Redundansi Inovasi Peradilan
Semangat
pembaruan peradilan oleh Mahkamah Agung RI beberapa waktu terakhir memicu
kreativitas pada tingkat satuan kerja. Antusiasme ini terlihat dari maraknya
peluncuran berbagai inovasi pelayanan publik oleh pengadilan. Namun, di balik maraknya
inovasi tersebut, terdapat sebuah tantangan strategis yang perlu disikapi
dengan bijak agar transformasi pelayanan publik ini berjalan efektif dan menyeluruh.
Kecenderungan
yang terjadi saat ini adalah redundansi inovasi antar satuan kerja. Inovasi
yang dikembangkan di pengadilan yang satu, juga dikembangkan di pengadilan lain
dengan fungsi dan mekanisme yang identik. Seringkali inovasi ini dibungkus
dengan branding kreatif dan menarik
agar terlihat seakan memiliki kebaruan. Pengembangan "inovasi" ini
terasa parsial tanpa memperhatikan peta besar kebutuhan organisasi secara
nasional.
Baca Juga: Klausul Non-Kompetisi Dalam Perjanjian Kerja: Apakah Sah Secara Hukum?
Salah
satu contoh adalah inovasi mengenai lapor hadir sidang dan antrean sidang,
yaitu mekanisme untuk mengelola antrian dan panggilan sidang. Berbagai
pengadilan telah mengembangkan mekanisme serupa dengan beberapa varian. Ada
pengadilan yang menggunakan aplikasi pada sebuah anjungan yang tersedia di PTSP,
ketika pihak menyatakan dirinya hadir dan siap bersidang, maka akan
terhubung dengan aplikasi rol sidang. Ada pula pengadilan yang menggunakan
formulir online yang dapat diakses melalui kode QR, dan setelah diisikan maka
akan terhubung dengan daftar kehadiran pihak.
Selain
itu, terdapat pula inovasi layanan prioritas yang disediakan bagi penerima
layanan berkebutuhan khusus. Inovasi di bidang ini seringkali melibatkan adanya
reservasi layanan secara daring yang diajukan oleh penerima layanan, dengan
mencantumkan jenis pelayanan serta kebutuhan khusus dari penerima layanan
tersebut. Pengadilan yang menerima reservasi ini akan mempersiapkan fasilitas
yang dibutuhkan bagi penerima layanan sebelum datang ke kantor pengadilan.
Inovasi ini juga dapat mencakup layanan antar-jemput produk pelayanan kepada
yang bersangkutan.
Inovasi-inovasi
tersebut tentu baik dan menjawab kebutuhan nyata dari masyarakat pencari
keadilan. Kemudian yang menjadi pertanyaan: mengapa praktik baik tersebut tidak
dapat dijadikan standar pelayanan alih-alih dijadikan inovasi yang dibanggakan?
Pembinaan Inovasi Pelayanan
Publik
Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) sejatinya telah
mengatur mengenai pembinaan inovasi pelayanan publik, yaitu upaya sistematis
yang dilakukan baik secara nasional maupun secara instansional dan/atau
regional melalui kegiatan penciptaan, pengembangan, dan pelembagaan Inovasi. Penciptaan
Inovasi merupakan upaya menjaring dan menumbuhkan pengetahuan, serta
mengimplementasikan gagasan Inovasi. Pengembangan Inovasi merupakan
upaya meningkatkan kualitas dan menyebarluaskan Inovasi. Pelembagaan Inovasi
merupakan upaya penguatan Inovasi secara berkelanjutan.
Kriteria
suatu inovasi untuk dapat dilakukan pembinaan inovasi pelayanan publik adalah
sebagai berikut:
- memiliki kebaruan, yaitu
memperkenalkan cara, pendekatan atau kebijakan dan desain pelaksanaan baru dan
berbeda;
- efektif, yaitu menghasilkan
keluaran yang nyata;
- bermanfaat, yaitu memberikan
dampak bagi peningkatan kualitas Pelayanan Publik;
- mudah disebarkan, yaitu mudah
untuk ditiru dan dikembangkan; dan
- berkelanjutan, yaitu terus
diterapkan dan dikembangkan secara berkesinambungan, serta mendapat dukungan
masyarakat;
Melalui
pengaturan ini dapat kita lihat bahwa penciptaan inovasi bukan merupakan fokus
utama dari pembinaan inovasi pelayanan publik. Justru akhir yang ingin dicapai
adalah bahwa inovasi tersebut dapat tersebar dan diterapkan secara
berkelanjutan sehingga memberikan manfaat yang sama dimanapun inovasi tersebut
dikembangkan.
Praktik
baik (best practice) pelayanan publik yang sudah melembaga seharusnya
dapat diputuskan agar dilakukan transfer pengetahuan dalam implementasi gagasan
atau ide baru tersebut, inilah yang disebut dengan replikasi inovasi pelayanan
publik.
Replikasi Inovasi Peradilan
secara Nasional
Oleh
karena itu, arah kebijakan inovasi Mahkamah Agung RI sudah selayaknya bergeser
dari kompetisi penciptaan inovasi menuju strategi replikasi dan standarisasi.
Mahkamah Agung RI memegang peran krusial sebagai kurator utama dengan melakukan
inventarisasi dan evaluasi menyeluruh terhadap berbagai praktik baik yang sudah
ada.
Inovasi
yang telah teruji keandalannya, ramah pengguna, dan memberikan dampak
signifikan terhadap percepatan penyelesaian perkara atau kemudahan layanan
seharusnya ditetapkan sebagai standar baru.
Baca Juga: Monev: Kunci Pengendalian Inovasi Peradilan yang Mandek
Langkah
strategis selanjutnya adalah mengadopsi inovasi unggulan tersebut untuk
direplikasi secara masif menjadi standar operasional prosedur (SOP) nasional.
Dengan cara ini, pengadilan di daerah tidak perlu lagi dibebani oleh kewajiban
teknis untuk membangun sistem. Hal ini justru akan mendorong keseragaman
kualitas layanan peradilan di pengadilan. Melalui pendekatan ini, Mahkamah
Agung RI tidak sedang mematikan kreativitas, melainkan mengarahkan kreativitas
tersebut pada koridor yang lebih produktif.
Pada akhirnya, inovasi pada hakikatnya bukan sekadar tentang siapa yang paling banyak meluncurkan aplikasi dengan nama-nama unik, melainkan tentang seberapa besar dampak kemanfaatan yang dirasakan oleh publik. Saat ini adalah momentum yang tepat bagi Mahkamah Agung RI untuk mulai fokus pada standardisasi nasional. Kebijakan ini akan memberikan insentif kepada pencipta inovasi yang berhasil dan mendorong adanya inovasi brilian selanjutnya. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI