Cari Berita

Menggeser Paradigma Inovasi Peradilan: Dari Kompetisi Branding Menuju Replikasi Nasional

Sahala David Domein-Hakim PN Kuala Kapuas - Dandapala Contributor 2025-12-07 11:35:48
Dok. Penulis.

Redundansi Inovasi Peradilan

Semangat pembaruan peradilan oleh Mahkamah Agung RI beberapa waktu terakhir memicu kreativitas pada tingkat satuan kerja. Antusiasme ini terlihat dari maraknya peluncuran berbagai inovasi pelayanan publik oleh pengadilan. Namun, di balik maraknya inovasi tersebut, terdapat sebuah tantangan strategis yang perlu disikapi dengan bijak agar transformasi pelayanan publik ini berjalan efektif dan menyeluruh.

Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah redundansi inovasi antar satuan kerja. Inovasi yang dikembangkan di pengadilan yang satu, juga dikembangkan di pengadilan lain dengan fungsi dan mekanisme yang identik. Seringkali inovasi ini dibungkus dengan branding kreatif dan menarik agar terlihat seakan memiliki kebaruan. Pengembangan "inovasi" ini terasa parsial tanpa memperhatikan peta besar kebutuhan organisasi secara nasional.

Baca Juga: Klausul Non-Kompetisi Dalam Perjanjian Kerja: Apakah Sah Secara Hukum?

Salah satu contoh adalah inovasi mengenai lapor hadir sidang dan antrean sidang, yaitu mekanisme untuk mengelola antrian dan panggilan sidang. Berbagai pengadilan telah mengembangkan mekanisme serupa dengan beberapa varian. Ada pengadilan yang menggunakan aplikasi pada sebuah anjungan yang tersedia di PTSP, ketika pihak menyatakan dirinya hadir dan siap bersidang, maka akan terhubung dengan aplikasi rol sidang. Ada pula pengadilan yang menggunakan formulir online yang dapat diakses melalui kode QR, dan setelah diisikan maka akan terhubung dengan daftar kehadiran pihak.

Selain itu, terdapat pula inovasi layanan prioritas yang disediakan bagi penerima layanan berkebutuhan khusus. Inovasi di bidang ini seringkali melibatkan adanya reservasi layanan secara daring yang diajukan oleh penerima layanan, dengan mencantumkan jenis pelayanan serta kebutuhan khusus dari penerima layanan tersebut. Pengadilan yang menerima reservasi ini akan mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan bagi penerima layanan sebelum datang ke kantor pengadilan. Inovasi ini juga dapat mencakup layanan antar-jemput produk pelayanan kepada yang bersangkutan.

Inovasi-inovasi tersebut tentu baik dan menjawab kebutuhan nyata dari masyarakat pencari keadilan. Kemudian yang menjadi pertanyaan: mengapa praktik baik tersebut tidak dapat dijadikan standar pelayanan alih-alih dijadikan inovasi yang dibanggakan?

Pembinaan Inovasi Pelayanan Publik

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) sejatinya telah mengatur mengenai pembinaan inovasi pelayanan publik, yaitu upaya sistematis yang dilakukan baik secara nasional maupun secara instansional dan/atau regional melalui kegiatan penciptaan, pengembangan, dan pelembagaan Inovasi. Penciptaan Inovasi merupakan upaya menjaring dan menumbuhkan pengetahuan, serta mengimplementasikan gagasan Inovasi. Pengembangan Inovasi merupakan upaya meningkatkan kualitas dan menyebarluaskan Inovasi. Pelembagaan Inovasi merupakan upaya penguatan Inovasi secara berkelanjutan.

Kriteria suatu inovasi untuk dapat dilakukan pembinaan inovasi pelayanan publik adalah sebagai berikut:

  1. memiliki kebaruan, yaitu memperkenalkan cara, pendekatan atau kebijakan dan desain pelaksanaan baru dan berbeda;
  2. efektif, yaitu menghasilkan keluaran yang nyata;
  3. bermanfaat, yaitu memberikan dampak bagi peningkatan kualitas Pelayanan Publik;
  4. mudah disebarkan, yaitu mudah untuk ditiru dan dikembangkan; dan
  5. berkelanjutan, yaitu terus diterapkan dan dikembangkan secara berkesinambungan, serta mendapat dukungan masyarakat;

Melalui pengaturan ini dapat kita lihat bahwa penciptaan inovasi bukan merupakan fokus utama dari pembinaan inovasi pelayanan publik. Justru akhir yang ingin dicapai adalah bahwa inovasi tersebut dapat tersebar dan diterapkan secara berkelanjutan sehingga memberikan manfaat yang sama dimanapun inovasi tersebut dikembangkan.

Praktik baik (best practice) pelayanan publik yang sudah melembaga seharusnya dapat diputuskan agar dilakukan transfer pengetahuan dalam implementasi gagasan atau ide baru tersebut, inilah yang disebut dengan replikasi inovasi pelayanan publik.

Replikasi Inovasi Peradilan secara Nasional

Oleh karena itu, arah kebijakan inovasi Mahkamah Agung RI sudah selayaknya bergeser dari kompetisi penciptaan inovasi menuju strategi replikasi dan standarisasi. Mahkamah Agung RI memegang peran krusial sebagai kurator utama dengan melakukan inventarisasi dan evaluasi menyeluruh terhadap berbagai praktik baik yang sudah ada.

Inovasi yang telah teruji keandalannya, ramah pengguna, dan memberikan dampak signifikan terhadap percepatan penyelesaian perkara atau kemudahan layanan seharusnya ditetapkan sebagai standar baru.

Baca Juga: Monev: Kunci Pengendalian Inovasi Peradilan yang Mandek

Langkah strategis selanjutnya adalah mengadopsi inovasi unggulan tersebut untuk direplikasi secara masif menjadi standar operasional prosedur (SOP) nasional. Dengan cara ini, pengadilan di daerah tidak perlu lagi dibebani oleh kewajiban teknis untuk membangun sistem. Hal ini justru akan mendorong keseragaman kualitas layanan peradilan di pengadilan. Melalui pendekatan ini, Mahkamah Agung RI tidak sedang mematikan kreativitas, melainkan mengarahkan kreativitas tersebut pada koridor yang lebih produktif.

Pada akhirnya, inovasi pada hakikatnya bukan sekadar tentang siapa yang paling banyak meluncurkan aplikasi dengan nama-nama unik, melainkan tentang seberapa besar dampak kemanfaatan yang dirasakan oleh publik. Saat ini adalah momentum yang tepat bagi Mahkamah Agung RI untuk mulai fokus pada standardisasi nasional. Kebijakan ini akan memberikan insentif kepada pencipta inovasi yang berhasil dan mendorong adanya inovasi brilian selanjutnya. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…