Cari Berita

Mungkinkah Melakukan Observasi Persidangan Melalui Video Conference?

Nisrina Irbah Sati (Calon Hakim PN Padang) - Dandapala Contributor 2025-06-01 08:35:57
Dok. Penulis

Pada penghujung masa tunggu sebagai seorang Calon Hakim, sebuah kejadian aktual memunculkan kembali suatu pertanyaan lama di pikiran Penulis: ‘mungkinkah keluarga korban mengamati jalannya persidangan secara daring melalui fitur video conference?’ Beberapa pihak yang terlibat dalam diskusi mengemukakan bagaimana ‘pembaruan’ tersebut mengundang kekhawatiran akan terlanggarnya beberapa prinsip dasar dalam hukum acara pidana, di sisi lain, metode ini justru menawarkan utilisasi teknologi guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas persidangan. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan tiga hal secara singkat, yakni metode observasi melalui video conference bukanlah hal baru dalam tataran global, metode ini mendukung perwujudan asas-asas hukum pidana, serta ketiga, tantangan implementasinya.

Suatu Kebaruan?

Di Indonesia? Mungkin. Namun, bagaimana halnya dengan belahan dunia lain? Kita perlu menyadari bagaimana kemunculan pandemi Covid-19 pernah memaksa peradaban manusia untuk berkembang melalui ruang-ruang virtual, sehingga teknologi video conference justru sempat menjadi penyelamat demi tegaknya asas persidangan terbuka untuk umum (public trial). Amerika Serikat, [1] Kanada, [2] dan Belanda [3] merupakan contoh dari beberapa negara yang menerapkan praktik ini, beberapa di antaranya bahkan tetap mempertahankan mekanisme observasi ini. [4] Mengingat bagaimana terlaksananya pengadilan berbasis elektronik dalam rangka perwujudan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan salah satu impian Mahkamah Agung dan bukan semata-mata upaya taktis yang muncul pada saat pandemi, maka sudah sewajarnya beragam praktik berbasis elektronik yang mendukung kemudahan akses mendapat ruang pembaruan.

Baca Juga: Simak! Ini 20 Alasan PT Pontianak Bebaskan WN China di Kasus Tambang Emas

Fair Trial

Uraian pada bagian sebelumnya telah cukup untuk menggambarkan bagaimana metode ini justru bersesuaian dengan asas persidangan terbuka untuk umum dan peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Lantas, bagaimana dengan asas-asas dan ketentuan lainnya? Asas fair trial menjadi asas yang pertama dibahas terkait isu ini, di mana fair trial dapat diartkan secara umum sebagai hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pengadilan. [5] Apakah pengadilan akan dianggap memihak apabila salah satu pihak diberikan akses? Mengingat bahwa fasilitas video conference berbasis cloud merupakan suatu ruang virtual, maka Pengadilan sebatas menjalankan tugas untuk menyediakan ruang yang netral dan dapat diakses oleh para pihak sesuai dengan kepentingan dan kapasitasnya. Akses tersebut juga dapat diberikan apabila diminta oleh pihak lain di kemudian hari, seperti keluarga Terdakwa atau publik yang hendak melakukan observasi untuk kepentingan tertentu. Sehingga, asumsi bahwa pengadilan menunjukkan keberpihakan tidak dapat dijustifikasi.

Potensi Penyalahgunaan dan Keabsahan Keterangan Saksi

Kekhawatiran lainnya adalah sehubungan [2] ketentuan Pasal 160 KUHAP bahwa Saksi harus diperiksa satu per satu, maka bagaimana jika di masa mendatang ternyata salah satu pihak yang pernah dijadikan pengunjung sidang lantas dihadirkan sebagai Saksi atau menyalahgunakan tayangan lalu menyerahkannya pada pihak yang akan hadir sebagai Saksi, sehingga Saksi tersebut memberikan keterangan yang menyesatkan?

Terhadap pemenuhan ketentuan ini, perlu diberikan beberapa pertimbangan yang tidak terlepas dari teknis bagaimana akses terhadap video conference itu akan diberikan nantinya. Penulis berpendapat bahwa skema yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut, di mana pada tahap awal penerapannya nanti, akses untuk persidangan secara virtual hanya diberikan berdasarkan permohonan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan menyertakan kepentingannya, sehingga pengunjung sidang secara virtual akan dapat terdata. Pemberian akses juga mesti disertai dengan adanya peringatan awal terkait formalitas persidangan, pentingnya menjaga keabsahan pernyataan saksi-saksi di persidangan, serta larangan untuk melakukan perekaman. Dengan demikian, apabila seseorang memutuskan untuk hadir sebagai pengunjung sidang secara virtual, ia telah menunjukkan pemahaman dan persetujuan bahwa ia tidak memiliki kepentingan sebagai Saksi di persidangan mendatang dan bahwa ia memahami pentingnya menjaga tata tertib persidangan sebagaimana halnya dalam persidangan konvensional.

Dengan terdatanya pengunjung sidang melalui daftar attendee pada aplikasi video conference serta dari permohonan yang diajukan (atau hearing list), Pengadilan dapat menelusuri apakah seseorang yang akan dihadirkan sebagai Saksi pernah mengamati keterangan Saksi-Saksi yang diberikan dalam persidangan secara virtual. Daftar itu dapat menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim dalam menentukan sikap yang perlu diambil atas diajukannya orang tersebut sebagai Saksi. Apabila dibandingkan dengan persidangan konvensional yang tidak mewajibkan pendataan terhadap pengunjung sidang, mekanisme ini justru cenderung lebih sistematis dan dapat diandalkan. Mekanisme observasi ruang sidang virtual (virtual courtroom) melalui video conference ini justru menjadi opsi yang lebih aman untuk ‘memperluas’ ruang sidang dengan tetap memperhatikan tata tertib persidangan. Karena sifat video conference sebagai telekomunikasi, seluruh akses dan kontrol atas ruang virtual tersebut masih berada dalam kendali institusi Pengadilan sebagai pihak penyedia, hal mana jauh lebih aman dan terkendali jika dibandingkan dengan penyiaran langsung secara publik melalui televisi atau kanal lainnya.

Terkait penyalahgunaan melalui perekaman ilegal, perlu ditegaskan kembali bahwa Pengadilan terikat pada peringatan yang diberikan bersamaan dengan tautan untuk mengakses persidangan. Hal ini berarti, apabila rekaman persidangan tersebut dilakukan tanpa seizin dari pihak pengadilan, maka rekaman tersebut harus dinyatakan tidak sah secara hukum karena diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku, [6] sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai bukti elektronik dalam rangka pro justisia. [7] Di masa mendatang yang tidak lama lagi, Pengadilan juga harus memperhatikan potensi perlindungan dengan diterapkannya KUHP Nasional yang memberlakukan ketentuan contempt of court. [8] Meskipun belum terdapat norma yang melakukan pencegahan secara preventif, namun ketentuan hukum yang telah dan akan berlaku itu cukup memberi peluang bagi Pengadilan untuk berinovasi dalam memudahkan proses beracara sesuai dengan koridor yang ada.

Apakah Bisa Diterapkan?

Pada akhirnya, ‘perluasan’ ruang sidang menjadi virtual courtroom dengan memaksimalkan teknologi video conference bukanlah hal yang mustahil secara teknis maupun teoretis. Dengan mekanisme yang tepat, penerapannya justru akan mampu mendorong perwujudan beberapa asas dalam hukum acara pidana. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pengadilan di Indonesia memiliki keinginan dan akan mampu menerapkan praktik tersebut? Kita tak dapat memungkiri bahwa mungkin belum seluruh pengadilan di Indonesia memiliki kemampuan untuk memenuhi standar minimum peranti yang dibutuhkan untuk menyediakan akses tersebut. Demikian halnya dengan peranti lunak yang dibutuhkan, perihal penganggaran akan menimbulkan pertanyaan mengenai biaya berlangganan aplikasi eksternal yang mendukung fitur video conference, sedangkan aplikasi internal yang berlaku secara nasional seperti e-Court dan e-Berpadu belum lagi mendukung fitur yang dibutuhkan untuk kepentingan pengunjung sidang secara daring.

Pada tataran normatif, pengaturan perihal observasi persidangan jarak jauh memang belum mendapat perhatian, regulasi yang ada di Indonesia saat ini masih berfokus pada upaya memfasilitasi pemangku kepentingan utama, seperti Terdakwa dan Penuntut Umum dalam perkara pidana serta Penggugat dan Tergugat dalam perkara perdata. Kendati demikian, dalam perkara yang bersifat publik, tentunya pertimbangan akan kepentingan publik harus mendapat ruang, salah satunya dengan mempertimbangkan bagaimana akses publik akan dapat diakomodasi dalam penyelenggaraan sidang secara elektronik.

Tantangan lainnya muncul pada potensi meningkatnya tuntutan profesionalitas bagi hakim dan seluruh aparat penegak hukum yang terlibat. Dengan semakin terbukanya peluang bagi publik untuk mendapatkan akses ke dalam proses persidangan, maka prosedur beracara yang diterapkan juga harus dipastikan sebaik mungkin karena memungkinkan pengawasan yang lebih luas. Kendati demikian, terlepas dari adanya hambatan-hambatan tersebut, Penulis percaya bahwa kesadaran hukum yang semakin tinggi di masyarakat Indonesia pada akhirnya akan mendorong pengadilan untuk terus mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut. fac/cas

Daftar Rujukan

[1]  United States Courts, "Judiciary Authorizes Video/Audio Access During COVID-19 Pandemic," United States Courts, 31 Maret 2020. [Online]. Available: https://www.uscourts.gov/data-news/judiciary-news/2020/03/31/judiciary-authorizes-video-audio-access-during-covid-19-pandemic? . [Accessed 24 Mei 2025].

[2] Action Committe on Court Operations in Response to COVID-19, “Upholding the Open Courts Principle During the Covid-19 Pandemic-A Case Study of the Federal Court,” Office of the Commissioner for Federal Judicial Affairs Canada, [Online]. Available: https://www.fja.gc.ca/COVID-19/pdf/Upholding-the-Open-Courts-Principle-During-the-COVID-19-Pandemic-A-Case-Study-of-the-Federal-Court.pdf. [Diakses 24 Mei 2025].

[3] Netherlands Commercial Court, “The Netherlands Commercial Court and COVID-19: Case Management, Videoconference Hearings and eNCC,” Netherlands Commercial Court, 27 Mei 2020. [Online]. Available: https://www.rechtspraak.nl/English/NCC/news/Pages/The-Netherlands-Commercial-Court-and-COVID19-case-management-videoconference-hearings-and-eNCC.aspx? . [Diakses 23 Mei 2025].

[4] Colorado Judicial Branch, Colorado Judicial Branch, [Online]. Available: https://www.coloradojudicial.gov/livestream-and-virtual-courtrooms . [Accessed 24 Mei 2025].

[5] United Nations General Assembly, "nternational Covenant on Civil and Political Rights, Article 14," 1966. [Online]. Available: https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-civil-and-political-rights.

[6] Peraturan Mahkamah Agung tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, Perma No. 5 Tahun 2020, Pasal 4 ayat (6). 

Baca Juga: Edukasi Publik Soal Tatib Sidang, PN Tanjung Karang Bikin Video Pendek

[7] Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 11 Tahun 2008, Pasal 5. 

[8] Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 1 Tahun 2023, Pasal 278 ayat 91) huruf b. 

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI