Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Mengadili Perkara Bagi
Penyandang Disabilitas Berhadapan Dengan Hukum di Pengadilan (PERMA 2/2025)
pada 20 Oktober 2025.
Konsiderans
PERMA 2/2025 tersebut menyebutkan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan
yang sama di hadapan hukum dan berhak atas proses peradilan yang adil, mudah
diakses, dan akomodatif.
Negara
Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of
Persons with Disabilities/UNCRPD) dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011
tentang Pengesahan Convention on the
Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang
Disabilitas) yang menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas tanpa
diskriminasi.
Baca Juga: Pertanggungjawaban Pidana Penyandang Disabilitas Mental dan Intelektual
Lebih jauh,
Mahkamah Agung juga menyatakan dalam konsiderans PERMA 2/2025 bahwa hukum acara
yang berlaku belum sepenuhnya mengatur dan melindungi hak penyandang
disabilitas berhadapan dengan hukum. Dengan penerbitan, PERMA 2/2025 ini
Mahkamah Agung menegaskan posisinya dalam perlindungan penyandang disabilitas
dalam proses peradilan.
PERMA
2/2025 ini juga sejalan dengan keberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional). Sebagai
contoh dalam Pasal 38 KUHP Nasional menyebutkan bahwa Setiap Orang yang pada
waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau
disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.
Selanjutnya dalam Pasal 39 juga
menyebutkan bahwa Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana
menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai
gambaran psikotik dan/ atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat
tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.
Mengenai
pengaturan terkait penyandang disabilitas baik di PERMA 2/2025 ataupun KUHP
Nasional, sebenarnya sikap Mahkamah Agung sudah menegaskan posisinya terkait
perlindungan penyandang disabilitas dan bukan sebuah hal yang baru. Dari
penelusuran tim Penelitian dan Pengembangan Dandapala, terdapat putusan-putusan
kasasi Mahkamah Agung terkait perlindungan penyandang disabilitas.
Pasal 33
ayat (1) PERMA 2/2025 menyebutkan bahwa: Hakim mempertimbangkan sebagai keadaan
yang memberatkan penjatuhan pidana dalam hal pelaku dengan sengaja memanfaatkan
kondisi kerentanan Penyandang Disabilitas sebagai korban dalam tindak pidana.
Menurut
PERMA 2/2025 tersebut, dalam perkara dimana korban tindak pidananya adalah
penyandang disabilitas, Hakim dapat mempertimbangkan keadaan yang memberatkan
bagi Terdakwa.
Hal ini
pernah dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 2561
K/Pid.SUS/2010. Dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya
menyebutkan bahwa:
Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena dari keterangan
saksi korban yang masih anak-anak dan terbelakang mentalnya, telah ada
pencabulan yang dilakukan Terdakwa walaupun perbuatan Terdakwa tidak perlu
menembus selaput dara korban hingga robek, akan tetapi Terdakwa sudah meraba
dan mencium buah dada, apalagi diperkuat dengan Visum Et Repertum yang
menerangkan bahwa korban mengalami luka lecet di pinggiran kemaluan posisi jam
06.00.
Mahkamah
Agung juga menyebutkan bahwa dalam keadaan yang memberatkan:
Terdakwa melakukan perbuatan tersebut kepada anak kecil yang terbelakang
mentalnya yang seharusnya dibimbing dan dilindungi;
Pada
perkara tersebut, Terdakwa yang awalnya dibebaskan oleh judex factie di
Tingkat pertama, akhirnya dijatuhi pidana penjara oleh Mahkamah Agung.
Pertimbangan
senada juga ada dalam perkara nomor 629 K/PID.SUS/2014. Mahkamah Agung
memperberat hukuman Terdakwa dengan pertimbangan sebagai berikut:
Ada alasan memberatkan dalam perbuatan Terdakwa yang belum dipertimbangkan
oleh Judex Facti Pengadilan Negeri Idi, yaitu Terdakwa melakukan perbuatan
cabul terhadap anak yang Terdakwa tahu mempunyai keterbelakangan mental;
Dalam
perkara Nomor 736 K/PID/2013, Mahkamah Agung, menguatkan putusan pidana penjara
selama 10 (sepuluh) tahun dengan alasan sebagai berikut:
• Bahwa alasan-alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan, karena
perbuatan Terdakwa dengan kekerasan menyetubuhi xxx yang dalam keadaan tak
berdaya karena cacat fisik dan mengalami keterbelakangan mental serta mengambil
sepeda motor milik xxx merupakan tindak pidana melanggar Pasal 285 KUHP dan
Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP;
• Bahwa perbuatan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana perkosaan dan
pencurian dalam keadaan memberatkan terhadap korban saksi xxx yang menderita
lumpuh sejak kelas 3 SD, perbuatan Terdakwa memenuhi unsur Dakwaan Ke-1 Primair
dan Ke-2 Jaksa Penuntut Umum, sehingga Judex Facti tidak salah dalam menerapkan
hukum;
Selanjutnya
PERMA 2/2025 mengatur mengenai pemeriksaan Saksi Penyandang Disabilitas, yang
diatur Pasal 25-26. Pasal 35 juga menyebutkan bahwa Hakim dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara yang melibatkan Penyandang Disabilitas
mempertimbangkan:… b. kondisi disabilitas
yang relevan dan memiliki keterkaitan dengan pokok perkara; c. kerentanan
Penyandang Disabilitas berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, sosio ekonomi,
minoritas etnik, dan faktor kerentanan lainnya.
Dalam
perkara Nomor 1668 K/Pid.Sus/2010, Mahkamah Agung mempertimbangkan
ketidakhadiran penyandang disabilitas dalam persidangan. Meskipun korban yang merupakan
penyandang disabilitas mental tidak hadir dalam persidangan, Mahkamah Agung
tetap menghukum Terdakwa. Terdakwa yang awalnya dijatuhi putusan bebas oleh judex
factie, akhirnya dijatuhi pidana penjara. Mahkamah Agung memberikan
pertimbangan sebagai berikut:
- bahwa alasan korban tidak dihadirkan dipersidangan dan alasan bahwa
korban cacat mental tidak melepaskan tanggung jawab pidana pada Terdakwa;
Sebaliknya
bila Terdakwa yang merupakan penyandang disabilitas, Pasal 34 PERMA 2/2025 menyebutkan
bahwa dalam hal terdakwa merupakan Penyandang Disabilitas, Hakim
mempertimbangkan pertanggungjawaban pidana berdasarkan hasil pemeriksaan
kesehatan jiwa. Dalam beberapa perkara Mahkamah Agung telah mempertimbangkan
kondisi disabilitas dari Terdakwa.
Misalnya dalam
perkara Nomor 697 K/Pid/2013, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai
berikut:
… Terdakwa melakukan pencurian tetapi perbuatan tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena Terdakwa mengalami “Retardasi Mental.”
Oleh karena itu, sesuai Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHPidana Terdakwa yang cacat
jiwanya tidak dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya dan harus dilepaskan
dari tuntutan hukum serta dimasukkan ke rumah sakit khusus penanganan mental
atau kejiwaan terdekat untuk menjalani evaluasi dan/atau terapi kondisi mental
dan kejiwaannya;
Mahkamah
Agung kemudian menjatuhkan putusan kepada Terdakwa dengan amar: Memerintahkan
kepada Jaksa Penuntut Umum untuk memasukkan Terdakwa ke rumah sakit khusus
penanganan mental atau kejiwaan terdekat guna menjalani evaluasi dan atau
terapi kondisi mental atau kejiwaannya dalam jangka waktu selama 6 (enam)
bulan;
Hal senada
juga ditemukan dalam pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan nomor 399
K/Pid.Sus/2019 yang menyatakan bahwa:
- Bahwa namun demikian putusan judex facti menjatuhkan pidana kepada
Terdakwa dengan pidana memerintahkan Penuntut Umum agar Terdakwa dirawat di
Rumah Sakit Jiwa selama 1 (satu) tahun, tidak tepat karena berdasarkan fakta
hukum yang relevan secara yuridis yang terungkap di muka sidang ternyata
Terdakwa adalah penderita Retardasi Mental Berat sesuai Surat Keterangan Ahli
Kedokteran Jiwa Prof. DR. Muhammad Ildre Nomor YM.01.06.5.907 tanggal 3 Mei
2018. Maka dengan demikian Terdakwa tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Oleh karena itu Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum, dan
putusan judex facti beralasan hukum diperbaiki sebagaimana tersebut dalam amar
putusan dibawah ini;
Kemudian
dalam perkara Nomor 2257 K/PID/2011, Mahkamah Agung menguatkan putusan judex factie
terhadap salah satu Terdakwa yang amarnya membebaskan Terdakwa karena Terdakwa
tersebut tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena Terdakwa menderita
Retardasi Mental Berat.
Namun
demikian, tidak selamanya klaim atas kondisi disabilitas Terdakwa membuat
Terdakwa bebas/lepas atau dihukum untuk masuk ke rumah sakit jiwa. Mahkamah
Agung melihat kondisi disabilitas Terdakwa dalam spektrum yang lebih luas dalam
perkara 2470 K/Pid.Sus/2018. Mahkamah
Agung tetap menghukum Terdakwa dengan kondisi disabilitas mental karena sebelumnya
Terdakwa pernah dihukum. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai
berikut:
… meskipun judex facti/Pengadilan Negeri mempertimbangkan mengenai kondisi
Terdakwa yang termasuk dalam kategori retardasi mental dengan Tingkat
pendidikan dan intelegensia yang rendah, namun Terdakwa sebelumnya terbukti
pernah dijatuhi pidana untuk jenis perkara yang sama, yaitu perkara cabul atau
sodomi;
Hal yang
sama juga terdapat dalam pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara nomor 2025
K/PIDSUS/2015. Mahkamah Agung melepaskan Terdakwa yang merupakan penyandang
disabilitas dimana Terdakwa ini menjadi Terdakwa karena pembelian terselubung
yang dilakukan oleh Kepolisian. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai
berikut:
2. Bahwa Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya telah dapat membuktikan
bahwa Terdakwa adalah orang yang termasuk kriteria yang diatur dalam Pasal 44
KUHP, karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit, sering berubah akalnya,
sehingga Terdakwa termasuk kualifikasi orang yang boleh tidak dihukum.
3. Bahwa di sisi lain, Anggota Polisi saksi Bripda Erik Dwi Putra yang menyamar
sebagai pembeli terselubung terhadap Terdakwa salah dalam menerapkan peraturan yang
diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang menentukan,
Tekhnik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan
dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari Pimpinan. Saksi Eric Dwi
Putra tidak dapat menunjukkan perintah tertulis dari Pimpinan, hal ini sangat
penting karena pembelian terselubung dapat disalahgunakan untuk menjerat orang
yang tidak bersalah. Di dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika, BAB XIII tentang Penyidik Pasal 55 huruf a, dalam penjelasannya
menentukan, Pelaksanaan tekhnik penyidikan, penyerahan yang diawasi dan tekhnik
pembelian terselubung hanya dapat dilakukan atas perintah tertulis Kepala
Kepolisian Negara RI atau pejabat yang ditunjuknya.
Selain
menjadi alasan untuk melepaskan atau membebaskan, kondisi penyandang
disabilitas juga dapat dijadikan alasan meringankan hukuman. Dalam perkara Nomor 602
K/PID.SUS/2014, hukuman Terdakwa diringankan, yang awalnya 1 (satu) tahun,
menjadi 8 (delapan) bulan dengan mempertimbangkan kondisi disabilitas Terdakwa.
Mahkamah Agung memberikan pendapat sebagai berikut:
Baca Juga: Keren! Ini 4 Gebrakan PN Rote Ndao untuk Penyandang Disabilitas
… namun demikian karena Terdakwa menderita cacat fisik sehingga hanya jadi penjual BBM eceran yang bisa dijalankan, Terdakwa belum pernah dihukum, telah menyesali perbuatannya dan BBM sebanyak 2.730 liter sudah dirampas untuk Negara artinya Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya sehingga menjadi alasan untuk meringankan hukuman bagi Terdakwa yang amarnya sebagaimana tertera di bawah ini. (ldr)
Tulisan ini pendapat pribadi penulis yang tidak mewakili pendapat lembaga.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI