Kesultanan Banten, berdiri pada abad ke-16 dan runtuh pada awal abad ke-19. Selain dikenal sebagai pusat perdagangan maritim dan penyebaran Islam di Nusantara, juga sebagai salah satu kerajaan paling maju dalam sistem hukumnya.
Salah satu pencapaian hukum yang luar biasa dan jarang
ditemukan di kerajaan lain di Nusantara pada masa itu adalah adanya pengadilan
perceraian yang terorganisir secara resmi — sebuah lembaga yang menjadi cikal
bakal pengadilan agama modern di Indonesia.
Pengadilan perceraian di Banten bukanlah institusi sementara atau darurat, melainkan lembaga permanen yang berada di bawah naungan Qadi (hakim syariah) yang diangkat langsung oleh sultan.
Baca Juga: Mencermati Nebis In Idem dalam Perkara Perceraian
Lembaga ini
menangani kasus-kasus keluarga, termasuk talak, nafkah, hibah, waris, dan perceraian
atas dasar hukum Islam yang dikodifikasikan dengan rinci. Kasus-kasus ini
dicatat secara tertulis dalam buku register resmi, yang kini menjadi
arsip penting bagi sejarawan hukum.
“Kesultanan
Banten adalah satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki catatan resmi
tentang pengadilan termasuk urusan
perceraian.” ucap Ayang Utriza Yakin, peneliti
posdoktoral di Institut de Recherche, Religions, Spiritualités, Cultures,
Sociétés (RSCS), Université Catholique de Louvain (UCLouvain), Belgia, saat
diskusi di Perpustakaan Nasional lantai 8, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta
Pusat, Jumat (28/12).
Pencatatan ini tidak sekadar formalitas administratif,
melainkan bagian integral dari sistem peradilan syariah yang dikembangkan oleh
para ulama dan penguasa Banten sejak masa Sultan Maulana Hasanuddin (1552–1570)
hingga masa puncaknya di bawah Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683).
Artikel Historia.id (2021) menjelaskan “Banten
memiliki catatan kasus hukum yang sangat lengkap, termasuk dokumen perceraian
yang menyertakan nama kedua belah pihak, alasan perceraian, kesaksian saksi,
putusan hakim, dan tanda tangan resmi,” yang menunjukkan bahwa sistem hukum
Banten telah mengadopsi prinsip-prinsip legalistik yang sangat modern pada
zamannya.
Beberapa kasus tercatat menunjukkan perceraian
diajukan oleh istri atas dasar ketidakmampuan suami memberi nafkah, kekerasan
rumah tangga, atau ketidaksesuaian karakter. Bahkan ditemukan istri yang
mengajukan gugatan cerai karena suami tidak mampu memenuhi kewajiban seksual
atau sering meninggalkan rumah tanpa izin. Hakim kemudian memanggil saksi,
mendengarkan keterangan kedua belah pihak, dan mengeluarkan putusan berdasarkan
fiqih mazhab Syafi’i yang dipraktikkan di Banten.
Salah satu kasus terkenal yang pernah tercatat adalah
perceraian antara seorang pedagang asing berasal dari Arab dengan istrinya,
wanita asli Banten. Kasusnya menarik karena melibatkan unsur hukum lintas
budaya: si suami ingin bercerai karena istrinya menolak pindah ke Mekah,
sedangkan istri menuntut nafkah selama masa iddah dan hak atas harta bersama.
Putusan hakim memihak pada istri, dengan alasan bahwa ikatan perkawinan harus
dihormati dan tidak boleh diputus sembarangan demi kepentingan pribadi suami.
Konteks Sosial dan Politik
Keberadaan pengadilan perceraian tidak bisa dilepaskan
dari konteks sosial-politik Banten yang majemuk. Sebagai pelabuhan
internasional, Banten menjadi tempat persinggahan pedagang dari Arab, India,
Cina, dan Eropa. Perkawinan campuran antara warga lokal dengan orang asing
cukup umum terjadi. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem hukum yang adil,
transparan, dan dapat diterima oleh semua pihak — baik Muslim maupun non-Muslim
yang tinggal di wilayah Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa, yang dikenal sebagai raja yang
sangat peduli pada keadilan sosial, bahkan menetapkan bahwa setiap kasus
perceraian harus didokumentasikan dan disimpan di Arsip Keraton. Arsip
ini tidak hanya menjadi bukti hukum, tetapi juga alat kontrol sosial: mencegah
penyalahgunaan hak talak, melindungi hak-hak perempuan, dan menjaga stabilitas
keluarga sebagai unit dasar masyarakat.
Warisan Hukum yang Terlupakan
Sayangnya, setelah kolonialisasi, Belanda mengambil
alih Banten pada awal abad ke-19, banyak arsip hukum kerajaan ini rusak,
hilang, atau diabaikan. Namun, sejumlah naskah kuno yang terselamatkan —
seperti Kitab Undang-Undang Banten dan catatan harian Qadi tahun 1670-an
— masih menyimpan jejak sistem hukum yang sangat canggih.
Fakta bahwa Banten memiliki pengadilan perceraian yang
terdokumentasi jauh lebih awal daripada pengadilan agama yang dibentuk Belanda
di era kolonial (abad ke-19) membuatnya layak diakui sebagai pelopor sistem
peradilan agama di Indonesia. Bahkan, ketika pengadilan agama resmi dibentuk
oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1882, mereka justru meniru struktur
dan prosedur yang sudah ada di Banten ratusan tahun sebelumnya.
Penutup: Relevansi Sejarah untuk Hari Ini
Catatan sejarah hukum tentang pengadilan perceraian di Kesultanan Banten bukan sekadar kenangan masa lalu. Ia membuktikan bahwa masyarakat Islam Nusantara, khususnya di Banten, telah mengembangkan sistem hukum yang demokratis, berkeadilan gender, dan berbasis dokumentasi — sangat menginspirasi sistem peradilan agama saat ini, dalam menghadapi tantangan di sistem hukum modern. (snr, ldr)
Baca Juga: Izin Cerai dari Atasan Bagi PNS, Apakah Mutlak?
Referensi
- https://www.nu.or.id/nasional/kesultanan-banten-satu-satunya-kerajaan-yang-punya-catatan-pengadilan-agama-isSql.
- https://idsejarah.net/2018/04/kesultanan-banten.html.
- https://www.historia.id/article/catatan-kasus-hukum-di-kesultanan-banten.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI