Cari Berita

Paradoks Formulasi Pidana Mati Dalam KUHP Nasional, Dapatkah Menjerakan Pelaku?

Anderson Peruzzi Simanjuntak-Hakin Balige - Dandapala Contributor 2025-09-17 08:05:34
Dok. Penulis.

Pada saat kita mendengar mengenai hukuman dalam konteks pemidanaan, yang pertama kali terlintas dipikiran kita adalah rasa takut karena hukuman identik dengan penderitaan yang harus dijalani seseorang sebagai konsekuensi dari perbuatannya.

Hukuman pada hakikatnya dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan efek jera dan memberikan keadilan, baik bagi korban, masyarakat, maupun pelaku, sehingga kehadirannya selalu menyisakan ambivalensi dimana disatu sisi menakutkan, namun di sisi lain dianggap perlu demi menjaga ketertiban dan keseimbangan dalam kehidupan bersama.

Roscoe Pound dalam bukunya yang berjudul “An Introduction to the Philosophy of Law” pernah menyatakan bahwa hukum adalah sarana untuk merekayasa masyarakat/sosial, dimana dalam konteks penghukuman/pemidanaan yang menjadi tujuan utama dari “rekayasa” tersebut adalah untuk menimbulkan ketertiban melalui pencegahan terjadinya tindak pidana. Namun pada praktiknya, perimusan suatu instrumen penghukuman/pemidanaan justru dapat menimbulkan suatu paradoks.

Baca Juga: Pidana Mati: Melawan Takdir Tuhan atau Menjalankan Takdir Tuhan?

Paradoks adalah pernyataan atau situasi yang tampak bertentangan dengan logika atau akal sehat, tetapi bisa mengandung kebenaran tertentu di dalamnya seperti “Semakin banyak yang saya tahu, semakin saya sadar bahwa saya tidak tahu apa-apa” disatu sisi, mengetahui lebih banyak seharusnya membuat kita merasa pintar, tapi justru menyadarkan bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui.

Dalam filsafat, ilmu pengetahuan, bahkan kehidupan sehari-hari, paradoks sering muncul untuk menunjukkan kerumitan realitas, keterbatasan logika, atau cara berpikir yang perlu ditinjau ulang.

Instrumen penjeraan dalam hukum pidana merupakan sarana yang dipergunakan negara melalui sistem peradilan pidana untuk menimbulkan efek jera, baik bagi pelaku tindak pidana (special deterrence) maupun masyarakat luas (general deterrence).

Efek jera ini dimaksudkan agar pelaku tidak mengulangi kejahatan yang sama dan masyarakat terdorong untuk menghindari perilaku yang dilarang oleh hukum. Instrumen yang digunakan cukup beragam, mulai dari pidana pokok, pidana tambahan, tindakan, hingga mekanisme sosial hukum pidana.

Formulasi pidana mati dalam KUHP Nasional dapat kita temui dalam Pasal 98 yang pada pokoknya menyatakan Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.

Namun tanpa disadari formulasi demikian justru dapat menimbulkan suatu paradoks dimana alih-alih pidana mati dapat mencegah dilakukannya tindak pidana, justru sebaliknya formulasi Pidana Mati tersebut dapat menjadi motivasi/dorongan bagi seseorang untuk melakukan tindak pidana.

John Stuart Mill dalam pidatonya pada tanggal 21 April 1868 yang berjudul “A Bill to Provide for Carrying out of Capital Punishment within Prisons” menyatakan bahwa:

The failure of capital punishment in cases of theft is easily accounted for: the thief did not believe that it would be inflicted. He had learnt by experience that jurors would perjure themselves rather than find him guilty; that Judges would seize any excuse for not sentencing him to death, or for recommending him to mercy; and that if neither jurors nor Judges were merciful, there were still hopes from an authority above both.

Dalam terjemahan bebas dapat memiliki arti kegagalan pidana mati dalam kasus pencurian mudah dijelaskan: pencuri tidak percaya bahwa hukuman itu benar-benar akan dijatuhkan. Dari pengalamannya, ia mengetahui bahwa para juri lebih memilih bersumpah palsu daripada menyatakannya bersalah; bahwa hakim akan mencari alasan apa pun untuk tidak menjatuhkan hukuman mati atau untuk merekomendasikan pengampunan; dan bahwa jika baik juri maupun hakim tidak menunjukkan belas kasihan, masih ada harapan dari otoritas yang lebih tinggi dari keduanya.

Sehingga dapat ditarik dua unsur utama gagalnya pidana mati dalam mencegah terjadinya tindak pidana adalah karena hukuman tersebut tidak pernah dijatuhkan dan apabila hukuman tersebut dijatuhkan, ia tidak pernah dijalankan. Dengan demikian timbul suatu pertanyaan bagaimana hubungan antara pendapat Mill dalam pidatonya tersebut dengan formulasi pidana mati dalam KUHP Nasional yang dapat mendorong/memotivasi terjadinya tindak pidana.

Dalam dunia bisnis dikenal suatu metode atau strategi penetapan harga dengan nama Psychological Pricing. Psychological Pricing adalah strategi penetapan harga produk atau layanan yang disusun sedemikian rupa, sehingga bisa memanipulasi persepsi pelanggan dan memengaruhi keputusan pembelian mereka.

Tujuan dari psychological pricing adalah untuk menciptakan efek psikologis tertentu dalam pikiran pelanggan. Salah satu penerapan strategi ini adalah dengan menggunakan Decoy pricing di mana perusahaan menambahkan satu opsi produk (disebut decoy atau umpan) yang sengaja dibuat kurang menarik, agar konsumen terdorong memilih opsi lain yang sebenarnya lebih menguntungkan bagi perusahaan, contohnya Bioskop menjual popcorn dalam 3 ukuran:

a.     Kecil: Rp20.000

b.     Sedang (decoy): Rp35.000

c.     Besar: Rp40.000

Di sini, harga popcorn sedang hanya sedikit lebih murah dari besar, sehingga konsumen merasa pilihan besar jauh lebih “worth it”. Tujuan decoy (popcorn sedang) bukan untuk laku, tapi untuk membuat opsi besar terlihat sebagai keputusan paling rasional.

Psychological Pricing tersebut tidak hanya dapat diterapkan dalam dunia bisnis, melainkan dapat pula diterapkan dalam menilai cost and benefit dari suatu perbuatan pidana. Dalam kriminologi, hal tersebut sangat dekat dengan teori rasional pilihan (rational choice theory) dimana pelaku melakukan perhitungan sederhana seperti apakah keuntungan dari kejahatan lebih besar dibanding risiko dan “harga” yang harus dibayar (hukuman pidana).

KUHP Nasional menempatkan pidana mati sebagai pidana yang bersifat khusus, sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) serta apabila dijatuhkan maka harus disertai masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dimana jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.

Hal ini menunjukkan bahwa rumusan pidana mati dalam KUHP Nasional memenuhi dua unsur utama gagalnya pidana mati dalam menimbulkan efek jera (baik general deterrence maupun special deterrence).

Apabila kita memandang Pelaku sebagai konsumen/pembeli, sedangkan hukuman/pidana dipandang sebagai harga yang harus dibayar (cost) dari keuntungan yang dapat diperoleh atas suatu perbuatan atau tindak pidana (benefit), maka formulasi pidana mati demikian dapat menjadikannya sebuah decoy atau umpan sehingga membentuk suatu rasio dimana hukuman penjara seumur hidup, hukuman penjara waktu tertentu, dan hukuman-hukuman lainnya menjadi sesuatu yang dapat dibayarkan/dianggap menguntungkan. Berikut skema yang dapat digunakan untuk mengilustrasikan decoy pricing dalam Pemidanaan:

Ancaman Tertinggi (Pidana Mati) → dianggap "decoy"

        ↓

Membuat Pidana Seumur Hidup tampak lebih rasional

        ↓

Membuat Pidana Penjara Waktu Tertentu tampak lebih ringan

        ↓

Membuat Denda/Hukuman Tambahan terasa paling murah

Apabila skema tersebut kita terapkan dalam suatu perkara seperti Penjual/Penyalur narkotika golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram maka dengan adanya ancaman pidana mati pada pelaku peredaran narkotika tersebut, sistem hukum pidana memberi kesan bahwa pidana mati adalah “harga tertinggi” untuk kejahatan narkotika.

Namun karena pidana mati sering dipandang sebagai upaya terakhir/ultimum remedium dan meskipun dijatuhkan ia tidak akan dilaksanakan, justru membuat pidana seumur hidup atau 20 tahun penjara tampak sebagai harga yang lebih masuk akal dan ringan. Efek psikologisnya sama seperti decoy pricing: ancaman paling ekstrem (pidana mati) berfungsi sebagai “umpan” sehingga pidana di bawahnya dianggap lebih wajar untuk dijalani, dan bagi pelaku, masih ada “perhitungan” bahwa manfaat ekonomi dari menjual narkotika bisa dianggap sebanding dengan “harga” hukuman yang lebih ringan.

Formulasi pidana mati dalam KUHP Nasional yang menempatkannya sebagai pidana khusus, bersifat ultimum remedium, dan disertai masa percobaan 10 tahun justru melahirkan suatu paradoks penjeraan.

Alih-alih menimbulkan efek jera yang maksimal, keberadaan pidana mati dalam bentuk demikian lebih berfungsi sebagai decoy yang membuat pidana lain (seumur hidup, penjara waktu tertentu, dan jenis pidana pokok lainnya) tampak lebih rasional dan ringan (mengakibatkan pidana penjara seumur hidup, pidana penjara waktu tertentu, dan jenis pidana lainnya kehilangan efek deterrence-nya). Hal ini sejalan dengan pandangan John Stuart Mill bahwa kegagalan pidana mati terletak pada kenyataan hukuman tersebut jarang dijatuhkan dan sekalipun dijatuhkan sering tidak dijalankan. (ldr)

 

Referensi

Mill, J. S. (1988). The collected works of John Stuart Mill, Volume XXVIII: Public and parliamentary speeches, Part I, November 1850 – November 1868. J. M. Robson (Ed.). University of Toronto Press; Routledge & Kegan Paul. (Original work published 1850–1868).

Kubíčková, L., Veselá, L., Kormaňáková, M., & Veverková, E. (2023). How does decoy pricing affect purchasing decisions? Studies in Business and Economics, 18(3), 176–197. https://doi.org/10.2478/sbe-2023-0053

Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023

Akers, R. L., & Sellers, C. S. (2012). Criminological theories: Introduction, evaluation, and application (6th ed.). Oxford University Press.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI