Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan bentuk perbudakan modern yang telah menjadi perhatian global. Indonesia termasuk dalam kategori negara sumber, transit, dan tujuan, sehingga penanganannya memerlukan kebijakan hukum yang menyeluruh.
Meskipun secara substantif telah diatur dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007, sistem acara masih mengacu pada KUHAP yang belum mengakomodasi perlindungan korban secara optimal. Hal ini memunculkan urgensi reformasi hukum acara sebagai bagian integral dalam peningkatan efektivitas penegakan hukum TPPO.
Kajian hukum acara dalam penanganan TPPO telah banyak dilakukan. Secara umum, Hukum Acara Pidana di Indonesia belum sepenuhnya responsif terhadap karakteristik khusus TPPO yang bersifat lintas negara, terorganisir, dan berdampak langsung pada kerentanan korban, terutama perempuan dan anak-anak.
Baca Juga: Laporan dari Bangkok: Ini 10 Rekomendasi UNODC Terhadap Proses Peradilan TPPO
Sulastri (2022) kendala utama dalam penuntutan perkara TPPO di Indonesia adalah ketidaksesuaian antara norma hukum acara dalam KUHAP dan prinsip perlindungan korban dalam hukum internasional. Korban tidak mendapatkan perlindungan maksimal selama proses hukum, sehingga menyebabkan rendahnya partisipasi korban dalam pembuktian, dan minimnya akuntabilitas terhadap pelaku.
Sementara itu, menurut laporan UNODC Global Report on Trafficking in Persons (2022), banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, belum memiliki sistem hukum acara yang mengintegrasikan prinsip-prinsip victim-centered approach.
Padahal, Protokol Palermo yang diratifikasi Indonesia sejak 2009 mewajibkan untuk mengadopsi prosedur hukum yang menjamin kenyaman, keamanan, dan hak-hak korban selama proses hukum berlangsung.
Dalam konteks ASEAN, ASEAN Convention Againts Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP) (2015) telah menjadi rujukan dalam reformasi sistem hukum negara anggota. Konvensi ini mendorong pembentukan protokol hukum acara khusus, baik dalam tahap penyelidikan, penuntutan, maupun proses pengadilan.
Implementasi ACTIP di Indonesia masih belum terintegrasi ke dalam sistem hukum acara nasional, sehingga perlu dirumuskan pendekatan lex specialis dalam bentuk peraturan pelaksana dari UU TPPO yang lebih teknis dan operasional atau mengatur hukum acara pidana khusus untuk TPPO.
KUHAP yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tidak dirancang untuk menghadapi bentuk kejahatan modern seperti TPPO. Kelemahan utama KUHAP dalam konteks TPPO adalah tidak adanya pendekatan berbasis korban (victim-centered approach) yang eksplisit dalam setiap tahapan proses pidana.
Misalnya, dalam proses penyidikan dan pemeriksaan saksi/korban (pasal 112 dan 117 KUHAP), tidak diatur mekanisme perlindungan khusus bagi korban yang mengalami trauma berat atau yang berada dalam posisi rentan, seperti perempuan dan anak-anak. Akibatnya, korban perdagangan orang kerap mengalami reviktimisasi saat diperiksa secara berulang, tanpa pendampingan psikolog maupun hukum.
Alat bukti yang diakui KUHAP terbatas pada lima jenis sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP. Dalam praktiknya, pembuktian unsur eksploitasi sebagai unsur penting dalam TPPO menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 sering kali membutuhkan bukti tidak langsung atau dokumentasi digital, yang belum sepenuhnya diakomodasi oleh KUHAP dan tidak mengatur pemeriksaan jarak jauh, seperti penggunaan video conference, untuk melindungi korban dari intimidasi atau tekanan psikologis dalam ruang sidang.
KUHAP juga tidak secara tegas membatasi peluang mediasi penal atau penghentian perkara dalam kasus serius seperti TPPO, yang bertentangan dengan semangat non-derogable rights dan prinsip non-negotiable atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini menjadi celah penyalahgunaan wewenang oleh penegak hukum yang berpotensi melemahkan perlindungan korban dan pengungkapan sindikat.
Atas hal itu, KUHAP sebagai hukum acara pidana umum tidak memadai menghadapi tantangan penanganan TPPO secara efektif dan berkeadilan. Dibutuhkan pembaharuan hukum acara pidana yang bersifat khusus, setidaknya melalui penguatan pengaturan teknis acara pidana untuk kasus TPPO, baik dalam bentuk peraturan pelaksana UU TPPO maupun revisi terhadap KUHAP dengan pendekatan modern dan berbasis HAM.
Penanganan TPPO yang kompleks menuntut sistem hukum acara pidana yang adil dan responsif terhadap karakteristik khusus kejahatan ini. Dalam konteks ini, dibutuhkan adanya lex specialis dalam hukum acara yang mengatur secara khusus proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan TPPO.
Secara normatif, prinsip lex specialis derogat legi generali memungkinkan pembentukan hukum acara pidana yang berbeda dari KUHAP apabila ada jenis tindak pidana yang memiliki karakteristik khusus. Hal ini diakui dalam berbagai peraturan di Indonesia, salah satunya dalam pasal 63 ayat (2) KUHP, yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan diatur dalam undang-undang umum dan undang-undang khusus, maka yang berlaku adalah undang-undang yang khusus.
Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, undang-undang ini masih berfokus pada aspek substantif dan belum mengatur prosedur hukum acara secara komprehensif. Akibatnya, aparat penegak hukum tetap menggunakan KUHAP yang bersifat umum dan belum mengakomodasi kebutuhan perlindungan korban serta teknik pembuktian yang lebih relevan dengan kasus TPPO.
Aspek hukum acara yang seharusnya diatur dalam lex specialis antara lain:
- Mekanisme pemeriksaan korban dalam pendekatan trauma-informed, khususnya untuk perempuan dan anak-anak korban eksploitasi seksual.
- Penggunaan alat bukti elektronik dan digital dalam kasus perdagangan orang lalu lintas negara, termasuk komunikasi daring, dokumen perjalanan palsu, dan transaksi keuangan.
- Perlindungan identitas korban dan saksi, termasuk penggunaan tirai atau pemeriksaan melalui video conference untuk mencegah intimidasi saat persidangan.
- Pendampingan psikologis dan hukum sejak tahap awal proses penyidikan hingga putusan akhir.
Studi komparatif menunjukkan bahwa negara seperti Filipina dan Amerika Serikat telah menetapkan lex specialis dalam hukum acara untuk penanganan TPPO, guna memastikan perlindungan korban dan efektivitas penegakan hukum.
Filipina, melalui Republic Act No.9208 (Anti-Trafficking in Persons Act of 2003) dan Expanded Anti-Trafficking in Persons Act (RA 10364 tahun 2012), mewajibkan penyidik bersertifikat, perlindungan identitas korban, penggunaan video conference, serta dukungan hukum dan psikologis.
Baca Juga: Environmental Ethic Sebagai Pilar Keadilan Ekologis
Amerika Serikat, melalui Trafficking Victims Protection Act (TVPA) of 2000 dan berbagai amandemennya, menetapkan protokol khusus, seperti pemeriksaan oleh forensic interviewer, perintah perlindungan, dan layanan hukum gratis, yang terintegrasi dengan layanan sosial. Pendekatan ini bersifat restoratif dan berbasis HAM.
Indonesia, yang masih mengandalkan KUHAP sebagai lex generalis, perlu mengadopsi pendekatan serupa dengan reformasi hukum acara:
- Membentuk unit penanganan khusus di kepolisian dan kejaksaan, melatih aparat dalam pendekatan berbasis korban, menyusun SOP nasional berbasis Palermo Protocol dan ACTIP;
- Integrasi perlindungan hukum, psikologis, dan sosial terhadap korban;
- Peraturan Pelaksana dari UU Nomor 21 Tahun 2007 dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur teknis hukum acara;
- Revisi KUHAP untuk membuka ruang prosedur khusus dalam kasus-kasus kejahatan transnasional terorganisir;
- Pembentukan unit pengadilan atau majelis khusus TPPO. Reformasi ini penting untuk memperkuat perlindungan korban dan menunjukkan komitmen Indonesia terhadap standar internasional pemberantasan TPPO. (YPY/LDR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI