Berlakunya KUHP Nasional
pada tanggal 2 Januari 2026 menghadirkan sebuah momentum penting bagi dunia
hukum Indonesia. Hal ini menandai langkah strategis yang tidak hanya berkaitan
langsung dengan upaya perlindungan hukum bagi warga Negara yang merupakan pengejahwantahan
dari prinsip keseimbangan dalam KUHP Nasional yaitu keseimbangan antara
kepentingan umum dan kepentingan individu, akan tetapi juga keseimbangan antara
perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana.
Dalam
konteks ini, signifikansi kehadiran Negara tidak hanya terletak pada aspek legal-formal
akan tetapi juga pada dimensi yang lebih luas demi terselenggaranya
perlindungan hak asasi manusia warga Negara baik yang bertatus sebagai
tersangka, terdakwa maupun terpidana.
Pada
titik ini, maka perubahan dari KUHP lama (WvS) menjadi KUHP Nasional secara
filosofis tidak hanya bersinggungan dengan bergesernya paradigma aliran klasik
menjadi neo-klasik, akan tetapi secara praktis akan bersinggungan langsung dengan
larangan berlaku surutnya ketentuan pidana (non-retroactive
principle), yang
menjadi bagian dari prinsip asas legalitas.
Baca Juga: Lex Favor Reo, Tantangan Awal Hakim dalam Menerapkan KUHP Baru
Tentu, transisi aturan pidana ini
dalam konteks hukum pidana telah diatur secara normatif baik dalam Pasal 1 ayat
(2) KUHP lama (WvS) dan Pasal 3 KUHP Nasional yang berbasis pada asas lex favor reo yaitu jika terjadi perubahan perundang-undangan diterapkan aturan yang
meringankan bagi yang terdampak.
Pasal 1 ayat (2) WvS Belanda
secara tegas menyatakan “Bij veradering
in de wetgeving na et tijdstip waarop het feit began is, woorden de voor den verdachte
gunstigste bepalingen toegepast”. Selanjutnya, apabila mengacu pada KUHP
lama terjemahan R. Soesilo, Pasal 1 ayat (2) disebutkan “jikalau undang-undang
diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.
Sementara itu, terjemahan BPHN
(2010), menyatakan “bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya” (cetak tebal penulis).
Terlepas dari terjemahan dimaksud,
kemudian dalam KUHP Nasional merumuskan secara terperinci yang pada pokoknya
menyatakan secara tegas bahwa “Dalam hal
terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi,
diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama
menguntungkan bagi pelaku dan pembantu Tindak Pidana (Pasal 3 ayat (1) KUHP
Nasional).
Lebih
jauh, konstruksi norma Pasal 3 KUHP Nasional juga mengatur transisi terkait
perbuatan tersangka atau Terdakwa yang oleh perundang-undangan baru tidak lagi
dikategorikan sebagai tindak pidana (Pasal 3 ayat (2), serta penyesuaian pidana
yang lebih ringan terhadap terpidana dalam konteks pelaksanaan putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap apabila perbuatan yang terjadi oleh
peraturan perundang-undangan yang baru diancam dengan pidana yang lebih ringan
(Pasal 3 ayat (7).
Dengan
demikian, konstruksi norma yang terkandung dalam Pasal 3 KUHP Nasional secara
fundamental tidak hanya sebagai instrumen pelindung hak tersangka dan terdakwa,
akan tetapi juga termasuk didalamnya hak terpidana.
Implikasinya terhadap Delik Kerugian
Negara
Dengan
konstruksi norma a quo, tentu dalam
tataran implementasinya maka penerapan asas lex
favor reo menjadi tantangan tersendiri bagi Hakim yang menangani perkara
tindak pidana korupsi dan akan menjatuhkan putusan final, seperti menjatuhkan
pidana (konstituir) pasca berlakunya KUHP Nasional di bulan Januari tahun 2026.
Disini
terlihat bahwa pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi yang telah memasuki tahap
pembuktian, tidak lagi hanya sekedar persoalan konstatir fakta-fakta atau
peristiwa yang terbukti dalam persidangan dan tahap kualifisir dimana Hakim
menghubungkan fakta yang telah terbukti dengan norma hukum yang berlaku, akan
tetapi Hakim juga akan diperhadapkan pada penerapan asas lex favor reo dalam masa transisi secara konsisten untuk
menghindari ketidakpastian hukum.
Dalam
konteks ini, maka pertanyaan yang harus dijawab apakah implikasi yuridisnya
terhadap delik tindak pidana korupsi?. Jawabannya ada pada konstruksi norma
Pasal 3 dan norma Pasal 603, Pasal 604, Pasal 605, dan Pasal 606 KUHP Nasional yang
mengatur secara khusus mengenai delik korupsi yang secara substansi merupakan
serapan dari Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13 UU
Tipikor.
Untuk
menjawabnya, tulisan ini akan membahas khusus yang beririsan dengan delik Tipikor/kerugian
Negara sesuai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor (delik sapu jagat) yang
kerap digunakan dalam dakwaan penuntut umum.
Secara substansi,
konstruksi rumusan delik dalam ketentuan Pasal 603 dan Pasal 604 KUHP Nasional
masih sama dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
UU Tipikor, yang membedakan hanya pada besaran pidana minimum khusus, baik
untuk pidana penjara maupun pidana denda.
Ancaman
minimum pidana penjara Pasal 603 yaitu paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana denda
paling sedikit kategori II (10 juta) dan paling banyak kategori VI (2 miliar).
Sementara
itu, ancaman pidana penjara Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor paling singkat 4
(empat) tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 miliar.
Demikian
pula halnya formulasi rumusan delik Pasal 604 yang mengatur ancaman pidana
penjara minimum 2 (dua) tahun dan
denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.
Hal
ini berbeda dengan Pasal 3 UU Tipikor, dimana pidana penjara minimum 1 (satu)
tahun dan atau denda paling sedikit
50 juta dan paling banyak 1 miliar (pidana denda Pasal 3 bersifat
kumulatif-alternatif, berbeda dengan Pasal 604 KUHP Nasional yang sifatnya kumulatif).
Dari
konstruksi ini, maka dengan pendekatan perubahan menyangkut peraturan hukum
pidana semata, putusan pemidanaan dalam hal pembuktian atas terbuktinya Pasal 2
ayat (1) UU Tipikor baik pidana penjara maupun pidana denda seyogyanya
menerapkan pemidanaan berdasarkan sanksi pidana sesuai norma Pasal 603 KUHP
Nasional yaitu pidana penjara minimum 2 (dua) tahun dan pidana denda paling
sedikit kategori II (10 juta) dan paling banyak kategori VI (2 miliar).
Bagaimana
dalam hal yang terbukti adalah Pasal 3 UU Tipikor?. Seyogyanya penerapan sanksi
pidana penjara dan pidana denda akan berbeda, mengingat parameter pemidanaan
yang menguntungkan terdakwa akan mengacu pada sanksi pidana penjara yaitu
minimum 1 (satu) tahun. Namun, untuk pidana denda mengacu pada paling sedikit
kategori II dan paling banyak kategori VI sesuai Pasal 604 KUHP Nasional.
Basis
argumen ini, dibangun paling tidak berdasarkan legal reasoning sebagai berikut:
Pertama,
meskipun asas lex temporis delicti secara konseptual mengandung makna dasar untuk melindungi
dari pemidanaan yang berlaku surut, akan tetapi penerapan asas lex favor reo menjadi pengecualian untuk
menjamin keadilan substantif bagi terdakwa.
Kedua, maksud pengertian aturan yang paling meringankan (gunstigste bepalingen) jika dimaknai dalam konteks tidak hanya mengenai pemidanaan semata, tetapi juga termasuk segala sesuatu yang mempunyai pengaruh atas penilaian suatu delik (E. Utrecht, 1960:228), maka ini berarti memaknai aturan yang menguntungkan termasuk didalamnya ringannya hukuman (sanksi pidana) yang dijatuhkan bagi terdakwa. (zm/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI