Cari Berita

Quo Vadis: Dapatkah Perempuan Hak Mewaris dalam Perspektif Hukum Adat Bali?

I Kadek Apdila Wirawan-Hakim PN Gianyar - Dandapala Contributor 2025-09-12 11:30:51
Dok. Penulis.

Bali dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki sistem hukum adat sangat kental, berakar pada agama Hindu, tradisi, dan awig-awig desa adat. Namun, dalam realitas sosial budaya, hukum adat Bali masih sangat dipengaruhi oleh sistem patriarki, terutama dalam bidang pewarisan.

Sistem kekeluargaan patrilineal (kapurusa) menempatkan garis keturunan laki-laki sebagai penerus swadharma keluarga, sementara perempuan (pradana) dianggap meninggalkan rumah asal ketika menikah, sehingga secara tradisi tidak memperoleh hak waris.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan: Apakah perempuan Bali sama sekali tidak berhak atas warisan, ataukah masih ada kemungkinan secara kasuistis untuk memperoleh bagian? Pertanyaan ini semakin relevan mengingat perkembangan hukum adat yang terus beradaptasi dengan prinsip kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan dinamika sosial modern.

Baca Juga: Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia

Dalam konteks Bali, persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari peran Pesamuhan Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) atau Majelis Desa Adat (MDA). Forum adat di Bali ini sering kali mengeluarkan keputusan-keputusan yang dijadikan rujukan penting, baik oleh masyarakat adat maupun oleh penegak hukum, termasuk hakim.

Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

1. Kedudukan Perempuan dalam Hukum Waris Bali

Secara tradisional, hukum adat Bali menganut sistem kapurusa, di mana hanya anak laki-laki yang dianggap dapat meneruskan garis keturunan dan swadharma keluarga. Konsekuensinya, anak perempuan yang menikah dianggap ninggal kedaton (meninggalkan rumah asal), sehingga secara umum tidak memperoleh warisan

Namun, keputusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali (2010) memberikan ruang interpretasi baru. Disebutkan adanya dua kategori ninggal kedaton:

  • Ninggal kedaton penuh: perempuan yang menikah dan sepenuhnya melepas tanggung jawab terhadap keluarga asal. Mereka tidak berhak sama sekali atas harta warisan.
  • Ninggal kedaton terbatas: perempuan yang meski menikah, masih mungkin menjalankan swadharma tertentu, misalnya dalam kondisi anak tunggal atau karena kesepakatan keluarga. Dalam hal ini, perempuan dapat memperoleh bagian warisan dengan prinsip ategen asuwun (dua banding satu) dibandingkan ahli waris laki-laki.

Keputusan ini menunjukkan bahwa perempuan Bali masih dimungkinkan menerima hak waris secara kasuistis, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan laki-laki.

2. Reformulasi Hukum Adat Bali melalui Pesamuhan Agung MDA 2023

Perkembangan terbaru terlihat pada Pesamuhan Agung IV Majelis Desa Adat (MDA) Bali tahun 2023, yang merumuskan Pokok-Pokok Ketentuan tentang Perkawinan, Perceraian, dan Pewarisan. Rumusan ini menekankan perlunya penyesuaian hukum adat dengan dinamika masyarakat modern, prinsip kesetaraan gender, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

Keputusan tersebut menegaskan:

  • Perempuan yang kembali ke keluarga asal (mulih dea/mulih taruna) tetap memiliki hak atas warisan.
  • Anak laki-laki maupun perempuan yang belum menikah memiliki kedudukan yang sama atas harta gunakaya (harta bersama orang tua selama perkawinan).
  • Terdapat ruang kesetaraan dalam konteks harta perkawinan, meski dalam konteks harta pusaka, dominasi kapurusa masih dipertahankan dengan variasi yang disesuaikan dengan prinsip desa mawacara (setiap desa adat berwenang menetapkan aturan sendiri).

Dengan demikian, Pesamuhan Agung MDA mencoba mencari titik temu antara kelestarian budaya Bali dengan tuntutan kesetaraan gender di era modern.

Keputusan-keputusan Pesamuhan Agung MUDP/MDA mempunyai bobot kuat dalam praktik hukum adat di Bali. Meski bukan undang-undang dalam arti formal, keputusan tersebut dipandang sebagai kesepakatan kolektif masyarakat adat yang sah dan hidup. Oleh karena itu, hakim di Bali kerap menjadikannya rujukan ketika mengadili perkara waris adat.

Hal ini sejalan dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mewajibkan hakim untuk menggali hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, putusan hakim di Bali mengenai pewarisan adat tidak hanya bersandar pada hukum positif, tetapi juga pada keputusan Pesamuhan Agung sebagai manifestasi living law.

Meskipun sudah ada perkembangan, tidak bisa dipungkiri bahwa hukum adat Bali masih didominasi oleh paradigma patriarkis. Anak laki-laki tetap dipandang sebagai pewaris utama. Namun, ruang bagi perempuan kini mulai terbuka. Baik melalui konsep ninggal kedaton terbatas, maupun melalui pengakuan terhadap hak perempuan atas harta gunakaya, hukum adat Bali menunjukkan adanya proses evolusi menuju keseimbangan.

Pertanyaannya, quo vadis hukum waris Bali? Apakah ia akan sepenuhnya menerima prinsip kesetaraan gender, atau tetap mempertahankan tradisi patrilineal sebagai identitas budaya? Jawaban ini masih bergantung pada keseimbangan antara kearifan lokal, tuntutan modernitas, serta interpretasi hakim dalam putusan-putusan konkret.

Beberapa putusan yang dapat dijadikan referensi hakim antara lain Putusan MA No. 1331 K/Pdt/2010 mengenai hak waris perempuan atau Putusan No. 4766 K/Pdt/1998 yang mengakui hak waris anak perempuan dalam sistem hukum adat Bali yang patrilineal. Yurisprudensi menunjukkan bahwa hukum adat bersifat dinamis dan bisa berkembang agar sesuai dengan nilai keadilan serta kemajuan masyarakat. 

Baca Juga: Interpretasi Pengadilan Atas Hak Tradisional Masyarakat Adat Timor Tengah Selatan

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan:

  1. Hukum adat Bali pada dasarnya menempatkan perempuan (pradana) sebagai pihak yang tidak berhak atas harta pusaka karena sistem patrilineal (kapurusa).
  2. Namun, melalui keputusan Pesamuhan Agung MUDP 2010 dan MDA 2023, perempuan masih dimungkinkan memperoleh hak waris secara kasuistis, terutama dalam bentuk harta gunakaya dan dalam kondisi ninggal kedaton terbatas.
  3. Pesamuhan Agung MDA berfungsi sebagai forum hukum adat Bali, dan keputusannya menjadi rujukan penting bagi hakim ketika mengadili perkara waris adat, sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Yang jelas, hukum adat tidak bersifat statis, melainkan dinamis sesuai perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian, perempuan Bali tidak sepenuhnya kehilangan hak waris, tetapi kedudukannya masih bersifat terbatas dan bergantung pada konteks. Ke depan, diharapkan terjadi dialog terus-menerus antara adat, hukum nasional, dan prinsip HAM, agar tercipta sistem pewarisan yang adil sekaligus tetap menghormati identitas budaya Bali. (snr/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI