Definisi Luhur di dalam KBBI adalah Kata "luhur"
dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
tinggi, mulia, atau utama. Arti kata
"luhur" dalam KBBI:
Tinggi, Mulia, Utama (tentang
watak), Penuh
keagungan,
Megah sekali. Kata
terkait "luhur":
Ngluruhuraké, yang berarti memuliakan, Ngluruhuri, yang
berarti melebihi, Kaluhuran, yang
berarti hal yang utama atau
kelebihan, KBBI adalah
kamus umum yang
bersifat historis. KBBI merekam semua fakta kebahasaan yang pernah dan
tengah hidup
dalam masyarakat tutur bahasa Indonesia.
Dalam menuju keinginan serta cita cita luhur ini diperlukanlah jalan ataupun arah yang akan menjadi kompas dalam muwujudkan diri salah satu konsep yang bisa dipertimbangkan untuk menjadi sebuah kompas dalam menuju ke arah keluhuran salah satunya ada di dalam dakwah Sunan Ampel yang dikenal dengan istilah “Moh Limo”. Itu adalah suatu tindakan tidak menginginkan lima hal.
Moh Limo merupakan strategi dakwah yang memiliki nafas Islam sekaligus filosofi dari leluhur masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa identik dengan sikap yang tidak mau banyak mengurusi persoalan orang lain. Tidak menginginkan keribetan. Lebih baik menghindar dan berdamai.
Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung
Suatu
sikap
tidak ingin
atau tidak mau atau
"moh" yang diterapkan Sunan Ampel dengan tujuan untuk menghindari
maksiat atau "moh"
terhadap maksiat. Belakangan "moh limo"
menjadi falsafah atau ciri khas dakwah Sunan Ampel untuk memperbaiki kerusakan akhlak masyarakat Jawa
pada masa
itu.
Lima hal yang
dimaksud
adalah, pertama, moh
main. itu artinya
berarti tidak bermain
judi, seperti bermain kartu yang mempertaruhkan uang, atau bermain apapun yang mempertaruhkan uang atau sesuatu yang saling merugikan. Karena
berjudi
tidak hanya berasal
dari
kartu
dan
uang.
Bisa jadi dengan
bola
dan
rokok.
Kedua, moh ngombe. Ini berarti tidak meminum minuman
yang memabukkan
seperti
arak (khamr). Salah
satu
tujuan
syareat yakni hifdzul Aql
(menjaga akal). Menjaga akal
agar tetap waras dan
sehat hukumnya wajib, dengan
cara
menghindari sesuatu yang memabukkan hingga menghilangkan
kewarasan akal.
Ketiga, moh maling. Ini artinya
tidak mencuri
barang orang
lain
yang bukan menjadi haknya. Kita
harus mengetahui
semua harta
adalah
titipan. Jangan sampai harta
Allah yang dititipkan pada orang
lain, ikut diambil
tanpa
seizin Allah. Pepatah
mengatakan, lebih
baik air satu gelas tetapi
menghilangkan
dahagamu, daripada meminta
satu
kolam yang justru
menenggelamkanmu.
Keempat, moh madat. Ini berarti tidak menggunakan barang yang menyebabkan candu, seperti ganja, narkotika
dan sejenisnya. Tidak
menginginkan barang
seperti itu berarti kita
telah
menjalankan
syareat akni hifdzun
nafs (menjaga jiwa). Menjaga
jiwa hukumnya wajib, maka menyakiti tubuh dengan sesuatu yang candu merusak hukumnya
haram.
Kelima, moh madon. Ini berarti tidak
bermain wanita, dalam artian
tidak melakukan zina atau percumbuan
terhadap lawan jenis yang bukan
suami istri. Berzina bisa
merusak nasab
seseorang. Jika
ada
laki-laki dan
perempuan bukan suami istri berzina, kemudian
memiliki anak, maka
nasabnya
tidak bisa
disandarkan
kepada bapaknya, melainkan kepada
ibunya. Jika
anaknya perempuan, maka bapak yang
zina
tadi tidak bisa
menjadi wali nikahnya.
Secara global, teks falsafah Moh Limo mengandung pernyataan suatu sikap penolakan untuk melakukan lima dosa besar dan keji yang dilarang dalam agama islam. Ini terlihat dari tema yang terdapat dalam teks Moh Limo dan bagaimana kata ‘Moh’ dalam teks falsafah ini disebutkan berulangulang.
Teks Falsafah Moh Limo pada dasarnya mengandung dimensi perintah tidak bersyarat. Seperti sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imanuel Kant sebagai “imperative kategoris”. Di sisi lain, secara teks, teks falsafah Moh Limo ini mengartikan suatu sikap kesadaran terhadap nilai yang paling berarti bagi penganutnya, yakni memenuhi perintah agama. Franz Magnis dan Suseno menyebutkan bahwa sikap moral tertinggi adalah sikap menyadari nilai apa yang paling berharga baginya. Yakni ketaatan terhadap hukum tuhan.
Karena di dalam buku
yang
sama pula, disebutkan
ada
tiga
unsur yang memengaruhi perilaku seseorang. Pertama, masyarakat; kedua, bathin; ketiga ideologi. Ketiga
lembaga ini, sangat memengaruhi dan saling bertentangan
untuk menguasai sikap seseorang. Apa yang
disebutkan
dalam moralitas adalah mengetahui mana
yang
baik dan
mana
yang
buruk. Maka melihat
ketiga lembaga itu. Ada satu unsur yang paling memengaruhi dan bersifat idependen, yakni
suara hati. Suara hati dapat melihat mana yang
salah dan mana yang benar.
Berikut penjelasan yang
lebih mendalam dan eksploratif mengenai dimensi spiritual falsafah Jawa
"Molimo" sebagai Pedoman Kode Etik Dan Perilaku Hakim (KEPPH):
a) Dimensi Spiritual Falsafah Molimo
Falsafah
Molimo bukan sekadar aturan moral atau norma sosial, melainkan saripati ajaran
spiritual yang mengikat batin dan hati nurani setiap hakim untuk senantiasa
menjaga kesucian jiwa dan harmonisasi hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, dan
masyarakat. Dimensi spiritual dalam Molimo berakar pada kesadaran religius yang
dalam menolak lima perilaku yang disebut "Moh Limo" adalah bentuk
ibadah dan pengendalian diri yang berbasis pada ketaatan kepada nilai-nilai
ilahi.
b) Kesadaran Suara Hati dan
Nilai Ketuhanan
Nilai spiritual Molimo sangat menekankan
pada suara hati sebagai penuntun batin yang paling murni. Suara hati ini
berfungsi sebagai kompas moral independen yang mampu membedakan antara yang
benar dan salah, di luar pengaruh tekanan sosial, ideologi, maupun kepentingan duniawi.
Dengan demikian, menjauhi larangan Moh Limo adalah perwujudan ketaatan mutlak
pada perintah agama dan hukum Tuhan. Hal ini selaras dengan konsep imperatif
kategoris Immanuel Kant yang menuntut pelaksanaan nilai moral tanpa kompromi.
c) Harmoni Spiritualitas dan Sosial
Spiritualitas
dalam Molimo juga merefleksikan bagaimana individu mengharmonikan hidupnya
dengan lingkungan sosial dan alam semesta. Ketika seorang hakim memegang teguh
falsafah Molimo, ia tidak hanya menjaga diri dari dosa, tetapi juga menjaga
keseimbangan sosial dan moral masyarakat melalui sikap adil dan jujur. Dengan
menghindari perbuatan dosa besar, hakim berperan sebagai penjaga keharmonisan
spiritual kolektif yang berdampak pada terciptanya tatanan sosial yang damai dan
sejahtera.
d) Pengendalian Nafsu dan Pembersihan Jiwa
Dimensi
spiritual Molimo mengajarkan pentingnya pengendalian nafsu dan pembersihan jiwa
dari segala bentuk godaan dan rayuan yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam
maksiat. Penolakan terhadap judi, minuman keras, narkotika, dan zina bukan
hanya agar tidak merusak fisik dan sosial, tetapi juga menjaga jiwa agar tetap
bersih dari noda dan kegelapan. Jadi, nilai spiritual ini mengajak setiap orang
untuk melakukan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) sebagai upaya mencapai
keluhuran budi pekerti hakim.
e)
Integritas dan Keteguhan Hati Hakim
Dalam konteks profesi hakim, dimensi spiritual Molimo
menjadi perisai moral yang melindungi hakim dari godaan korupsi, ketidakadilan,
dan penyalahgunaan wewenang. Dengan berpegang pada nilai spiritual ini, hakim
dapat bertindak dengan penuh keteguhan hati, menjunjung tinggi kejujuran, dan
melaksanakan tugas pengadilan dengan penuh tanggung jawab moral. Spiritualitas
ini menjadi kekuatan internal yang memberi hakim keberanian menghadapi tekanan
eksternal tanpa tergoda untuk menyimpang.
Baca Juga: Serat Kalatidha Pada Peradilan Indonesia
Secara keseluruhan,
dimensi spiritual falsafah Molimo merupakan pondasi utama yang memberdayakan
hakim untuk menjadi figur moral yang mulia, penuh kesadaran diri, dan mampu
menciptakan keadilan yang berlandaskan nilai-nilai luhur agama dan budaya. (al/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI