Selama ini hakim menjatuhkan pemidanaan setelah
melakukan penerapan aturan hukum pidana ke dalam suatu peristiwa konkrit dan
menyatakan terdakwa terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana.
Pembaruan sistem hukum nasional (PSHN) khususnya
di bidang hukum pidana melalui pemberlakjukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP nasional) salah satu pembaharuan
yang tidak diatur dalam KUHP lama yaitu “pedoman pemidanaan” atau standard
of sentencing atau sentencing guidelines.
Dewasa ini masyarakat bertanya-tanya: pada
kasus-kasus pidana yang relatif serupa dan mempunyai isu hukum yang sama,
ternyata penjatuhan pidana oleh majelis hakim yang berbeda, bentuk dan lamanya
masa pemidanaannya bisa bervariasi.
Baca Juga: Quo Vadis Pasal 54 KUHP, Jawaban Atas Disparitas Putusan Pidana?
Mengapa bisa terjadi disparitas pemidanaan? pertimbangan-pertimbangan
apa yang dipakai? dan apakah ada rumus perhitungan lamanya masa pemidanaan? [1]
Ilmu pengetahuan dan rasa keadilan masyarakat menginginkan adanya pegangan bagi
hakim dalam mempertimbangkan, memilih serta menjatuhkan bentuk dan lamanya
pemidanaan. [2]
Pedoman pemidanaan membantu hakim merumuskan cara pemidanaan
Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso memberikan
anotasi bahwa pedoman pemidanaan adalah panduan atau kerangka acuan yang
digunakan hakim dalam menentukan hukuman yang akan diberikan kepada terdakwa
yang telah terbukti bersalah dalam suatu perkara pidana. [3] Pedoman pemidanaan
diatur dalam Pasal 54 ayat (1) KUHP Nasional.
Pasal ini mengatur pada pokoknya bahwa terhadap
tindak pidana yang terjadi wajib dipertimbangkan dalam putusan tentang apakah
bentuk kesalahan pelaku kejahatan; motif dan tujuan pelaku; sikap batin pelaku;
tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak; cara melakukan tindak
pidana; sikap batin pelaku; sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak
pidana; riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku; pengaruh
pidana terhadap masa depan pelaku; pengaruh tindak pidana terhadap korban atau
keluarga korban; pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban; dan/ atau
nilai hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat. Bagi terdakwa korporasi,
pedoman pemidanaannya diatur dalam Pasal 56 KUHP Nasional.
Dengan pengaturan pedoman pemidanaan di KUHP
nasional, maka rumus hakim dalam melakukan pemberian hukuman sudah berubah
menjadi: tindak pidana + pertanggung
jawaban pidana + pedoman pemidanaan = pemidanaan.
Pedoman pemidanaan memandu hakim menjatuhkan putusan tanpa
mengurangi independensi hakim
Di Amerika Serikat,
sejak 1987 Pemerintah Federal menerapkan ketentuan mengenai pedoman pemidanaan
untuk menyeragamkan putusan pengadilan federal terhadap kejahatan yang melanggar
ketentuan hukum federal (federal crimes) dalam kondisi yang serupa.
Pedoman pemidanaan dibuat dalam bentuk tabel pemidanaan dengan memperhatikan
dua faktor utama, yaitu tingkat keseriusan kejahatan (the severity of the
crime) dan catatan kejahatan yang pernah diputus (the criminal history
of the convicted).
Untuk faktor keseriusan kejahatan dibuat derajat atau level
kejahatan, semakin tinggi level kejahatan maka pidana yang dijatuhkan semakin
berat, sementara pada faktor catatan kejahatan yang pernah diputus dibuat tabel
berupa angka atau poin, semakin tinggi poin berarti semakin banyak catatan
kriminal terdakwa, maka diancam dengan pidana yang lebih berat.
Cara penggunaan tabel pemidanaan cukup gampang. Tingkat kejahatan
ditempatkan di kolom sebelah kiri (left), sementara catatan riwayat
kejahatan pelaku ditempatkan di kolom atas (top), hukuman yang harus
dijatuhkan didapatkan saat dua kolom kiri dan atas tersebut bertemu atau
bersilang pada tabel itu. Namun demikian, aturan ini tidak bersifat wajib (not
mandatory). [4] Di Indonesia,
terdapat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 yang memberikan
tahapan pedoman pemidanaan dalam perkara korupsi, mulai dari tahap penentuan
kategori keuangan atau perekonomian negara; tahap menentukan tingkat kesalahan,
dampak, dan kerugian; berlanjut ke tahap memilih rentang penjatuhan pidana;
lalu tahap menentukan hal-hal yang menguntungkan dan merugikan; selanjutnya
tahap menjatuhkan pidana; dan terakhir tahap mempertimbangkan aturan lain yang
berhubungan dengan pemidanaan,
Pedoman pemidanaan yang tidak memberikan skala
atau rentang masa pemidanaan apabila syarat-syarat pemidanaan terpenuhi pada
perbuatan dan diri terdakwa menandakan pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional
masih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pemidanaan sesuai
dengan batas pemidanaan yang ditentukan dalam undang-undang.
Kebebasan hakim sendiri bukannya tanpa batas
tetapi harus sesuai dengan kaidah dan koridor undang-undang. Hukum pidana
memberikan parameter yang lebih ketat karena sifatnya sebagai hukum publik dan
menyesuaikan dengan kebijakan politik hukum negara yang tidak lagi mengenal
tujuan hukum sebagai sarana pembalasan (teori retributif) serta mencegah hakim
bertindak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pemidanaan.
Putusan pemidanaan
yang mempedomani pedoman pemidanaan akan membuat kepastian hukum pidana bisa
diprediksi oleh pihak yang berkepentingan. Bagi pihak korban, pemenuhan pedoman
pemidanaan akan memberikan keadilan bagi korban apalagi kalau terdakwa mau memulihkan
kerugian pada korban yang bermuara pada adanya pemaafan dari korban atau
keluarga korban, sehingga menghadirkan keadilan restoratif (restorative
justice).
Kemanfaatan bisa dilihat dari Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional yang
memperkenalkan lembaga pemaafan hakim (rechterlijke pardon) apabila
terdakwa memenuhi syarat-syarat pertimbangan pedoman pemidanaan di pasal
tersebut. Dengan demikian, diharapkan hukum yang berkeadilan, hukum yang
berkepastian, dan hukum yang bermanfaat bisa terwujud. [5]
Penutup
Pedoman pemidanaan
diharapkan memberikan panduan bagi hakim dalam mempertimbangkan putusan dan
menjatuhkan pemidanaan dengan lebih baik dan lebih bertanggung jawab dengan
memperhatikan nilai keadilan yang hidup pada masyarakat Indonesia sehingga
mampu meningkatkan kepercayaan publik.
Kepatuhan hakim akan pedoman pemidanaan merupakan syarat mutlak untuk mencapai tujuan hukum pidana dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara independensi hakim dan penegakan hukum yang tegas serta nilai keadilan yang humanis. (ldr)
Baca Juga: Hukum, Hakim dan Kemanusiaan: Membaca Paradigma Baru Pemidanaan
Daftar Pustaka
[1] |
FC Susila Adiyanta dan CS Widyastuti, "Hukum dan Proses
Pengambilan Putusan oleh Hakim: Menelusuri Khasanah Diskursus tentang
Teori-Teori Adjudikasi (Theories of Adjudication)," Administrative
Law and Governance Journal, vol. 4, no. 2, hal. 253, 2021. DOI:
https://doi.org/10.14710/alj.v4i2.252%20-%20264. |
[2] |
Noveria Dewi Irmawanti dan Barda Nawawi Arief, "Urgensi
Tujuan dan Pedoman Pemidanaan Dalam Rangka Sistem Pemidanaan Hukum
Pidana," Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 3, no. 2, hal.
223, 2021. DOI: https://doi.org/10.14710/jphi.v3i2.217-227. |
[3] |
Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, Anotasi KUHP Nasional,
Depok: Rajawali Pers, 2025. |
[4] |
Adam Lee Nemann, "Federal Sentencing Guidelines &
Chart," https://www.nemannlawoffices.com/library/federal-sentencing-guidelines-chart.cfm.
Diakses pada 29 April 2025. |
[5] |
Heather Leawoods, "Gustav Radbruch: An Extraordinary Legal
Philosopher," Washington University Journal of Law & Policy, vol.
2, no. 1, hal. 493, 2000.
https://openscholarship.wustl.edu/law_journal_law_policy/vol2/iss1/16. |
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI