Cari Berita

Pedoman Pemidanaan, Ikhtiar Penegakan Hukum Pidana Berkeadilan dan Humanis

Dewantoro Wakil Ketua PN Nunukan. - Dandapala Contributor 2025-09-17 13:05:12
Dok. Penulis.

Selama ini hakim menjatuhkan pemidanaan setelah melakukan penerapan aturan hukum pidana ke dalam suatu peristiwa konkrit dan menyatakan terdakwa terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.

Pembaruan sistem hukum nasional (PSHN) khususnya di bidang hukum pidana melalui pemberlakjukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP nasional) salah satu pembaharuan yang tidak diatur dalam KUHP lama yaitu “pedoman pemidanaan” atau standard of sentencing atau sentencing guidelines.

Dewasa ini masyarakat bertanya-tanya: pada kasus-kasus pidana yang relatif serupa dan mempunyai isu hukum yang sama, ternyata penjatuhan pidana oleh majelis hakim yang berbeda, bentuk dan lamanya masa pemidanaannya bisa bervariasi.

Baca Juga: Quo Vadis Pasal 54 KUHP, Jawaban Atas Disparitas Putusan Pidana?

Mengapa bisa terjadi disparitas pemidanaan? pertimbangan-pertimbangan apa yang dipakai? dan apakah ada rumus perhitungan lamanya masa pemidanaan? [1] Ilmu pengetahuan dan rasa keadilan masyarakat menginginkan adanya pegangan bagi hakim dalam mempertimbangkan, memilih serta menjatuhkan bentuk dan lamanya pemidanaan. [2]

Pedoman pemidanaan membantu hakim merumuskan cara pemidanaan

Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso memberikan anotasi bahwa pedoman pemidanaan adalah panduan atau kerangka acuan yang digunakan hakim dalam menentukan hukuman yang akan diberikan kepada terdakwa yang telah terbukti bersalah dalam suatu perkara pidana. [3] Pedoman pemidanaan diatur dalam Pasal 54 ayat (1) KUHP Nasional.

Pasal ini mengatur pada pokoknya bahwa terhadap tindak pidana yang terjadi wajib dipertimbangkan dalam putusan tentang apakah bentuk kesalahan pelaku kejahatan; motif dan tujuan pelaku; sikap batin pelaku; tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak; cara melakukan tindak pidana; sikap batin pelaku; sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana; riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku; pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku; pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;  pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban; dan/ atau nilai hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat. Bagi terdakwa korporasi, pedoman pemidanaannya diatur dalam Pasal 56 KUHP Nasional.

Dengan pengaturan pedoman pemidanaan di KUHP nasional, maka rumus hakim dalam melakukan pemberian hukuman sudah berubah menjadi: tindak pidana + pertanggung jawaban pidana + pedoman pemidanaan = pemidanaan.

Pedoman pemidanaan memandu hakim menjatuhkan putusan tanpa mengurangi independensi hakim

Di Amerika Serikat, sejak 1987 Pemerintah Federal menerapkan ketentuan mengenai pedoman pemidanaan untuk menyeragamkan putusan pengadilan federal terhadap kejahatan yang melanggar ketentuan hukum federal (federal crimes) dalam kondisi yang serupa. Pedoman pemidanaan dibuat dalam bentuk tabel pemidanaan dengan memperhatikan dua faktor utama, yaitu tingkat keseriusan kejahatan (the severity of the crime) dan catatan kejahatan yang pernah diputus (the criminal history of the convicted). 

Untuk faktor keseriusan kejahatan dibuat derajat atau level kejahatan, semakin tinggi level kejahatan maka pidana yang dijatuhkan semakin berat, sementara pada faktor catatan kejahatan yang pernah diputus dibuat tabel berupa angka atau poin, semakin tinggi poin berarti semakin banyak catatan kriminal terdakwa, maka diancam dengan pidana yang lebih berat.

Cara penggunaan tabel pemidanaan cukup gampang. Tingkat kejahatan ditempatkan di kolom sebelah kiri (left), sementara catatan riwayat kejahatan pelaku ditempatkan di kolom atas (top), hukuman yang harus dijatuhkan didapatkan saat dua kolom kiri dan atas tersebut bertemu atau bersilang pada tabel itu. Namun demikian, aturan ini tidak bersifat wajib (not mandatory). [4]   Di Indonesia, terdapat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 yang memberikan tahapan pedoman pemidanaan dalam perkara korupsi, mulai dari tahap penentuan kategori keuangan atau perekonomian negara; tahap menentukan tingkat kesalahan, dampak, dan kerugian; berlanjut ke tahap memilih rentang penjatuhan pidana; lalu tahap menentukan hal-hal yang menguntungkan dan merugikan; selanjutnya tahap menjatuhkan pidana; dan terakhir tahap mempertimbangkan aturan lain yang berhubungan dengan pemidanaan,

Pedoman pemidanaan yang tidak memberikan skala atau rentang masa pemidanaan apabila syarat-syarat pemidanaan terpenuhi pada perbuatan dan diri terdakwa menandakan pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional masih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pemidanaan sesuai dengan batas pemidanaan yang ditentukan dalam undang-undang.

Kebebasan hakim sendiri bukannya tanpa batas tetapi harus sesuai dengan kaidah dan koridor undang-undang. Hukum pidana memberikan parameter yang lebih ketat karena sifatnya sebagai hukum publik dan menyesuaikan dengan kebijakan politik hukum negara yang tidak lagi mengenal tujuan hukum sebagai sarana pembalasan (teori retributif) serta mencegah hakim bertindak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pemidanaan.

Putusan pemidanaan yang mempedomani pedoman pemidanaan akan membuat kepastian hukum pidana bisa diprediksi oleh pihak yang berkepentingan. Bagi pihak korban, pemenuhan pedoman pemidanaan akan memberikan keadilan bagi korban apalagi kalau terdakwa mau memulihkan kerugian pada korban yang bermuara pada adanya pemaafan dari korban atau keluarga korban, sehingga menghadirkan keadilan restoratif (restorative justice).

Kemanfaatan bisa dilihat dari Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional yang memperkenalkan lembaga pemaafan hakim (rechterlijke pardon) apabila terdakwa memenuhi syarat-syarat pertimbangan pedoman pemidanaan di pasal tersebut. Dengan demikian, diharapkan hukum yang berkeadilan, hukum yang berkepastian, dan hukum yang bermanfaat bisa terwujud. [5]

Penutup

Pedoman pemidanaan diharapkan memberikan panduan bagi hakim dalam mempertimbangkan putusan dan menjatuhkan pemidanaan dengan lebih baik dan lebih bertanggung jawab dengan memperhatikan nilai keadilan yang hidup pada masyarakat Indonesia sehingga mampu meningkatkan kepercayaan publik.

Kepatuhan hakim akan pedoman pemidanaan merupakan syarat mutlak untuk mencapai tujuan hukum pidana dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara independensi hakim dan penegakan hukum yang tegas serta nilai keadilan yang humanis. (ldr)       

Baca Juga: Hukum, Hakim dan Kemanusiaan: Membaca Paradigma Baru Pemidanaan

Daftar Pustaka

[1] 

FC Susila Adiyanta dan CS Widyastuti, "Hukum dan Proses Pengambilan Putusan oleh Hakim: Menelusuri Khasanah Diskursus tentang Teori-Teori Adjudikasi (Theories of Adjudication)," Administrative Law and Governance Journal, vol. 4, no. 2, hal. 253, 2021. DOI: https://doi.org/10.14710/alj.v4i2.252%20-%20264.

[2] 

Noveria Dewi Irmawanti dan Barda Nawawi Arief, "Urgensi Tujuan dan Pedoman Pemidanaan Dalam Rangka Sistem Pemidanaan Hukum Pidana," Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 3, no. 2, hal. 223, 2021. DOI: https://doi.org/10.14710/jphi.v3i2.217-227.

[3] 

Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, Anotasi KUHP Nasional, Depok: Rajawali Pers, 2025. 

[4] 

Adam Lee Nemann, "Federal Sentencing Guidelines & Chart," https://www.nemannlawoffices.com/library/federal-sentencing-guidelines-chart.cfm. Diakses pada 29 April 2025.

[5] 

Heather Leawoods, "Gustav Radbruch: An Extraordinary Legal Philosopher," Washington University Journal of Law & Policy, vol. 2, no. 1, hal. 493, 2000. https://openscholarship.wustl.edu/law_journal_law_policy/vol2/iss1/16.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI