menjaga keseimbangan antara hak individu dan
tatanan adat yang telah hidup berabad-abad. Oleh karena itu, setiap permohonan
ganti nama yang menyangkut gelar wangsa harus diputuskan dengan
kehati-hatian, transparansi, dan penghormatan terhadap sistem adat Bali—agar
hukum tidak hanya adil secara formal, tetapi juga bermakna secara kultural.
Lebih jauh, permohonan ganti nama yang melibatkan gelar wangsa menunjukkan adanya dinamika antara identitas personal dan identitas komunal. Di satu sisi, setiap orang berhak memilih nama sebagai bentuk jati diri dan keyakinan.
Baca Juga: Interpretasi Pengadilan Atas Hak Tradisional Masyarakat Adat Timor Tengah Selatan
Di sisi lain, masyarakat adat punya tanggung jawab menjaga tatanan sosial dan warisan leluhur. Di sinilah peran Hakim menjadi sangat penting—bukan hanya dalam menegakkan hukum positif, tetapi juga dengan menghargai nilai-nilai kearifan lokal.
Dengan kebijaksanaan dan penuh kehati-hatian, penetapan Hakim dapat menjadi jalan tengah yang memberikan keadilan, sekaligus sebagai suatu bentuk penghormatan terhadap keberagaman hukum dan adat yang merupakan bagian penting dalam penegakan keadilan di Indonesia. (snr/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI