Hukum pidana adalah sekumpulan aturan yang mengatur tindakan yang dilarang dan diperintahkan dengan sanksi berupa pidana dan/atau tindakan terhadap setiap orang yang melanggar larangan maupun yang tidak melaksanakan perintah.
Menurut aliran klasik, hukum pidana bertujuan sebagai sarana pembalasan (lex talionis), adapun dalam aliran modern hukum pidana bertujuan untuk melawan kejahatan, berhubungan dengan ilmu lain, dan bersifat ultimum remidium/ sarana terakhir dalam menumpas kejahatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) telah mengadopsi
tujuan hukum pidana dalam aliran modern tersebut. Hal ini dapat terlihat dari visi
dari KUHP Nasional yang menurut Eddy O.S. Hiariej adalah keadilan rehabilitatif
dan reintegratif yang berarti pelaku tidak hanya dijatuhkan sanksi, namun juga
dilakukan perbaikan agar setelah selesai menjalani masa pemidanaan dapat diterima
kembali dalam masyarakat serta tidak lagi mengulangi perbuatan pidananya.
Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Adapun makna dari keadilan rehabilitatif dan reintegratif telah diatur dalam Pasal 51 huruf b KUHP Nasional yang menjelaskan pada pokoknya bahwa tujuan pidana adalah untuk merehabiltasi terpidana agar menjadi orang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat.
Artinya KUHP Nasional telah meninggalkan tujuan pemidanaan yang bersifat pembalasan dalam aliran klasik dan lebih berorientasi kepada kepentingan korban dan pelaku tindak pidana sebagaimana dalam konsep keadilan rehabilitatif dan keadilan reintegratif.
Salah satu hal yang dihindari dari konsep keadilan rehabilitatif adalah adanya pidana penjara dalam waktu singkat. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) KUHP Nasional yang menyatakan bahwa hakim agar menghindari penjatuhan pidana penjara dalam hal terpenuhi kondisi tertentu.
Namun disisi lain Pasal 82
ayat (1) dan (2) huruf a KUHP Nasional memberikan peluang dijatuhkannya penjara
singkat yaitu pidana penjara pengganti denda dengan masa pidana penjara paling rendah
1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun serta dapat diperberat paling
lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dalam hal adanya perbarengan.
Adanya pengaturan yang bersifat kontradiktif antara tujuan pemidanaan dengan jangka waktu pemidanaan pada pidana penjara pengganti denda dalam KUHP Nasional tersebut berpotensi menimbulkan adanya antinomi hukum di antara keduanya.
Adapun antinomi berasal dari bahasa latin yaitu “antinomia” yang berarti anti nomos atau pertentangan norma. Secara sederhana antinomi diartikan sebagai pertentangan antara dua prinsip atau aturan hukum yang setara atau pertentangan dalam hukum itu sendiri.
Menurut Hume dalam
prinsip “determinisme” menyatakan bahwa selalu akan ada pertentangan
dari suatu materi atau prinsip. Adapun menurut W.
Friedman dalam perkembangannya sedikitnya terdiri dari 6 (enam) antinomi yaitu:
pribadi dan alam, kerelaan dan ilmu pengetahuan, akal dan perasaan, konsistensi
dan revolusi, legisme dan idealisme, komunalisme dan kepribadian, pemerintahan
perwakilan dan diktatorianisme, internasionalisme dan nasionalisme.
Akibat adanya Antinomi Hukum antara Tujuan Pemidanaan dan
Pidana Penjara Pengganti Denda dalam KUHP Nasional
Dalam KUHP Nasional pada satu sisi pemidanaan bertujuan untuk memasyarakatkan terpidana dengan hukum pidana sebagai alat agar terpidana kembali menjadi orang baik pada saat kembali ke masyarakat, namun disisi lain pembentuk undang-undang mengatur adanya pidana penjara yang singkat yaitu pidana penjara pengganti denda yang paling lama dapat dijatuhkan oleh hakim selama 1 (satu) tahun dan 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.
Meskipun dalam Pasal 81 ayat (3) KUHP Nasional mengatur
bahwa apabila pidana denda tidak dibayar untuk waktu yang telah ditentukan,
harta kekayaan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk membayar
denda yang belum dilunasi. Sehingga pidana penjara pengganti denda tersebut
baru berlaku dalam hal pidana denda tidak dibayar yang mengakibatkan harta
kekayaan terpidana akan dilelang oleh jaksa selaku eksekutor perkara.
Sekilas penyitaan harta kekayaan terpidana untuk melunasi pidana denda ini merupakan sebuah modernisasi dari KUHP Nasional, dimana negara dapat memperoleh keuntungan dari penyitaan harta kekayaan terpidana tersebut.
Namun dengan masih adanya pidana penjara yang singkat yaitu 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan, maka pidana penjara yang singkat ini berpotensi mengulangi permasalahan yang sama terhadap pidana kurungan dimana alasan dihapuskannya pidana kurungan yang paling lama dijatuhkan adalah 6 (enam) bulan berdasarkan Pasal 32 KUHP sebagai pengganti pidana denda adalah karena tidak efektifnya pelaksanaan pidana kurungan dimana terpidana yang dijatuhkan pidana kurungan ditempatkan dalam lembaga pemasyarakatan yang sama dengan terpidana yang dijatuhi pidana penjara.
Adapun alasan selanjutnya penghapusan pidana kurungan dalam KUHP
adalah karena pidana kurungan menjadi penyebab tidak efektifnya pidana denda
dimana terpidana lebih memilih dijatuhkannya pidana kurungan pengganti daripada
pidana denda.
Alternatif terhadap Pidana Pengganti Denda dalam KUHP
Nasional
Menurut Wesley Cragg sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej, terdapat 4 (empat) catatan paradigma pemidanaan modern yaitu:
Pertama, pemidanaan merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat modern.
Kedua, pemidanaan merupakan cerminan kebutuhan masyarakat dari suatu negara dan jenis pidana yang dijatuhkan tergantung pada karakter tindak pidana yang dilakukan.
Ketiga, harus dilakukan pembaharuan pemidanaan dengan merujuk pada pemidanaan di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Keempat,
pemidanaan harus sesuai dengan tujuan pemidanaan. Dalam
perkembangan lebih lanjut, pidana penjara berorientasi pada rehabilitasi
terpidana, daripada berorientasi pada pembalasan dan efek jera terhadap tindak
pidana yang dilakukan pelaku. Sehingga dengan adanya pidana penjara yang
singkat dalam pidana penjara pengganti denda sebagaimana diatur dalam Pasal 81
ayat (1) dan (2) huruf a KUHP Nasional, maka visi dan tujuan pemidanaan dalam
KUHP Nasional untuk mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat dengan
melakukan pembinaan agar terpidana menjadi orang yang baik dan berguna menjadi
tidak tercapai.
Selanjutnya agar visi keadilan rehabilitatif dan tujuan pemidanaan dalam KUHP Nasional dapat tercapai, maka pidana penjara pengganti denda dapat tidak dijatuhkan dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 70 ayat (1) KUHP Nasional kecuali apabila terjadi hal-hal yang mengecualikan ketentuan pasal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (2) KUHP Nasional yaitu tindak pidana diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, tindak pidana dengan ancaman minimum khusus, tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat, atau tindak pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Selain itu dapat hakim dalam menjatuhkan pidana pengganti denda juga dapat mempertimbangkan untuk menjatuhkan pidana pengawasan pengganti dengan masa pengawasan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana kerja sosial pengganti dengan masa pidana kerja sosial paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 240 (dua ratus empat puluh) jam sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) huruf b dan c KUHP Nasional.
Adapun dasar pemilihan pidana pengganti denda berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial tersebut adalah karena hakim dalam menjatuhkan pidana pengganti denda harus tetap memperhatikan ketentuan Pasla 51 KUHP Nasional tentang tujuan pemidanaan dan Pasal 54 ayat (1) KUHP Nasional tentang pedoman pemidanaan. Sehingga penjatuhan pidana lebih mendatangkan kemanfaatan hukum daripada pidana penjara pengganti dalam waktu yang singkap dimana dalam pidana kerja sosial terpidana dapat dipekerjakan untuk kepentingan umum sehingga tujuan pemidanaan yaitu menumbuhkan rasa penyesalan dari terpidana dapat tercapai.
Sedangkan dalam pidana pengawasan, terpidana
diwajibkan untuk memenuhi syarat umum berupa tidak melakukan tindak pidana
selama masa pengawasan dan syarat khusus berupa mengganti rugi akibat dari
tindak pidana dan pemenuhan kewajiban adat tertentu yang menurut penulis lebih
sesuai dengan visi KUHP Nasional yaitu keadilan rehabilitatif dan tujuan
pemidanaan yaitu untuk merehabiltasi
terpidana agar menjadi orang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat.
Kesimpulan
Dalam KUHP Nasional antinomi hukum terjadi antara visi KUHP
Nasional yaitu keadilan rehabilitatif yang bertujuan untuk memperbaiki
terpidana agar dapat diterima lagi ke dalam masyarakat dan tujuan pemidanaan
dalam KUHP Nasional yaitu untuk
merehabiltasi terpidana agar menjadi orang baik dan dapat diterima kembali
dalam masyarakat dengan pidana penjara pengganti denda yang singkat yaitu
paling lama hanya 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 ayat (2) huruf a KUHP Nasional. Sehingga untuk mengatasi permasalahan
tersebut, hakim dapat mengutamakan penjatuhan pidana pengganti denda berupa
pidana pengawasan pengganti dan pidana kerja sosial apabila terpidana tidak
membayar pidana denda yang telah dijatuhkan dengan mempertimbangkan ketentuan
Pasal 70 ayat (1) jis Pasal 51 dan 54 ayat (1) KUHP Nasional. (ldr)
Referensi
Eddy O.S. Hiariej, 2024, ”Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Penyesuaian
KUHP Nasional”, Rajawali Pers, Depok.
Zainal Arifin Mochtar dan Eddy
O.S. Hiariej, ”Dasar-Dasar Ilmu Hukum”, Red & White Publishing, Depok,
2021.
Zainal Arifin Mochtar, ”Antinomi
dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, Makassar, Hasanuddin Law
Review, 2015.
W. Friedman, ”Teori dan Filsafat
Hukum”, Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum (Susunan II), 1990.
Baca Juga: Quo Vadis Pasal 54 KUHP, Jawaban Atas Disparitas Putusan Pidana?
Muhammad Rafi, ”Abolisi Pidana
Kurungan dalam RKUHP: Pengaruh dan Akibatnya”, Reformasi KUHP, 16 November
2015.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI