Sanksi
tindakan merupakan salah satu bentuk sanksi dalam hukum pidana disamping sanksi
pidana. Eksistensi sanksi tindakan sebagai bentuk sanksi hukum pidana sudah
mulai dikenal sejak abad ke-19. Dalam tataran hukum pidana modern, ketika
bicara mengenai sanksi dalam hukum pidana, maka bicara mengenai “pidana” dan
tindakan”, hal inilah yang kemudian dikenal dengan konsep double track
system.
Antara
sanksi pidana dengan sanksi tindakan memiliki perbedaan yang mendasar. Fokus
sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan
penderitaan. Artinya, sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan, memberi
penderitaan istimewa (bijzonder leed). Sedangkan fokus sanksi tindakan
tertuju pada upaya memberi pertolongan agar pelaku tindak pidana berubah.
Artinya, sanksi tindakan lebih menekankan pembinaan atau perawatan pelaku
tindak pidana yang tujuannya lebih bersifat mendidik.
Dalam
peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia sendiri sanksi tindakan
bukanlah merupakan bentuk sanksi hukum pidana yang baru. Setidaknya sanksi
tindakan sudah terlihat mulai dari KUHP existing, Undang-Undang No. 7
Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Anak.
Baca Juga: Mengenal Jenis Sanksi Hukum di Jawa Abad ke-18, dari Cambuk hingga Dibuang
Hanya
saja 4 (empat) dari 6 (enam) peraturan perundang-undangan tersebut, sanksi
tindakan hanya dapat diterapkan terhadap subyek hukum khusus seperti anak,
penyandang disabilitas dan korporasi. Sedangkan untuk Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, sanksi tindakan dapat diterapkan terhadap orang perseorangan.
Eksistensi
sanksi tindakan dalam undang-undang pidana di Indonesia semakin diperkuat,
diperjelas dan dipertegas oleh pembentuk undang-undang dengan dirumuskannya
sanksi tindakan dalam KUHP Nasional.
Berbeda
halnya dengan KUHP existing, dalam KUHP Nasional sanksi tindakan
mendapat tempat tersendiri dalam perumusannya. Hal tersebut terlihat dari
adanya titel tersendiri untuk eksistensi sanksi tindakan dalam Bab Pemidanaan,
Pidana dan Tindakan.
KUHP
Nasional memuat sanksi tindakan yang bisa dikenakan terhadap setiap orang,
penyandang disabilitas, anak dan korporasi. Artinya norma sanksi tindakan dalam
6 (enam) perundang-undangan yang sebelumnya sudah ada, direformulasi oleh
pembentuk KUHP Nasional. Ada 5 (lima) jenis sanksi tindakan yang bisa dikenakan
terhadap setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) KUHP
Nasional yaitu konseling, rehabilitasi, pelatihan kerja, perawatan di lembaga
dan/atau perbaikan akibat tindak pidana.
Perumusan
Sanksi Tindakan dalam KUHP Nasional
Perumusan
sanksi tindakan dalam KUHP Nasional dirumuskan oleh pembentuk undang-undang
dengan cara yang berbeda dengan perumusan sanksi pidana.
Pertama,
sanksi pidana diformulasikan oleh pembentuk KUHP Nasional sebagai sanksi yang
bersifat imperatif. Artinya, sanksi tersebut harus dijatuhkan. Hakim meskipun
setelah memperhatikan Pedoman Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan merasa jenis
sanksi pidana yang dirumuskan oleh pembentuk undang-undang tidak cocok untuk
dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana, Hakim tetap harus menjatuhkan jenis
sanksi pidana yang sudah dirumuskan tersebut. Hakim ditahap aplikasi tidak lagi
punya pilihan.
Sedangkan
sanksi tindakan, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 103 ayat (1) KUHP
Nasional diformulasikan sebagai sanksi yang bersifat opsional (pilihan). Hal
tersebut terlihat dari rumusan normanya “Tindakan yang dapat dikenakan
bersama-sama dengan pidana pokok”. Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan
sanksi tindakan atau tidak menjatuhkan sanksi tindakan setelah memperhatikan
Pedoman Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan. Apabila Hakim setelah memperhatikan
Pedoman Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan merasa sanksi tindakan tidak cocok untuk dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana,
maka Hakim boleh tidak menjatuhkan sanksi tindakan tersebut.
Kedua,
sanksi pidana diformulasikan langsung bersamaan dengan tindak pidananya dalam
satu norma. Misalnya dalam tindak pidana pencurian sebagaimana terdapat dalam
Pasal 476 KUHP Nasional, pembentuk undang-undang dalam pasal tersebut
merumuskan perbuatan yang dilarang dan disebut sebagai pencurian serta
merumuskan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak kategori V bagi yang melakukan pencurian.
Artinya,
pembentuk undang-undang dari awal perumusan sudah menentukan terhadap tindak
pidana pencurian, sanksi pidana yang paling cocok untuk dijatuhkan ialah pidana
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori V. Hakim
ditahap aplikasi tidak lagi diberi kewenangan oleh pembentuk undang-undang
untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang cocok untuk pelaku tindak
pidana. Hakim hanya diberi kewenangan untuk menentukan berat ringannya pidana
yang dijatuhkan (strafmaat) dari minimum umum atau minimum khusus yang
ditentukan hingga maksimum khusus.
Berbeda
halnya dengan sanksi tindakan. Pembentuk KUHP Nasional merumuskan sanksi
tindakan terpisah dari tindak pidana yang dilarang. Pembentuk KUHP Nasional
tidak langsung menentukan sanksi tindakan apa yang cocok dijatuhkan untuk
pelaku suatu tindak pidana. Pembentuk KUHP Nasional berdasarkan Pasal 103 ayat
(3) menyerahkan sepenuhnya kepada Hakim untuk memilih sanksi tindakan apa yang
cocok dijatuhkan kepada seorang pelaku tindak pidana. Disamping untuk
menentukan jenis sanksi tindakan apa yang cocok, Hakim juga diberi kebebasan
oleh pembentuk KUHP Nasional untuk menentukan jangka waktu, tempat dan/atau
pelaksanaan sanksi tindakan itu sendiri.
Model
perumusan sanksi tindakan yang terdapat dalam KUHP Nasional tersebut tentunya
akan berdampak langsung pada tahap aplikasi yaitu penjatuhan putusan oleh Hakim.
Dekonstruksi
Posisi Hakim
Perumusan
sanksi tindakan dalam KUHP Nasional sebagaimana yang disebutkan diatas, secara
tidak langsung mendekonstruksi posisi Hakim dalam mencapai tujuan pemidanaan.
Jika
dalam KUHP existing, posisi Hakim hanya menjatuhkan sanksi pidana bagi
pelaku tindak pidana, yang mana dalam penjatuhan sanksi pidana tersebut tanpa
harus mencari tau apakah sanksi pidana tersebut cocok diterapkan terhadap
pelaku atau tidak karena sudah dirumuskan secara imperatif oleh pembentuk
undang-undang. Sedangkan dengan adanya perumusan sanksi tindakan, Hakim
mempunyai kebebasan untuk menentukan jenis sanksi tindakan apakah yang cocok
dari 5 (lima) jenis sanksi tindakan untuk dijatuhkan kepada pelaku tindak
pidana bersamaan dengan sanksi pidana. Hakimlah yang mengetahui bagaimana
“penyakit” pelaku tindak pidana dan hakim jugalah yang lebih mengetahui “obat”/jenis
sanksi tindakan apa yang cocok untuk mengobati pelaku tindak pidana supaya
sembuh dan tidak mengulangi kembali tindak pidana yang dilakukan.
Posisi
Hakim tidak lagi hanya menjatuhkan putusan yang bisa membawa penderitaan bagi
pelaku tindak pidana, namun dengan adanya sanksi tindakan dalam KUHP Nasional
Hakim mempunyai posisi tersendiri dalam merubah pelaku tindak pidana menjadi orang
yang baik dan berguna melalui putusannya.
Kesimpulan
Baca Juga: Histori dan Prinsip Representasi dalam Pengaturan Sanksi Pidana
Kebebasan
yang diberikan oleh pembentuk KUHP Nasional kepada Hakim dalam penjatuhan
sanksi tindakan (Jenis, jangka waktu, tempat, dan/ atau pelaksanaan), tentunya
harus disambut serius oleh seluruh Hakim di lingkungan peradilan umum. Jika
sebelumnya Hakim tidak perlu mengkorelasikan kondisi/sifat pelaku tindak pidana
terhadap jenis sanksi pidana yang dijatuhkan, dalam KUHP Nasional Hakim harus
lebih aktif untuk melihat kondisi/sifat pelaku tindak pidana. Hakim tidak lagi
bisa hanya monoton terhadap ilmu hukum pidana dalam penjatuhan putusan, namun
didalam kondisi tertentu Hakim harus melihat ilmu lain diluar ilmu hukum untuk
menentukan jenis sanksi tindakan apa yang tepat untuk dijatuhkan terhadap
pelaku tindak pidana. (zm/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI