Cari Berita

Menelisik Eksistensi Sanksi Tindakan dalam KUHP Nasional

Fadil Aulia-Hakim PN Mandailing Natal - Dandapala Contributor 2025-11-23 14:30:11
Dok. Penulis.

Sanksi tindakan merupakan salah satu bentuk sanksi dalam hukum pidana disamping sanksi pidana. Eksistensi sanksi tindakan sebagai bentuk sanksi hukum pidana sudah mulai dikenal sejak abad ke-19. Dalam tataran hukum pidana modern, ketika bicara mengenai sanksi dalam hukum pidana, maka bicara mengenai “pidana” dan tindakan”, hal inilah yang kemudian dikenal dengan konsep double track system.

Antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan memiliki perbedaan yang mendasar. Fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan. Artinya, sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan, memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed). Sedangkan fokus sanksi tindakan tertuju pada upaya memberi pertolongan agar pelaku tindak pidana berubah. Artinya, sanksi tindakan lebih menekankan pembinaan atau perawatan pelaku tindak pidana yang tujuannya lebih bersifat mendidik.

Dalam peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia sendiri sanksi tindakan bukanlah merupakan bentuk sanksi hukum pidana yang baru. Setidaknya sanksi tindakan sudah terlihat mulai dari KUHP existing, Undang-Undang No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Baca Juga: Mengenal Jenis Sanksi Hukum di Jawa Abad ke-18, dari Cambuk hingga Dibuang

Hanya saja 4 (empat) dari 6 (enam) peraturan perundang-undangan tersebut, sanksi tindakan hanya dapat diterapkan terhadap subyek hukum khusus seperti anak, penyandang disabilitas dan korporasi. Sedangkan untuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sanksi tindakan dapat diterapkan terhadap orang perseorangan.

Eksistensi sanksi tindakan dalam undang-undang pidana di Indonesia semakin diperkuat, diperjelas dan dipertegas oleh pembentuk undang-undang dengan dirumuskannya sanksi tindakan dalam KUHP Nasional.

Berbeda halnya dengan KUHP existing, dalam KUHP Nasional sanksi tindakan mendapat tempat tersendiri dalam perumusannya. Hal tersebut terlihat dari adanya titel tersendiri untuk eksistensi sanksi tindakan dalam Bab Pemidanaan, Pidana dan Tindakan.

KUHP Nasional memuat sanksi tindakan yang bisa dikenakan terhadap setiap orang, penyandang disabilitas, anak dan korporasi. Artinya norma sanksi tindakan dalam 6 (enam) perundang-undangan yang sebelumnya sudah ada, direformulasi oleh pembentuk KUHP Nasional. Ada 5 (lima) jenis sanksi tindakan yang bisa dikenakan terhadap setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) KUHP Nasional yaitu konseling, rehabilitasi, pelatihan kerja, perawatan di lembaga dan/atau perbaikan akibat tindak pidana.

Perumusan Sanksi Tindakan dalam KUHP Nasional

Perumusan sanksi tindakan dalam KUHP Nasional dirumuskan oleh pembentuk undang-undang dengan cara yang berbeda dengan perumusan sanksi pidana.

Pertama, sanksi pidana diformulasikan oleh pembentuk KUHP Nasional sebagai sanksi yang bersifat imperatif. Artinya, sanksi tersebut harus dijatuhkan. Hakim meskipun setelah memperhatikan Pedoman Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan merasa jenis sanksi pidana yang dirumuskan oleh pembentuk undang-undang tidak cocok untuk dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana, Hakim tetap harus menjatuhkan jenis sanksi pidana yang sudah dirumuskan tersebut. Hakim ditahap aplikasi tidak lagi punya pilihan.

Sedangkan sanksi tindakan, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 103 ayat (1) KUHP Nasional diformulasikan sebagai sanksi yang bersifat opsional (pilihan). Hal tersebut terlihat dari rumusan normanya “Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok”. Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan sanksi tindakan atau tidak menjatuhkan sanksi tindakan setelah memperhatikan Pedoman Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan. Apabila Hakim setelah memperhatikan Pedoman Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan merasa sanksi tindakan tidak cocok  untuk dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana, maka Hakim boleh tidak menjatuhkan sanksi tindakan tersebut.

Kedua, sanksi pidana diformulasikan langsung bersamaan dengan tindak pidananya dalam satu norma. Misalnya dalam tindak pidana pencurian sebagaimana terdapat dalam Pasal 476 KUHP Nasional, pembentuk undang-undang dalam pasal tersebut merumuskan perbuatan yang dilarang dan disebut sebagai pencurian serta merumuskan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori V bagi yang melakukan pencurian.

Artinya, pembentuk undang-undang dari awal perumusan sudah menentukan terhadap tindak pidana pencurian, sanksi pidana yang paling cocok untuk dijatuhkan ialah pidana pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori V. Hakim ditahap aplikasi tidak lagi diberi kewenangan oleh pembentuk undang-undang untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang cocok untuk pelaku tindak pidana. Hakim hanya diberi kewenangan untuk menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan (strafmaat) dari minimum umum atau minimum khusus yang ditentukan hingga maksimum khusus.

Berbeda halnya dengan sanksi tindakan. Pembentuk KUHP Nasional merumuskan sanksi tindakan terpisah dari tindak pidana yang dilarang. Pembentuk KUHP Nasional tidak langsung menentukan sanksi tindakan apa yang cocok dijatuhkan untuk pelaku suatu tindak pidana. Pembentuk KUHP Nasional berdasarkan Pasal 103 ayat (3) menyerahkan sepenuhnya kepada Hakim untuk memilih sanksi tindakan apa yang cocok dijatuhkan kepada seorang pelaku tindak pidana. Disamping untuk menentukan jenis sanksi tindakan apa yang cocok, Hakim juga diberi kebebasan oleh pembentuk KUHP Nasional untuk menentukan jangka waktu, tempat dan/atau pelaksanaan sanksi tindakan itu sendiri.

Model perumusan sanksi tindakan yang terdapat dalam KUHP Nasional tersebut tentunya akan berdampak langsung pada tahap aplikasi yaitu penjatuhan putusan oleh Hakim.

Dekonstruksi Posisi Hakim

Perumusan sanksi tindakan dalam KUHP Nasional sebagaimana yang disebutkan diatas, secara tidak langsung mendekonstruksi posisi Hakim dalam mencapai tujuan pemidanaan.

Jika dalam KUHP existing, posisi Hakim hanya menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana, yang mana dalam penjatuhan sanksi pidana tersebut tanpa harus mencari tau apakah sanksi pidana tersebut cocok diterapkan terhadap pelaku atau tidak karena sudah dirumuskan secara imperatif oleh pembentuk undang-undang. Sedangkan dengan adanya perumusan sanksi tindakan, Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan jenis sanksi tindakan apakah yang cocok dari 5 (lima) jenis sanksi tindakan untuk dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana bersamaan dengan sanksi pidana. Hakimlah yang mengetahui bagaimana “penyakit” pelaku tindak pidana dan hakim jugalah yang lebih mengetahui “obat”/jenis sanksi tindakan apa yang cocok untuk mengobati pelaku tindak pidana supaya sembuh dan tidak mengulangi kembali tindak pidana yang dilakukan.

Posisi Hakim tidak lagi hanya menjatuhkan putusan yang bisa membawa penderitaan bagi pelaku tindak pidana, namun dengan adanya sanksi tindakan dalam KUHP Nasional Hakim mempunyai posisi tersendiri dalam merubah pelaku tindak pidana menjadi orang yang baik dan berguna melalui putusannya.

Kesimpulan

Baca Juga: Histori dan Prinsip Representasi dalam Pengaturan Sanksi Pidana

Kebebasan yang diberikan oleh pembentuk KUHP Nasional kepada Hakim dalam penjatuhan sanksi tindakan (Jenis, jangka waktu, tempat, dan/ atau pelaksanaan), tentunya harus disambut serius oleh seluruh Hakim di lingkungan peradilan umum. Jika sebelumnya Hakim tidak perlu mengkorelasikan kondisi/sifat pelaku tindak pidana terhadap jenis sanksi pidana yang dijatuhkan, dalam KUHP Nasional Hakim harus lebih aktif untuk melihat kondisi/sifat pelaku tindak pidana. Hakim tidak lagi bisa hanya monoton terhadap ilmu hukum pidana dalam penjatuhan putusan, namun didalam kondisi tertentu Hakim harus melihat ilmu lain diluar ilmu hukum untuk menentukan jenis sanksi tindakan apa yang tepat untuk dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana. (zm/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…