Permaafan hakim
(rechterlijk pardon) disebutkan dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional
yang berbunyi “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada
waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar
pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.” Konsep tersebut
merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam KUHP yang berlaku saat ini.
Sejarah mencatat bahwa konsep pidana dengan
pemaafan ini telah berlangsung sejak code of Hammurabi sekitar tahun 1792–1750
SM. Pada masa ini, penguasa memberikan imunitas dan pemaafan kepada orang yang
dianggap telah berjasa. Akan tetapi pada masa itu penggunaan Lembaga pemaafan
diguankan secara sewenang-wenang tanpa adanya indikator yang jelas untuk
memperkuat kewenangan imperium.
Pada tahun 1975
sistem peradilan pidana Perancis juga telah memperkenalkan sebelumnya konsep
pemaafan Hakim melalui Undang-Undang Nomor 75-624 KUHAP Perancis (CCP) yang
mengatur tentang the declaration of guilt without imposing a penalty
(pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pemidanaan).
Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Pada tahun 1976 Konsep
modifikasi lembaga pemaafan kemudian mulai masuk di Lembaga yudikatif pada
Resolusi No.10/1976 tanggal 9 Maret 1976 Komisi Para Menteri Dewan Eropa,
dimana memberikan hak kepada Hakim untuk dapat tidak menjatuhkan pidana apapun
terhadap delik-delik ringan
Pada tahun 1983
konsep permaafan hakim dikenal dalam sistem hukum pidana Belanda yang disebut
dengan rechterlijk pardon. Dalam pasal 9a W.v.S Nederland (KUHP Belanda)
disebutkan "The judge may determine in the judgement that no punishement
or measure shal be imposed, where he seems this advisable, by reason of the
lack of grafity of the offence, the character of the offender, or the
circumtances attendant upon the commission of the offence or thereafter”.
Hakim dapat menetapkan dalam putusannya bahwa tidak ada hukuman atau
tindakan yang akan dijatuhkan, apabila menurut pendapatnya tindakan tersebut
tepat, dengan alasan tidak adanya bobot kejahatan, karakter pelaku, atau
keadaan yang menyertai terjadinya kejahatan atau setelahnya.
Ketentuan ini
memungkinkan hakim untuk memberikan maaf dan tidak menjatuhkan pidana kepada
terdakwa. Permaafan hakim pada hakikatnya merupakan pedoman pemidanaan yang
dilatarbelakangi oleh ide fleksibilitas untuk menghindari kekakuan.
Dengan demikian dalam
konsep Rechterlijk Pardon Belanda dalam konsep permaafan hakim akan
dipertimbangkan tentang ringan nya pidana yang dilakukan, serta situasi dan
kondisi yang menyertai tindak pidana tersebut, sehingga dengan ini hakim dapat
memutuskan untuk tidak menjatuhkan pidana dalam vonisnya (putusan).
Berdasarkan
uraian-uraian Sejarah mengenai permaafan hakim tersebut, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa adanya konsep permaafan hakim adalah untuk mencegah pemidanaan
yang tidak dibenarkan/diperlukan dilihat dari sudut kebutuhan. Dengan kata
lain, fungsinya pemaafan hakim Adalah sebagai koreksi judicial yaitu Hakim
diberi ruang untuk tidak menerapkan sanksi pidana meskipun secara hukum formil
terdakwa bersalah, jika menjatuhkan pidana dianggap tidak adil atau tidak
manusiawi dalam konteks tertentu.
Dalam praktik peradilan di Indonesia, dikenal dua jenis putusan pidana, yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum adanya putusan akhir, dengan tujuan menanggapi keberatan terdakwa terhadap dakwaan jaksa penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHAP. Sementara itu, putusan akhir adalah putusan yang berfungsi untuk menutup serta menyelesaikan suatu perkara.
Putusan akhir sendiri terbagi menjadi dua bentuk,
yakni putusan pemidanaan dan putusan bukan pemidanaan. Putusan pemidanaan
dijatuhkan apabila tindak pidana terbukti dan terdakwa dikenai hukuman.
Sedangkan putusan bukan pemidanaan meliputi putusan bebas, yaitu apabila
dakwaan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, serta putusan lepas, yakni
ketika perbuatan yang didakwakan terbukti namun bukan merupakan tindak pidana
atau terdapat alasan penghapus pidana.
Apabila
dikaitkan dengan konsep permaafan hakim, muncul pertanyaan: bagaimana jika
dalam suatu perkara terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah serta
meyakinkan sesuai Pasal 183 KUHAP, tetapi Majelis Hakim berpendapat bahwa
perbuatan terdakwa tidak perlu dijatuhi pidana, atau dengan kata lain hakim
memberikan maaf? Sebagaimana diketahui, dalam sistem peradilan pidana Indonesia,
putusan akhir hanya terbagi menjadi dua, yakni putusan pemidanaan (jika
terbukti) dan putusan bukan pemidanaan (bebas atau lepas). Sementara itu,
konsep permaafan hakim justru melihat bahwa meskipun unsur-unsur tindak pidana
telah terpenuhi, hakim tetap dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan hukuman
ataupun tindakan terhadap terdakwa.
Jika putusan
permaafan hakim dimasukkan ke dalam kategori putusan bebas, maka hal
tersebut merupakan kekeliruan, sebab dalam putusan bebas terdakwa dinyatakan
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana. Sedangkan
dalam permaafan hakim, terdakwa tetap terbukti melakukan tindak pidana namun
memperoleh pengampunan dari hakim. Oleh karena itu, putusan permaafan hakim
tidak dapat diklasifikasikan sebagai putusan bebas.
Apabila putusan
permaafan hakim dimasukkan ke dalam kategori putusan lepas, maka
permaafan tersebut dianggap sebagai dasar penghapusan pidana. Padahal, dalam
KUHP Nasional, penghapusan pidana hanya didasarkan pada adanya alasan
pembenar atau alasan pemaaf. Jika permaafan hakim digolongkan
sebagai alasan pemaaf, maka konsep permaafan hakim menjadi tidak relevan
lagi karena hakim tidak perlu memberikan permaafan. Sebaliknya, jika
dikategorikan sebagai alasan pembenar, maka hal itu juga tidak tepat,
sebab permaafan hakim tidak termasuk dalam jenis alasan pembenar yang diatur
dalam KUHP.
Selanjutnya jika putusan atas permaafan hakim dirumuskan ke dalam putusan pemidanaan maka akan berbenturan dengan pemaknaan dari putusan pemidanaan. Meskipun dalam permaafan hakim tindak pidana yang dilakukan terdakwa terbukti, akan tetapi dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional sudah ditegaskan bahwa dalam permaafan hakim tidak dijatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan, sehingga putusan hakim adalah bersalah tanpa pidana.
Kemudian jika dikaitkan dengan syarat-syarat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP bahwa putusan pemidanaan memuat “pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan”, dan dengan tidak dipenuhinya ketentuan tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam permaafan hakim, terdakwa dinyatakan secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana, tetapi kemudian terdakwa tidak
dijatuhi pidana ataupun dikenakan tindakan. Apabila permaafan hakim dirumuskan
sebagai putusan pemidanaan maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum,
dan permaafan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum.
KUHAP sebagai
hukum acara yang mengatur mengenai hukum formil belum mengatur struktur putusan
permaafan. Kemudian dalam rumusan RUU KUHAP mendatang juga belum disebutkan
pula mengenai struktur putusan permaafan. Mengacu pada Pasal 197 KUHAP dan
Pasal 199 KUHAP, kemudian mengacu pula pada Pasal 192 RKUHAP dan 194 RKUHAP, yang
pada pokoknya hanya mengatur mengenai muatan ataupun struktur mengenai putusan
pemidanaan dan putusan yang bukan merupakan pemidanaan. Sedangkan apabila yang
dikehendaki dalam permaafan hakim adalah putusan permaafan maka hal terseut
belum diatur.
Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023
KESIMPULAN
Uraian dan analisa tersebut memberikan pengertian bahwa putusan atas permaafan hakim tidak mungkin dirumuskan ke dalam salah satu bentuk putusan baik bebas, lepas, maupun pemidanaan. Berdasarkan uraian dan analisa penulis berpendapat bahwa putusan permaafan ini harus diatur tersendiri, apakah itu dengan pembaharuan yang merujuk kepada RUU KUHAP pada masa yang akan datang ataupun Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung untuk secara khusus mengatur bentuk putusan permaafan hakim. (ypy/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI