Cari Berita

Memaknai Asas Lex Favor Reo dalam KUHP Nasional dan Implikasinya Terhadap Delik Korupsi

Ibnu Abas Ali -Hakim Ad Hoc Tipikor pada PN Surabaya - Dandapala Contributor 2025-12-10 15:10:02
Dok. Penulis.

Berlakunya KUHP Nasional pada tanggal 2 Januari 2026 menghadirkan sebuah momentum penting bagi dunia hukum Indonesia. Hal ini menandai langkah strategis yang tidak hanya berkaitan langsung dengan upaya perlindungan hukum bagi warga Negara yang merupakan pengejahwantahan dari prinsip keseimbangan dalam KUHP Nasional yaitu keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan individu, akan tetapi juga keseimbangan antara perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana.

Dalam konteks ini, signifikansi kehadiran Negara tidak hanya terletak pada aspek legal-formal akan tetapi juga pada dimensi yang lebih luas demi terselenggaranya perlindungan hak asasi manusia warga Negara baik yang bertatus sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana.

Pada titik ini, maka perubahan dari KUHP lama (WvS) menjadi KUHP Nasional secara filosofis tidak hanya bersinggungan dengan bergesernya paradigma aliran klasik menjadi neo-klasik, akan tetapi secara praktis akan bersinggungan langsung dengan larangan berlaku surutnya ketentuan pidana (non-retroactive principle), yang menjadi bagian dari prinsip asas legalitas.

Baca Juga: Lex Favor Reo, Tantangan Awal Hakim dalam Menerapkan KUHP Baru

Tentu, transisi aturan pidana ini dalam konteks hukum pidana telah diatur secara normatif baik dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP lama (WvS) dan Pasal 3 KUHP Nasional yang berbasis pada asas lex favor reo yaitu jika terjadi perubahan perundang-undangan diterapkan aturan yang meringankan bagi yang terdampak.

Pasal 1 ayat (2) WvS Belanda secara tegas menyatakan “Bij veradering in de wetgeving na et tijdstip waarop het feit began is, woorden de voor den verdachte gunstigste bepalingen toegepast”. Selanjutnya, apabila mengacu pada KUHP lama terjemahan R. Soesilo, Pasal 1 ayat (2) disebutkan “jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.

Sementara itu, terjemahan BPHN (2010), menyatakan “bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya” (cetak tebal penulis).

Terlepas dari terjemahan dimaksud, kemudian dalam KUHP Nasional merumuskan secara terperinci yang pada pokoknya menyatakan secara tegas bahwa “Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu Tindak Pidana (Pasal 3 ayat (1) KUHP Nasional).

Lebih jauh, konstruksi norma Pasal 3 KUHP Nasional juga mengatur transisi terkait perbuatan tersangka atau Terdakwa yang oleh perundang-undangan baru tidak lagi dikategorikan sebagai tindak pidana (Pasal 3 ayat (2), serta penyesuaian pidana yang lebih ringan terhadap terpidana dalam konteks pelaksanaan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap apabila perbuatan yang terjadi oleh peraturan perundang-undangan yang baru diancam dengan pidana yang lebih ringan (Pasal 3 ayat (7).

Dengan demikian, konstruksi norma yang terkandung dalam Pasal 3 KUHP Nasional secara fundamental tidak hanya sebagai instrumen pelindung hak tersangka dan terdakwa, akan tetapi juga termasuk didalamnya hak terpidana.    

Implikasinya terhadap Delik Kerugian Negara

Dengan konstruksi norma a quo, tentu dalam tataran implementasinya maka penerapan asas lex favor reo menjadi tantangan tersendiri bagi Hakim yang menangani perkara tindak pidana korupsi dan akan menjatuhkan putusan final, seperti menjatuhkan pidana (konstituir) pasca berlakunya KUHP Nasional di bulan Januari tahun 2026.

Disini terlihat bahwa pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi yang telah memasuki tahap pembuktian, tidak lagi hanya sekedar persoalan konstatir fakta-fakta atau peristiwa yang terbukti dalam persidangan dan tahap kualifisir dimana Hakim menghubungkan fakta yang telah terbukti dengan norma hukum yang berlaku, akan tetapi Hakim juga akan diperhadapkan pada penerapan asas lex favor reo dalam masa transisi secara konsisten untuk menghindari ketidakpastian hukum.

Dalam konteks ini, maka pertanyaan yang harus dijawab apakah implikasi yuridisnya terhadap delik tindak pidana korupsi?. Jawabannya ada pada konstruksi norma Pasal 3 dan norma Pasal 603, Pasal 604, Pasal 605, dan Pasal 606 KUHP Nasional yang mengatur secara khusus mengenai delik korupsi yang secara substansi merupakan serapan dari Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13 UU Tipikor.

Untuk menjawabnya, tulisan ini akan membahas khusus yang beririsan dengan delik Tipikor/kerugian Negara sesuai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor (delik sapu jagat) yang kerap digunakan dalam dakwaan penuntut umum.  

Secara substansi, konstruksi rumusan delik dalam ketentuan Pasal 603 dan Pasal 604 KUHP Nasional masih sama dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, yang membedakan hanya pada besaran pidana minimum khusus, baik untuk pidana penjara maupun pidana denda.

Ancaman minimum pidana penjara Pasal 603 yaitu paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II (10 juta) dan paling banyak kategori VI (2 miliar).

Sementara itu, ancaman pidana penjara Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor paling singkat 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 miliar.

Demikian pula halnya formulasi rumusan delik Pasal 604 yang mengatur ancaman pidana penjara minimum 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.

Hal ini berbeda dengan Pasal 3 UU Tipikor, dimana pidana penjara minimum 1 (satu) tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta dan paling banyak 1 miliar (pidana denda Pasal 3 bersifat kumulatif-alternatif, berbeda dengan Pasal 604 KUHP Nasional yang sifatnya kumulatif).

Dari konstruksi ini, maka dengan pendekatan perubahan menyangkut peraturan hukum pidana semata, putusan pemidanaan dalam hal pembuktian atas terbuktinya Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor baik pidana penjara maupun pidana denda seyogyanya menerapkan pemidanaan berdasarkan sanksi pidana sesuai norma Pasal 603 KUHP Nasional yaitu pidana penjara minimum 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II (10 juta) dan paling banyak kategori VI (2 miliar).

Bagaimana dalam hal yang terbukti adalah Pasal 3 UU Tipikor?. Seyogyanya penerapan sanksi pidana penjara dan pidana denda akan berbeda, mengingat parameter pemidanaan yang menguntungkan terdakwa akan mengacu pada sanksi pidana penjara yaitu minimum 1 (satu) tahun. Namun, untuk pidana denda mengacu pada paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI sesuai Pasal 604 KUHP Nasional.

Basis argumen ini, dibangun paling tidak berdasarkan legal reasoning sebagai berikut:

Baca Juga: Pasal 603 KUHP Baru Sebagai Delicta Commune, Delik Materil, Modifikasi Sistem Delphi, dan Core Crime Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor

Pertama, meskipun asas lex temporis delicti secara konseptual mengandung makna dasar untuk melindungi dari pemidanaan yang berlaku surut, akan tetapi penerapan asas lex favor reo menjadi pengecualian untuk menjamin keadilan substantif bagi terdakwa.

Kedua, maksud pengertian aturan yang paling meringankan (gunstigste bepalingen) jika dimaknai dalam konteks tidak hanya mengenai pemidanaan semata, tetapi juga termasuk segala sesuatu yang mempunyai pengaruh atas penilaian suatu delik (E. Utrecht, 1960:228), maka ini berarti memaknai aturan yang menguntungkan termasuk didalamnya ringannya hukuman (sanksi pidana) yang dijatuhkan bagi terdakwa. (zm/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…