Disparitas putusan pidana telah menjadi isu penting dalam perkembangan penegakan hukum pidana di Indonesia. Secara sederhana, disparitas putusan pidana diartikan sebagai penjatuhan sanksi pidana yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis dan memiliki pola kejahatan yang relatif sama.
Praktiknya, terhadap dua atau lebih perkara
dengan tingkat keseriusan dan pola perbuatan yang hampir serupa dapat berakhir
dengan vonis yang sangat jauh berbeda. Hal ini menimbulkan pertanyaan,
bagaimana pengaturan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
terhadap terdakwa?
Laporan
dari Indonesia Judicial Research Society
(IJRS) menunjukkan tingginya terjadi disparitas putusan. Pada 2022, terdapat disparitas
pemidanaan penjara pada perkara penyalahgunaan narkotika yang serupa sebesar
63.6%. Pada Tahun 2024, disparitas pemidanaan pada perkara tindak pidana
perkosaan tercatat sebesar 88% sedangkan dalam pencabulan sebanyak 80%.
Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Masalah
disparitas putusan pidana menjadi isu penting bukan hanya dalam kajian akademis
namun juga secara praktik peradilan. Perbedaan vonis yang timpang/ mencolok dalam
perkara sejenis dapat memicu persepsi negatif publik dan pembahasan mengenai
kualitas keadilan yang secara tidak langsung dapat mengikis kepercayaan publik
terhadap sistem peradilan pidana.
Sebelum
disahkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), Indonesia masih mengadopsi hukum pidana Belanda atau yang disebut
sebagai Wetboek Van Strafrecht (WvS) yang di dalamnya hanya mengatur
mengenai batas minimum dan maksimum pidana pada tiap-tiap pasal. Selebihnya,
keputusan mengenai berapa lama dijatuhkannya pidana sepenuhnya ditentukan oleh hakim.
KUHP yang disahkan beberapa waktu lalu telah dimanfaatkan sebagai momentum untuk menuntaskan permasalahan ini dengan menyisipkan satu pasal penting yaitu Pasal 54, yang secara eksplisit mengatur mengenai pedoman pemidanaan (sentencing guidelines).
Pedoman pemidanaan adalah panduan berisi ketentuan, kriteria
dan parameter yang dapat digunakan oleh hakim untuk membantu menentukan jenis
dan lamanya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa yang terbukti bersalah.
Pedoman pemidanaan juga bertujuan memberikan arah dan dasar pertimbangan bagi
hakim agar pemidanaan dilakukan secara proporsional sesuai dengan berat
ringannya tindak pidana sehingga selain memuat aspek kepastian juga memuat
aspek keadilan.
Pasal 54 KUHP menyebutkan bahwa dalam pemidanaan
wajib dipertimbangkan:
1.
Bentuk
kesalahan pelaku tindak pidana;
2.
Motif
dan tujuan melakukan tindak pidana;
3.
Sikap
batin pelaku tindak pidana;
4.
Tindak
pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan;
5.
Cara
melakukan tindak pidana;
6.
Sikap
dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana;
7.
Riwayat
hidup, keadaan sosial dan keadaan ekonomi pelaku tindak pidana;
8.
Pengaruh
pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana;
9.
Pengaruh
tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
10. Pemaafan dari korban dan/ atau keluarga korban; serta
11. Nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat;
Konsep ini sebelumnya telah diterapkan dalam sistem
hukum beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Begitu pula dengan
Belanda meskipun tidak diatur secara formal, negara tersebut memiliki Pedoman
Orientasi Pemidanaan yang merupakan hasil dari Landelijk Overleg Vakinhoud
Strafrecht (LOVS).
Indonesia sendiri sebenarnya telah menyusun
pengaturan serupa namun hanya terhadap tindak pidana korupsi yang disusun dan
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui PERMA Nomor 1 Tahun
2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang menerapkan metode matriks dan mengombinasikan tiga
hal yaitu tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan terdakwa yang dikategorikan
menjadi tiga tingkatan yaitu tinggi, sedang dan rendah.
Pedoman pemidanaan menggunakan metode matriks juga diadopsi oleh Amerika Serikat yang disebut Sentencing Table di mana dalam pemidanaan didasarkan dua faktor utama yaitu tingkat kejahatan (offense level) dan kategori riwayat criminal (criminal history category).
Laporan
atas implementasi pedoman pemidanaan di Amerika Serikat menyebutkan bahwa
penerapan pedoman pemidanaan telah secara efektif mereduksi terjadinya
disparitas putusan pidana meski pun masih terdapat beberapa catatan perbaikan
penting yang harus dibenahi.
Pedoman pemidanaan menjadi penting untuk memastikan
bahwa hukuman yang diberikan sungguh-sungguh mengandung unsur keadilan dan
proporsionalitas sehingga pedoman pemidanaan disusun dan diterapkan dengan
berlandas pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
- Keadilan,
memastikan bahwa pemidanaan mencerminkan keseimbangan antara kepentingan
korban, pelaku dan masyarakat;
- Proporsionalitas,
menjamin kesesuaian antara berat dan ringannya pemidanaan dengan tingkat
kesalahan dan dampak perbuatan;
- Kepastian,
memberikan acuan yang jelas sehingga dalam pemeriksaan perkara hakim memiliki
pedoman yang sama;
- Efektivitas,
memastikan pidana yang dijatuhkan mampu mencapai tujuan pemidanaan.
Tantangan
Penerapan Pedoman Pemidanaan (Sentencing Guidelines)
Memberikan pengaturan mengenai pedoman pemidanaan memang dianggap sebagai satu cara untuk menyelesaikan masalah mengenai disparitas pemidanaan namun meski begitu konsep ini bukan berarti tidak lepas dari kritikan dan tantangan yang mengintai dalam penerapannya nanti.
Pedoman pemidanaan secara tidak langsung dapat berdampak
pada kebebasan hakim dalam mengadili perkara. Oleh karena itu tantangan yang
dihadapi adalah bagaimana pedoman pemidanaan dalam pelaksanaannya tidak
menggerus kebebasan hakim dan tetap memberi ruang mempertimbangkan keunikan
tiap-tiap kasus?
Dalam
praktiknya, setidaknya ada 2 (dua) bentuk pemberlakuan pedoman pemidanaan yaitu
dalam bentuk advisory dan mandatory. Advisory berarti bahwa
pedoman pemidanaan hanya bersifat arahan dan kekuatannya tidak terlalu mengikat
hakim namun memiliki kelemahan di mana masih terbukanya kemungkinan terjadinya
disparitas pemidanaan, sebaliknya mandatory
mewajibkan hakim untuk menerapkan
pedoman pemidanaan tersebut namun memiliki kelemahan di mana membatasi hakim
dalam menggunakan kebebasannya apabila terdapat kasus yang memiliki kondisi
berbeda dengan kebanyakan kasus pada umumnya.
Dalam menjawab permasalahan tantangan tersebut di atas penulis setuju bahwa pemberlakuan pedoman pemidanaan sebaiknya membuka ruang alternatif, artinya bahwa pedoman pemidanaan tidak bersifat limitatif, kaku dan terlalu ketat sehingga hakim masih bisa mempertimbangkan hal lain selain dari pada yang telah diatur dalam Pasal 54, namun penerapannya juga harus bersifat mewajibkan dengan minimum pedoman yang harus hakim pertimbangkan, ini bertujuan agar pedoman pemidanaan tetap dapat secara efektif mengurangi disparitas putusan.
Pengaturan
ini penulis anggap sebagai jalan tengah sekaligus jalan keluar atas
permasalahan tantangan tersebut. Selain itu, penulis juga memberikan saran
bahwa terhadap Pasal 54 KUHP perlu diatur lebih lanjut secara teknis
sebagaimana PERMA Nomor 1 Tahun 2020 yang mencantumkan matriks sebagai pedoman
konkrit.
Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023
Pengaturan pedoman pemidanaan dalam Pasal 54 KUHP merupakan langkah strategis untuk mengatasi disparitas putusan pidana yang selama ini menjadi kelemahan WvS. Dengan memberikan kriteria pertimbangan yang jelas, pedoman ini diharapkan mampu menjamin keadilan, proporsionalitas, kepastian, dan efektivitas pemidanaan. Namun, penerapannya harus memperhatikan keseimbangan antara keseragaman putusan dan kebebasan hakim untuk menyesuaikan dengan karakteristik unik setiap perkara. Model penerapan yang bersifat wajib dengan opsi alternatif dinilai menjadi solusi tengah yang dapat meminimalkan disparitas sekaligus menjaga independensi hakim. (ikaw/ldr)
Referensi:
- Hiariej, Eddy O.S. dan Topo Santoso. (2025). Anotasi KUHP Nasional. Depok: Rajawali Pers
- Brown, H.B. (1992). Sentencing Guidelines Are Reducing Disparity. American Criminal Law Review, Vol. 29, Issue 3.
- Tak, Peter J.P. (1995). Sentencing in the Netherlands: Discretion and Disparity. Federal Sentencing Reporter, Vol. 7, No. 6.
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Indonesia Judicial Research Society. (2022). “Diseminasi Penelitian Disparitas dan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia Studi Perkara Tindak Pidana Narkotika Golongan 1 Tahun 2016 – 2020 (Pasal 111-116 dan Pasal 127 UU Narkotika 35 Tahun 2009)”. https://ijrs.or.id/2022/06/30/diseminasi-penelitian-disparitas-dan-penanganan-perkara-tindak-pidana-narkotika-di-indonesia-studi-perkara-tindak-pidana-narkotika-golongan-1-tahun-2016-2020-pasal-111-116-dan-pasal-127-uu-narkotik/ (diakses pada 13 Agustus 2025, 09.33 WITA).
- ______________. (2024). “Disparitas Pemidanaan: Menyoroti Konsistensi Putusan Pengadilan dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual” https://ijrs.or.id/2024/04/01/disparitas-pemidanaan-menyoroti-konsistensi-putusan-pengadilan-dalam-tindak-pidana-kekerasan-seksual/ (diakses pada 13 Agustus 2025. 09.40 WITA).
- U.S. Sentencing Commission. (2024). Federal Sentencing Guidelines Manual 2024. https://www.ussc.gov/guidelines/2024-guidelines-manual-annotated (diakses pada 13 Agustus 2025, 11.00 WITA)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI