Cari Berita

Molimo, Falsafah Jawa Cara Wujudkan KEPPH yang Luhur

Bintoro Wisnu Prasojo-Hakim PN Serui - Dandapala Contributor 2025-08-27 08:10:04
Dok. Pribadi.

Definisi Luhur di dalam KBBI adalah Kata "luhur" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tinggi, mulia, atau utama. Arti kata "luhur"   dala KBBI: Tinggi Mulia Utama   (tentan watak),   Penuh keagungan, Megah  sekali Kata  terkait  "luhur": Ngluruhuraké,  yang berarti memuliakan, Ngluruhuri, yang berarti melebihi, Kaluhuran, yang berarti hal yang utama atau kelebihan, KBBI adalah kamus umum yang bersifat historis. KBBI merekam semua fakta kebahasaan yang pernah dan tengah hidup dalam masyarakat tutur bahasa Indonesia.

Dalam menuju keinginan serta cita cita luhur ini diperlukanlah jalan ataupun arah yang akan menjadi kompas dalam muwujudkan diri salah satu konsep yang bisa dipertimbangkan untuk menjadi sebuah kompas dalam menuju ke arah keluhuran salah satunya ada di dalam dakwah Sunan Ampel yang dikenal dengan istilah “Moh Limo”. Itu adalah suatu tindakan tidak menginginkan lima hal.

Moh Limo merupakan strategi dakwah yang memiliki nafas Islam sekaligus filosofi dari leluhur masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa identik dengan sikap yang tidak mau banyak mengurusi persoalan orang lain. Tidak menginginkan keribetan. Lebih baik menghindar dan berdamai.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Suatu sikap tidak ingin atau tidak mau atau "moh" yang diterapkan Sunan Ampel dengan tujuan untuk menghindari maksiat atau "moh" terhadap maksiat. Belakangan "moh limo" menjadi falsafah atau ciri khas dakwah Sunan Ampel untuk memperbaiki kerusakan akhlak masyarakat Jawa pada masa itu.

Lima hal yang dimaksud adalah, pertama, moh main. itu artinya berarti tidak bermain judi, seperti bermain kartu yang mempertaruhkan uang, atau bermain apapun yang mempertaruhkan uang atau sesuatu yang saling merugikan. Karena berjudi tidak hanya berasal dari kartu dan uang. Bisa jadi dengan bola dan rokok.

Kedua, moh ngombe. Ini berarti tidak meminum minuman yang memabukkan seperti arak (khamr). Salah satu tujuan syareat yakni hifdzul Aql (menjaga akal). Menjaga akal agar tetap waras dan sehat hukumnya wajib, dengan cara menghindari sesuatu yang memabukkan hingga menghilangkan kewarasan akal.

Ketiga, moh maling. Ini artinya tidak mencuri barang orang lain yang bukan menjadi haknya. Kita harus mengetahui semua harta adalah titipan. Jangan sampai harta Allah yang dititipkan pada orang lain, ikut diambil tanpa seizin Allah. Pepatah mengatakan, lebih baik air satu gelas tetapi menghilangkan dahagamu, daripada meminta satu kolam yang justru menenggelamkanmu.

Keempat, moh madat. Ini berarti tidak menggunakan barang yang menyebabkan candu, seperti ganja, narkotika dan sejenisnya. Tidak menginginkan barang seperti itu berarti kita telah menjalankan syareaakni hifdzun nafs (menjaga jiwa). Menjaga jiwa hukumnya wajib, maka menyakiti tubuh dengan sesuatu yang candu merusak hukumnya haram.

Kelima, moh madon. Ini berarti tidak bermain wanita, dalam artian tidak melakukan zina atau percumbuan terhadap lawan jenis yang bukan suami istri. Berzina bisa merusak nasab seseorang. Jika ada laki-laki dan perempuan bukan suami istri berzina, kemudian memiliki anak, maka nasabnya tidak bisa disandarkan kepada bapaknya, melainkan kepada ibunya. Jika anaknya perempuan, maka bapak yang zina tadi tidak bisa menjadi wali nikahnya.

Secara global, teks falsafah Moh Limo mengandung pernyataan suatu sikap penolakan untuk melakukan lima dosa besar dan keji yang dilarang dalam agama islam. Ini terlihat dari tema yang terdapat dalam teks Moh Limo dan bagaimana kata Moh dalam teks falsafah ini disebutkan berulangulang.

Teks Falsafah Moh Limo pada dasarnya mengandung dimensi perintah tidak bersyarat. Seperti sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imanuel Kant sebagai “imperative kategoris”. Di sisi lain, secara teks, teks falsafah Moh Limo ini mengartikan suatu sikap kesadaran terhadap nilai yang paling berarti bagi penganutnya, yakni memenuhi perintah agama. Franz Magnis dan Suseno menyebutkan bahwa sikap moral tertinggi adalah sikap menyadari nilai apa yang paling berharga baginya. Yakni ketaatan terhadap hukum tuhan.

Karena di dalam buku yang sama pula, disebutkan ada tiga unsur yang memengaruhi perilaku seseorang. Pertama, masyarakat; kedua, bathin; ketiga ideologi. Ketiga lembaga ini, sangat memengaruhi dan saling bertentangan untuk menguasai sikap seseorang. Apa yang disebutkan dalam moralitas adalah mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Maka melihat ketiga lembaga itu. Ada satu unsur yang paling memengaruhi dan bersifat idependen, yakni suara hati. Suara hati dapat melihat mana yang salah dan mana yang benar.

Berikut penjelasan yang lebih mendalam dan eksploratif mengenai dimensi spiritual falsafah Jawa "Molimo" sebagai Pedoman Kode Etik Dan Perilaku Hakim (KEPPH):

a)      Dimensi Spiritual Falsafah Molimo

Falsafah Molimo bukan sekadar aturan moral atau norma sosial, melainkan saripati ajaran spiritual yang mengikat batin dan hati nurani setiap hakim untuk senantiasa menjaga kesucian jiwa dan harmonisasi hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Dimensi spiritual dalam Molimo berakar pada kesadaran religius yang dalam menolak lima perilaku yang disebut "Moh Limo" adalah bentuk ibadah dan pengendalian diri yang berbasis pada ketaatan kepada nilai-nilai ilahi.

b)      Kesadaran Suara Hati dan Nilai Ketuhanan

Nilai spiritual Molimo sangat menekankan pada suara hati sebagai penuntun batin yang paling murni. Suara hati ini berfungsi sebagai kompas moral independen yang mampu membedakan antara yang benar dan salah, di luar pengaruh tekanan sosial, ideologi, maupun kepentingan duniawi. Dengan demikian, menjauhi larangan Moh Limo adalah perwujudan ketaatan mutlak pada perintah agama dan hukum Tuhan. Hal ini selaras dengan konsep imperatif kategoris Immanuel Kant yang menuntut pelaksanaan nilai moral tanpa kompromi.

c)      Harmoni Spiritualitas dan Sosial

Spiritualitas dalam Molimo juga merefleksikan bagaimana individu mengharmonikan hidupnya dengan lingkungan sosial dan alam semesta. Ketika seorang hakim memegang teguh falsafah Molimo, ia tidak hanya menjaga diri dari dosa, tetapi juga menjaga keseimbangan sosial dan moral masyarakat melalui sikap adil dan jujur. Dengan menghindari perbuatan dosa besar, hakim berperan sebagai penjaga keharmonisan spiritual kolektif yang berdampak pada terciptanya tatanan sosial yang damai dan sejahtera.

d)      Pengendalian Nafsu dan Pembersihan Jiwa

Dimensi spiritual Molimo mengajarkan pentingnya pengendalian nafsu dan pembersihan jiwa dari segala bentuk godaan dan rayuan yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam maksiat. Penolakan terhadap judi, minuman keras, narkotika, dan zina bukan hanya agar tidak merusak fisik dan sosial, tetapi juga menjaga jiwa agar tetap bersih dari noda dan kegelapan. Jadi, nilai spiritual ini mengajak setiap orang untuk melakukan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) sebagai upaya mencapai keluhuran budi pekerti hakim.

e)      Integritas dan Keteguhan Hati Hakim

Dalam konteks profesi hakim, dimensi spiritual Molimo menjadi perisai moral yang melindungi hakim dari godaan korupsi, ketidakadilan, dan penyalahgunaan wewenang. Dengan berpegang pada nilai spiritual ini, hakim dapat bertindak dengan penuh keteguhan hati, menjunjung tinggi kejujuran, dan melaksanakan tugas pengadilan dengan penuh tanggung jawab moral. Spiritualitas ini menjadi kekuatan internal yang memberi hakim keberanian menghadapi tekanan eksternal tanpa tergoda untuk menyimpang.

Baca Juga: Serat Kalatidha Pada Peradilan Indonesia

Secara keseluruhan, dimensi spiritual falsafah Molimo merupakan pondasi utama yang memberdayakan hakim untuk menjadi figur moral yang mulia, penuh kesadaran diri, dan mampu menciptakan keadilan yang berlandaskan nilai-nilai luhur agama dan budaya. (al/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI