Bali dikenal sebagai salah satu
daerah di Indonesia yang memiliki sistem hukum adat sangat kental, berakar pada
agama Hindu, tradisi, dan awig-awig desa adat. Namun, dalam realitas sosial
budaya, hukum adat Bali masih sangat dipengaruhi oleh sistem patriarki,
terutama dalam bidang pewarisan.
Sistem kekeluargaan patrilineal (kapurusa)
menempatkan garis keturunan laki-laki sebagai penerus swadharma keluarga,
sementara perempuan (pradana) dianggap meninggalkan rumah asal ketika
menikah, sehingga secara tradisi tidak memperoleh hak waris.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan: Apakah perempuan Bali
sama sekali tidak berhak atas warisan, ataukah masih ada kemungkinan secara
kasuistis untuk memperoleh bagian? Pertanyaan ini semakin relevan mengingat
perkembangan hukum adat yang terus beradaptasi dengan prinsip kesetaraan
gender, hak asasi manusia, dan dinamika sosial modern.
Baca Juga: Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia
Dalam konteks Bali, persoalan ini tidak bisa dilepaskan
dari peran Pesamuhan Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) atau Majelis Desa
Adat (MDA). Forum adat di Bali ini sering kali mengeluarkan keputusan-keputusan
yang dijadikan rujukan penting, baik oleh masyarakat adat maupun oleh penegak
hukum, termasuk hakim.
Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan hakim untuk menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.
1. Kedudukan
Perempuan dalam Hukum Waris Bali
Secara tradisional, hukum adat Bali menganut sistem kapurusa,
di mana hanya anak laki-laki yang dianggap dapat meneruskan garis keturunan dan
swadharma keluarga. Konsekuensinya, anak perempuan yang menikah dianggap ninggal
kedaton (meninggalkan rumah asal), sehingga secara umum tidak memperoleh
warisan
Namun, keputusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali (2010)
memberikan ruang interpretasi baru. Disebutkan adanya dua kategori ninggal
kedaton:
- Ninggal
kedaton penuh: perempuan yang menikah dan sepenuhnya melepas tanggung
jawab terhadap keluarga asal. Mereka tidak berhak sama sekali atas harta
warisan.
- Ninggal
kedaton terbatas: perempuan yang meski menikah, masih mungkin menjalankan
swadharma tertentu, misalnya dalam kondisi anak tunggal atau karena
kesepakatan keluarga. Dalam hal ini, perempuan dapat memperoleh bagian
warisan dengan prinsip ategen asuwun (dua banding satu)
dibandingkan ahli waris laki-laki.
Keputusan ini menunjukkan bahwa perempuan Bali masih
dimungkinkan menerima hak waris secara kasuistis, meskipun dalam jumlah yang
lebih kecil dibandingkan laki-laki.
2. Reformulasi
Hukum Adat Bali melalui Pesamuhan Agung MDA 2023
Perkembangan terbaru terlihat pada Pesamuhan Agung IV
Majelis Desa Adat (MDA) Bali tahun 2023, yang merumuskan Pokok-Pokok
Ketentuan tentang Perkawinan, Perceraian, dan Pewarisan. Rumusan ini
menekankan perlunya penyesuaian hukum adat dengan dinamika masyarakat modern,
prinsip kesetaraan gender, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia
Keputusan tersebut menegaskan:
- Perempuan
yang kembali ke keluarga asal (mulih dea/mulih taruna) tetap
memiliki hak atas warisan.
- Anak
laki-laki maupun perempuan yang belum menikah memiliki kedudukan yang sama
atas harta gunakaya (harta bersama orang tua selama perkawinan).
- Terdapat
ruang kesetaraan dalam konteks harta perkawinan, meski dalam konteks harta
pusaka, dominasi kapurusa masih dipertahankan dengan variasi yang
disesuaikan dengan prinsip desa mawacara (setiap desa adat
berwenang menetapkan aturan sendiri).
Dengan demikian, Pesamuhan Agung MDA mencoba mencari titik
temu antara kelestarian budaya Bali dengan tuntutan kesetaraan gender di era
modern.
Keputusan-keputusan Pesamuhan Agung MUDP/MDA mempunyai
bobot kuat dalam praktik hukum adat di Bali. Meski bukan undang-undang dalam
arti formal, keputusan tersebut dipandang sebagai kesepakatan kolektif
masyarakat adat yang sah dan hidup. Oleh karena itu, hakim di Bali kerap
menjadikannya rujukan ketika mengadili perkara waris adat.
Hal ini sejalan dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mewajibkan hakim untuk menggali hukum
yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, putusan hakim di Bali mengenai
pewarisan adat tidak hanya bersandar pada hukum positif, tetapi juga pada
keputusan Pesamuhan Agung sebagai manifestasi living law.
Meskipun sudah ada perkembangan, tidak bisa dipungkiri
bahwa hukum adat Bali masih didominasi oleh paradigma patriarkis. Anak
laki-laki tetap dipandang sebagai pewaris utama. Namun, ruang bagi perempuan
kini mulai terbuka. Baik melalui konsep ninggal kedaton terbatas, maupun
melalui pengakuan terhadap hak perempuan atas harta gunakaya, hukum adat
Bali menunjukkan adanya proses evolusi menuju keseimbangan.
Pertanyaannya, quo vadis hukum waris Bali? Apakah ia akan
sepenuhnya menerima prinsip kesetaraan gender, atau tetap mempertahankan
tradisi patrilineal sebagai identitas budaya? Jawaban ini masih bergantung pada
keseimbangan antara kearifan lokal, tuntutan modernitas, serta interpretasi
hakim dalam putusan-putusan konkret.
Beberapa putusan yang dapat dijadikan referensi hakim
antara lain Putusan MA No. 1331 K/Pdt/2010 mengenai hak waris perempuan
atau Putusan No. 4766 K/Pdt/1998 yang mengakui hak waris anak perempuan
dalam sistem hukum adat Bali yang patrilineal. Yurisprudensi menunjukkan
bahwa hukum adat bersifat dinamis dan bisa berkembang agar sesuai dengan nilai
keadilan serta kemajuan masyarakat.
Baca Juga: Interpretasi Pengadilan Atas Hak Tradisional Masyarakat Adat Timor Tengah Selatan
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
- Hukum adat Bali pada dasarnya menempatkan perempuan (pradana) sebagai pihak yang tidak berhak atas harta pusaka karena sistem patrilineal (kapurusa).
- Namun, melalui keputusan Pesamuhan Agung MUDP 2010 dan MDA 2023, perempuan masih dimungkinkan memperoleh hak waris secara kasuistis, terutama dalam bentuk harta gunakaya dan dalam kondisi ninggal kedaton terbatas.
- Pesamuhan Agung MDA berfungsi sebagai forum hukum adat Bali, dan keputusannya menjadi rujukan penting bagi hakim ketika mengadili perkara waris adat, sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Yang jelas, hukum adat tidak bersifat statis, melainkan dinamis sesuai perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, perempuan Bali tidak sepenuhnya kehilangan hak waris, tetapi kedudukannya masih bersifat terbatas dan bergantung pada konteks. Ke depan, diharapkan terjadi dialog terus-menerus antara adat, hukum nasional, dan prinsip HAM, agar tercipta sistem pewarisan yang adil sekaligus tetap menghormati identitas budaya Bali. (snr/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI