Cari Berita

Menelusuri Putusan Mahkamah Agung terkait Penyandang Disabilitas

Yura P. Yudhistira (PN Langsa) – Tim LITBANG Dandapala - Dandapala Contributor 2025-11-08 07:40:52
Dok. Ist.

Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Mengadili Perkara Bagi Penyandang Disabilitas Berhadapan Dengan Hukum di Pengadilan (PERMA 2/2025) pada 20 Oktober 2025.

Konsiderans PERMA 2/2025 tersebut menyebutkan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan berhak atas proses peradilan yang adil, mudah diakses, dan akomodatif.

Negara Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Persons with Disabilities/UNCRPD) dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) yang menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas tanpa diskriminasi.

Baca Juga: Pertanggungjawaban Pidana Penyandang Disabilitas Mental dan Intelektual

Lebih jauh, Mahkamah Agung juga menyatakan dalam konsiderans PERMA 2/2025 bahwa hukum acara yang berlaku belum sepenuhnya mengatur dan melindungi hak penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. Dengan penerbitan, PERMA 2/2025 ini Mahkamah Agung menegaskan posisinya dalam perlindungan penyandang disabilitas dalam proses peradilan.

PERMA 2/2025 ini juga sejalan dengan keberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional). Sebagai contoh dalam Pasal 38 KUHP Nasional menyebutkan bahwa Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.

Selanjutnya dalam Pasal 39 juga menyebutkan bahwa Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/ atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.

Mengenai pengaturan terkait penyandang disabilitas baik di PERMA 2/2025 ataupun KUHP Nasional, sebenarnya sikap Mahkamah Agung sudah menegaskan posisinya terkait perlindungan penyandang disabilitas dan bukan sebuah hal yang baru. Dari penelusuran tim Penelitian dan Pengembangan Dandapala, terdapat putusan-putusan kasasi Mahkamah Agung terkait perlindungan penyandang disabilitas.

Pasal 33 ayat (1) PERMA 2/2025 menyebutkan bahwa: Hakim mempertimbangkan sebagai keadaan yang memberatkan penjatuhan pidana dalam hal pelaku dengan sengaja memanfaatkan kondisi kerentanan Penyandang Disabilitas sebagai korban dalam tindak pidana.

Menurut PERMA 2/2025 tersebut, dalam perkara dimana korban tindak pidananya adalah penyandang disabilitas, Hakim dapat mempertimbangkan keadaan yang memberatkan bagi Terdakwa.

Hal ini pernah dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 2561 K/Pid.SUS/2010. Dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa:

Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena dari keterangan saksi korban yang masih anak-anak dan terbelakang mentalnya, telah ada pencabulan yang dilakukan Terdakwa walaupun perbuatan Terdakwa tidak perlu menembus selaput dara korban hingga robek, akan tetapi Terdakwa sudah meraba dan mencium buah dada, apalagi diperkuat dengan Visum Et Repertum yang menerangkan bahwa korban mengalami luka lecet di pinggiran kemaluan posisi jam 06.00.

Mahkamah Agung juga menyebutkan bahwa dalam keadaan yang memberatkan:

Terdakwa melakukan perbuatan tersebut kepada anak kecil yang terbelakang mentalnya yang seharusnya dibimbing dan dilindungi;

Pada perkara tersebut, Terdakwa yang awalnya dibebaskan oleh judex factie di Tingkat pertama, akhirnya dijatuhi pidana penjara oleh Mahkamah Agung.

Pertimbangan senada juga ada dalam perkara nomor 629 K/PID.SUS/2014. Mahkamah Agung memperberat hukuman Terdakwa dengan pertimbangan sebagai berikut:

Ada alasan memberatkan dalam perbuatan Terdakwa yang belum dipertimbangkan oleh Judex Facti Pengadilan Negeri Idi, yaitu Terdakwa melakukan perbuatan cabul terhadap anak yang Terdakwa tahu mempunyai keterbelakangan mental;

Dalam perkara Nomor 736 K/PID/2013, Mahkamah Agung, menguatkan putusan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dengan alasan sebagai berikut:

• Bahwa alasan-alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan, karena perbuatan Terdakwa dengan kekerasan menyetubuhi xxx yang dalam keadaan tak berdaya karena cacat fisik dan mengalami keterbelakangan mental serta mengambil sepeda motor milik xxx merupakan tindak pidana melanggar Pasal 285 KUHP dan Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP;

• Bahwa perbuatan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana perkosaan dan pencurian dalam keadaan memberatkan terhadap korban saksi xxx yang menderita lumpuh sejak kelas 3 SD, perbuatan Terdakwa memenuhi unsur Dakwaan Ke-1 Primair dan Ke-2 Jaksa Penuntut Umum, sehingga Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum;

Selanjutnya PERMA 2/2025 mengatur mengenai pemeriksaan Saksi Penyandang Disabilitas, yang diatur Pasal 25-26. Pasal 35 juga menyebutkan bahwa Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang melibatkan Penyandang Disabilitas mempertimbangkan: b. kondisi disabilitas yang relevan dan memiliki keterkaitan dengan pokok perkara; c. kerentanan Penyandang Disabilitas berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, sosio ekonomi, minoritas etnik, dan faktor kerentanan lainnya.

Dalam perkara Nomor 1668 K/Pid.Sus/2010, Mahkamah Agung mempertimbangkan ketidakhadiran penyandang disabilitas dalam persidangan. Meskipun korban yang merupakan penyandang disabilitas mental tidak hadir dalam persidangan, Mahkamah Agung tetap menghukum Terdakwa. Terdakwa yang awalnya dijatuhi putusan bebas oleh judex factie, akhirnya dijatuhi pidana penjara. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut:

- bahwa alasan korban tidak dihadirkan dipersidangan dan alasan bahwa korban cacat mental tidak melepaskan tanggung jawab pidana pada Terdakwa;

Sebaliknya bila Terdakwa yang merupakan penyandang disabilitas, Pasal 34 PERMA 2/2025 menyebutkan bahwa dalam hal terdakwa merupakan Penyandang Disabilitas, Hakim mempertimbangkan pertanggungjawaban pidana berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa. Dalam beberapa perkara Mahkamah Agung telah mempertimbangkan kondisi disabilitas dari Terdakwa.

Misalnya dalam perkara Nomor 697 K/Pid/2013, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut:

… Terdakwa melakukan pencurian tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena Terdakwa mengalami “Retardasi Mental.” Oleh karena itu, sesuai Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHPidana Terdakwa yang cacat jiwanya tidak dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya dan harus dilepaskan dari tuntutan hukum serta dimasukkan ke rumah sakit khusus penanganan mental atau kejiwaan terdekat untuk menjalani evaluasi dan/atau terapi kondisi mental dan kejiwaannya;

Mahkamah Agung kemudian menjatuhkan putusan kepada Terdakwa dengan amar: Memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk memasukkan Terdakwa ke rumah sakit khusus penanganan mental atau kejiwaan terdekat guna menjalani evaluasi dan atau terapi kondisi mental atau kejiwaannya dalam jangka waktu selama 6 (enam) bulan;

Hal senada juga ditemukan dalam pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan nomor 399 K/Pid.Sus/2019 yang menyatakan bahwa:

- Bahwa namun demikian putusan judex facti menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana memerintahkan Penuntut Umum agar Terdakwa dirawat di Rumah Sakit Jiwa selama 1 (satu) tahun, tidak tepat karena berdasarkan fakta hukum yang relevan secara yuridis yang terungkap di muka sidang ternyata Terdakwa adalah penderita Retardasi Mental Berat sesuai Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Prof. DR. Muhammad Ildre Nomor YM.01.06.5.907 tanggal 3 Mei 2018. Maka dengan demikian Terdakwa tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Oleh karena itu Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum, dan putusan judex facti beralasan hukum diperbaiki sebagaimana tersebut dalam amar putusan dibawah ini;

Kemudian dalam perkara Nomor 2257 K/PID/2011, Mahkamah Agung menguatkan putusan judex factie terhadap salah satu Terdakwa yang amarnya membebaskan Terdakwa karena Terdakwa tersebut tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena Terdakwa menderita Retardasi Mental Berat.

Namun demikian, tidak selamanya klaim atas kondisi disabilitas Terdakwa membuat Terdakwa bebas/lepas atau dihukum untuk masuk ke rumah sakit jiwa. Mahkamah Agung melihat kondisi disabilitas Terdakwa dalam spektrum yang lebih luas dalam perkara  2470 K/Pid.Sus/2018. Mahkamah Agung tetap menghukum Terdakwa dengan kondisi disabilitas mental karena sebelumnya Terdakwa pernah dihukum. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut:

… meskipun judex facti/Pengadilan Negeri mempertimbangkan mengenai kondisi Terdakwa yang termasuk dalam kategori retardasi mental dengan Tingkat pendidikan dan intelegensia yang rendah, namun Terdakwa sebelumnya terbukti pernah dijatuhi pidana untuk jenis perkara yang sama, yaitu perkara cabul atau sodomi;

Hal yang sama juga terdapat dalam pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara nomor 2025 K/PIDSUS/2015. Mahkamah Agung melepaskan Terdakwa yang merupakan penyandang disabilitas dimana Terdakwa ini menjadi Terdakwa karena pembelian terselubung yang dilakukan oleh Kepolisian. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut:

2. Bahwa Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya telah dapat membuktikan bahwa Terdakwa adalah orang yang termasuk kriteria yang diatur dalam Pasal 44 KUHP, karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit, sering berubah akalnya, sehingga Terdakwa termasuk kualifikasi orang yang boleh tidak dihukum.

3. Bahwa di sisi lain, Anggota Polisi saksi Bripda Erik Dwi Putra yang menyamar sebagai pembeli terselubung terhadap Terdakwa salah dalam menerapkan peraturan yang diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang menentukan, Tekhnik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari Pimpinan. Saksi Eric Dwi Putra tidak dapat menunjukkan perintah tertulis dari Pimpinan, hal ini sangat penting karena pembelian terselubung dapat disalahgunakan untuk menjerat orang yang tidak bersalah. Di dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, BAB XIII tentang Penyidik Pasal 55 huruf a, dalam penjelasannya menentukan, Pelaksanaan tekhnik penyidikan, penyerahan yang diawasi dan tekhnik pembelian terselubung hanya dapat dilakukan atas perintah tertulis Kepala Kepolisian Negara RI atau pejabat yang ditunjuknya.

Selain menjadi alasan untuk melepaskan atau membebaskan, kondisi penyandang disabilitas juga dapat dijadikan alasan meringankan hukuman. Dalam perkara Nomor 602 K/PID.SUS/2014, hukuman Terdakwa diringankan, yang awalnya 1 (satu) tahun, menjadi 8 (delapan) bulan dengan mempertimbangkan kondisi disabilitas Terdakwa. Mahkamah Agung memberikan pendapat sebagai berikut:

Baca Juga: Keren! Ini 4 Gebrakan PN Rote Ndao untuk Penyandang Disabilitas

… namun demikian karena Terdakwa menderita cacat fisik sehingga hanya jadi penjual BBM eceran yang bisa dijalankan, Terdakwa belum pernah dihukum, telah menyesali perbuatannya dan BBM sebanyak 2.730 liter sudah dirampas untuk Negara artinya Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya sehingga menjadi alasan untuk meringankan hukuman bagi Terdakwa yang amarnya sebagaimana tertera di bawah ini. (ldr)

Tulisan ini pendapat pribadi penulis yang tidak mewakili pendapat lembaga.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…