Cari Berita

Catatan Sejarah Hukum: Pengadilan Perceraian di Kesultanan Banten

Anandy Satrio P - Dandapala Contributor 2025-09-30 07:15:45
Dok. idsejarah.

Kesultanan Banten, berdiri pada abad ke-16 dan runtuh pada awal abad ke-19. Selain dikenal sebagai pusat perdagangan maritim dan penyebaran Islam di Nusantara, juga sebagai salah satu kerajaan paling maju dalam sistem hukumnya.

Salah satu pencapaian hukum yang luar biasa dan jarang ditemukan di kerajaan lain di Nusantara pada masa itu adalah adanya pengadilan perceraian yang terorganisir secara resmi — sebuah lembaga yang menjadi cikal bakal pengadilan agama modern di Indonesia.

Pengadilan perceraian di Banten bukanlah institusi sementara atau darurat, melainkan lembaga permanen yang berada di bawah naungan Qadi (hakim syariah) yang diangkat langsung oleh sultan.

Baca Juga: Mencermati Nebis In Idem dalam Perkara Perceraian

Lembaga ini menangani kasus-kasus keluarga, termasuk talak, nafkah, hibah, waris, dan perceraian atas dasar hukum Islam yang dikodifikasikan dengan rinci. Kasus-kasus ini dicatat secara tertulis dalam buku register resmi, yang kini menjadi arsip penting bagi sejarawan hukum.

Kesultanan Banten adalah satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki catatan resmi tentang pengadilan  termasuk urusan perceraian.” ucap Ayang Utriza Yakin, peneliti posdoktoral di Institut de Recherche, Religions, Spiritualités, Cultures, Sociétés (RSCS), Université Catholique de Louvain (UCLouvain), Belgia, saat diskusi di Perpustakaan Nasional lantai 8, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (28/12).

Pencatatan ini tidak sekadar formalitas administratif, melainkan bagian integral dari sistem peradilan syariah yang dikembangkan oleh para ulama dan penguasa Banten sejak masa Sultan Maulana Hasanuddin (1552–1570) hingga masa puncaknya di bawah Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683).

Artikel Historia.id (2021) menjelaskan “Banten memiliki catatan kasus hukum yang sangat lengkap, termasuk dokumen perceraian yang menyertakan nama kedua belah pihak, alasan perceraian, kesaksian saksi, putusan hakim, dan tanda tangan resmi,” yang menunjukkan bahwa sistem hukum Banten telah mengadopsi prinsip-prinsip legalistik yang sangat modern pada zamannya.

Beberapa kasus tercatat menunjukkan perceraian diajukan oleh istri atas dasar ketidakmampuan suami memberi nafkah, kekerasan rumah tangga, atau ketidaksesuaian karakter. Bahkan ditemukan istri yang mengajukan gugatan cerai karena suami tidak mampu memenuhi kewajiban seksual atau sering meninggalkan rumah tanpa izin. Hakim kemudian memanggil saksi, mendengarkan keterangan kedua belah pihak, dan mengeluarkan putusan berdasarkan fiqih mazhab Syafi’i yang dipraktikkan di Banten.

Salah satu kasus terkenal yang pernah tercatat adalah perceraian antara seorang pedagang asing berasal dari Arab dengan istrinya, wanita asli Banten. Kasusnya menarik karena melibatkan unsur hukum lintas budaya: si suami ingin bercerai karena istrinya menolak pindah ke Mekah, sedangkan istri menuntut nafkah selama masa iddah dan hak atas harta bersama. Putusan hakim memihak pada istri, dengan alasan bahwa ikatan perkawinan harus dihormati dan tidak boleh diputus sembarangan demi kepentingan pribadi suami.

Konteks Sosial dan Politik

Keberadaan pengadilan perceraian tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik Banten yang majemuk. Sebagai pelabuhan internasional, Banten menjadi tempat persinggahan pedagang dari Arab, India, Cina, dan Eropa. Perkawinan campuran antara warga lokal dengan orang asing cukup umum terjadi. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem hukum yang adil, transparan, dan dapat diterima oleh semua pihak — baik Muslim maupun non-Muslim yang tinggal di wilayah Banten.

Sultan Ageng Tirtayasa, yang dikenal sebagai raja yang sangat peduli pada keadilan sosial, bahkan menetapkan bahwa setiap kasus perceraian harus didokumentasikan dan disimpan di Arsip Keraton. Arsip ini tidak hanya menjadi bukti hukum, tetapi juga alat kontrol sosial: mencegah penyalahgunaan hak talak, melindungi hak-hak perempuan, dan menjaga stabilitas keluarga sebagai unit dasar masyarakat.

Warisan Hukum yang Terlupakan

Sayangnya, setelah kolonialisasi, Belanda mengambil alih Banten pada awal abad ke-19, banyak arsip hukum kerajaan ini rusak, hilang, atau diabaikan. Namun, sejumlah naskah kuno yang terselamatkan — seperti Kitab Undang-Undang Banten dan catatan harian Qadi tahun 1670-an — masih menyimpan jejak sistem hukum yang sangat canggih.

Fakta bahwa Banten memiliki pengadilan perceraian yang terdokumentasi jauh lebih awal daripada pengadilan agama yang dibentuk Belanda di era kolonial (abad ke-19) membuatnya layak diakui sebagai pelopor sistem peradilan agama di Indonesia. Bahkan, ketika pengadilan agama resmi dibentuk oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1882, mereka justru meniru struktur dan prosedur yang sudah ada di Banten ratusan tahun sebelumnya.

Penutup: Relevansi Sejarah untuk Hari Ini

Catatan sejarah hukum tentang pengadilan perceraian di Kesultanan Banten bukan sekadar kenangan masa lalu. Ia membuktikan bahwa masyarakat Islam Nusantara, khususnya di Banten, telah mengembangkan sistem hukum yang demokratis, berkeadilan gender, dan berbasis dokumentasi — sangat menginspirasi sistem peradilan agama saat ini, dalam menghadapi tantangan di sistem hukum modern. (snr, ldr)

Baca Juga: Izin Cerai dari Atasan Bagi PNS, Apakah Mutlak?

 

Referensi

  1. https://www.nu.or.id/nasional/kesultanan-banten-satu-satunya-kerajaan-yang-punya-catatan-pengadilan-agama-isSql.
  2. https://idsejarah.net/2018/04/kesultanan-banten.html.
  3. https://www.historia.id/article/catatan-kasus-hukum-di-kesultanan-banten

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI