Cari Berita

Pergeseran Paradigma Komulasi Perceraian dan Harta Bersama dalam Yurisprudensi

Marzha Tweedo Dikky - Dandapala Contributor 2025-09-22 08:05:18
Dok. Penulis.

Bagi sebagian besar masyarakat, perceraian sering kali dianggap sebagai satu kesatuan utuh dengan pembagian harta bersama. Keduanya adalah dua sisi dari koin yang sama yakni putusnya ikatan perkawinan dan penyelesaian aset yang telah dibangun bersama. Namun dalam praktik hukum, penggabungan kedua perkara ini pernah menjadi isu yang kompleks dan penuh perdebatan.

Sebuah tinjauan mendalam terhadap perkembangan yurisprudensi dan perubahan regulasi mengungkapkan sebuah pergeseran paradigma yang fundamental yang kini membuka peluang penyelesaian sengketa harta bersama bersamaan dengan gugatan perceraian.

Pada dasarnya, praktik penggabungan gugatan atau yang dikenal sebagai komulasi gugatan telah lama diakui dalam sistem peradilan. Mahkamah Agung RI melalui Putusan No. 1975 K/Pdt/1984, No. 575 /Pdt/1983, No. 2157/K/Pdt/2012, dan No. 571 PK/Pdt/2008 telah menegaskan bahwa komulasi gugatan diperbolehkan selama ada hubungan kepentingan hukum antara subjek dan objek perkaranya.

Baca Juga: Mencermati Nebis In Idem dalam Perkara Perceraian

Ini adalah prinsip umum yang memberikan fleksibilitas bagi para pihak untuk menyelesaikan beberapa masalah hukum dalam satu proses. Namun prinsip ini menghadapi pengecualian yang kuat, terutama dalam konteks perkawinan.

Dulu, penggabungan gugatan perceraian dengan harta bersama dianggap sebagai hal yang tabu. Larangan ini bahkan dikukuhkan oleh sebuah putusan monumental melalui Putusan Mahkamah Agung RI No. 2205 K/Pdt/1981. Putusan ini menjadi yurisprudensi yang dipegang teguh oleh peradilan umum dengan berpendapat bahwa gugatan harta bersama baru bisa diajukan setelah putusan cerai memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).

Inti pertimbangan hukum dalam putusan tersebut logis, yakni tidak mungkin harta bersama dapat dipisahkan jika perkawinannya belum putus dalam keadaan hukum yang tetap. Akibatnya setiap gugatan yang menggabungkan keduanya akan dinyatakan tidak dapat diterima.

Paradigma ini bukanlah tanpa alasan. Akar sudut pandang ini dapat ditelusuri dalam sistem hukum lama yang memandang perkawinan sebagai sebuah kesatuan yang sakral dan abadi, termasuk dalam hal harta bersama. Pasal 119 Burgerlijk Wetboek misalnya, mengatur bahwa harta bersama tidak dapat diubah statusnya selama perkawinan berlangsung.

Satu-satunya jalan untuk memisahkannya adalah melalui perceraian atau pisah meja dan ranjang. Konsep ini merupakan instrumen hukum yang meski jarang digunakan, masih diakui keberadaannya. Konsep “keabadian persatuan harta bersama” ini tetap dipertahankan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak membuka peluang pemisahan harta bersama selama masa perkawinan.

Namun di tengah pandangan ini, muncul sebuah instrumen hukum yang mengubah sudut pandang fundamental. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 699/PUU-XIII/2015 menjadi titik balik yang signifikan. Putusan ini membuka pintu bagi pasangan untuk membuat perjanjian kawin yang dapat mengubah status harta bersama selama masa perkawinan. Ini adalah langkah maju yang secara efektif menghapus konsep "keabadian harta bersama" dan pada akhirnya memungkinkan para pihak untuk mengatur aset mereka kapan pun diperlukan.

Implikasi logis dari putusan ini sangat besar, jika pasangan bisa memisahkan harta bersama melalui kesepakatan saat masih terikat perkawinan, lantas mengapa mereka tidak bisa menyelesaikannya melalui jalur gugatan ketika kesepakatan itu tidak tercapai walau masih dalam ikatan perkawinan?

Inilah yang menjadi inti dari pergeseran paradigma tersebut. Jika dulu sengketa harta bersama hanya bisa diselesaikan setelah melalui perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap, kini ada tiga skenario yang memungkinkan:

  1. Jika ada kesepakatan, pasangan bisa membuat perjanjian untuk memisahkan harta.
  2. Jika tidak ada kesepakatan mengenai pemisahan harta bersama namun tidak ingin bercerai, instrumen pisah meja dan ranjang dapat digunakan.
  3. Jika tidak ada kesepakatan mengenai pemisahan harta bersama dan tidak ingin menggunakan instrumen pisah meja dan ranjang, maka dapat melalui gugatan harta bersama tanpa melalui proses perceraian.

Keadaan ketiga inilah yang menjadi tonggak perubahan. Sengketa harta bersama kini dapat dilihat sebagai materi yang berdiri sendiri, terlepas dari terikat atau putusnya perkawinan. Akibatnya secara fundamental gugatan harta bersama bukan lagi subjek yang prematur terhadap putusnya perceraian, melainkan sebuah sengketa perdata yang sah dan dapat diajukan kapan saja sehingga dapat digabungkan pula bersamaan dengan gugatan perceraian.

Argumen ini diperkuat oleh praktik yang sudah lama berjalan, di mana hak asuh anak sering digabungkan dalam gugatan perceraian tanpa pernah dinyatakan tidak dapat diterima. Jika hak asuh anak yang secara substansi berbeda dari perceraian dapat digabungkan, maka seharusnya gugatan harta bersama pun tidak memiliki tembok praktik untuk digabungkan karena keduanya adalah materi yang berdiri sendiri dan tidak serta-merta muncul karena perceraian.

Dengan konteks tersebut, Putusan Mahkamah Agung RI No. 2205 K/Pdt/1981 menghadapi tantangan untuk dipertahankan sebagai yurisprudensi karena perubahan konteks hukum yang dahulu telah dipertimbangkannya. Konstruksi hukum yang dibahas dalam putusan tersebut, saat ini telah berubah sehingga materi pembahasannya perlu dipertimbangkan ulang dengan dasar pada konstruksi hukum yang baru.

Peradilan pada satu sisi harus mengedepankan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Lebih lanjut, praktik peradilan agama telah mengakomodir penggabungan gugatan harta bersama dan perceraian yang memang terjadi karena adanya dasar hukum terpisah yang jelas.

Namun hal ini menjadi pertanyaan diskriminatif dalam pembahasan hukum keluarga, apakah hanya karena berbeda agama, para pasangan cerai di peradilan umum harus menempuh dua kali persidangan untuk mendapatkan keadilan?

Pada akhirnya pergeseran ini bukan sekadar tentang prosedur hukum, tetapi juga tentang bagaimana yurisprudensi diterapkan bukan semata-mata berdasarkan kaidah hukum yang digariskan melainkan juga melihat konteks hukumnya.

Baca Juga: Izin Cerai dari Atasan Bagi PNS, Apakah Mutlak?

Sudut pandang terkini telah menunjukkan bahwa sengketa harta bersama bukan lagi sekadar “akibat hukum” dari perceraian, tetapi sebuah sengketa keperdataan yang memiliki dasar dan urgensinya sendiri. Kebolehan untuk menggabungkan gugatan cerai dan harta bersama adalah cerminan dari kematangan sistem hukum keluarga yang perlu terus beradaptasi untuk memberikan keadilan yang lebih efisien dan efektif bagi masyarakat.

Termasuk pengakuan bahwa setiap sengketa pada hakikatnya berhak diselesaikan tanpa hambatan. Pada akhirnya tulisan ini perlu ditutup dengan kenyataan kesimpulan praktik dilematis tentang adanya suatu perbedaan perlakuan hukum yang didasarkan pada agama tanpa relevansi pembahasan materi agamanya. (ypy/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI