Cari Berita

Rekonstruksi Putusan Pidana dalam Penerapan Pasal 54 Ayat (2) KUHP Baru

Abdurrahman Mazli- Hakim PN Barabai - Dandapala Contributor 2025-09-15 08:00:36
Dok. penulis

Permaafan hakim (rechterlijk pardon) disebutkan dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional yang berbunyi “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.” Konsep tersebut merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam KUHP yang berlaku saat ini.

Sejarah mencatat bahwa konsep pidana dengan pemaafan ini telah berlangsung sejak code of Hammurabi sekitar tahun 1792–1750 SM. Pada masa ini, penguasa memberikan imunitas dan pemaafan kepada orang yang dianggap telah berjasa. Akan tetapi pada masa itu penggunaan Lembaga pemaafan diguankan secara sewenang-wenang tanpa adanya indikator yang jelas untuk memperkuat kewenangan imperium.

Pada tahun 1975 sistem peradilan pidana Perancis juga telah memperkenalkan sebelumnya konsep pemaafan Hakim melalui Undang-Undang Nomor 75-624 KUHAP Perancis (CCP) yang mengatur tentang the declaration of guilt without imposing a penalty (pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pemidanaan).

Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Pada tahun 1976 Konsep modifikasi lembaga pemaafan kemudian mulai masuk di Lembaga yudikatif pada Resolusi No.10/1976 tanggal 9 Maret 1976 Komisi Para Menteri Dewan Eropa, dimana memberikan hak kepada Hakim untuk dapat tidak menjatuhkan pidana apapun terhadap delik-delik ringan

Pada tahun 1983 konsep permaafan hakim dikenal dalam sistem hukum pidana Belanda yang disebut dengan rechterlijk pardon. Dalam pasal 9a W.v.S Nederland (KUHP Belanda) disebutkan "The judge may determine in the judgement that no punishement or measure shal be imposed, where he seems this advisable, by reason of the lack of grafity of the offence, the character of the offender, or the circumtances attendant upon the commission of the offence or thereafter”.

Hakim dapat menetapkan dalam putusannya bahwa tidak ada hukuman atau tindakan yang akan dijatuhkan, apabila menurut pendapatnya tindakan tersebut tepat, dengan alasan tidak adanya bobot kejahatan, karakter pelaku, atau keadaan yang menyertai terjadinya kejahatan atau setelahnya.

Ketentuan ini memungkinkan hakim untuk memberikan maaf dan tidak menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Permaafan hakim pada hakikatnya merupakan pedoman pemidanaan yang dilatarbelakangi oleh ide fleksibilitas untuk menghindari kekakuan.

Dengan demikian dalam konsep Rechterlijk Pardon Belanda dalam konsep permaafan hakim akan dipertimbangkan tentang ringan nya pidana yang dilakukan, serta situasi dan kondisi yang menyertai tindak pidana tersebut, sehingga dengan ini hakim dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan pidana dalam vonisnya (putusan).

Berdasarkan uraian-uraian Sejarah mengenai permaafan hakim tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa adanya konsep permaafan hakim adalah untuk mencegah pemidanaan yang tidak dibenarkan/diperlukan dilihat dari sudut kebutuhan. Dengan kata lain, fungsinya pemaafan hakim Adalah sebagai koreksi judicial yaitu Hakim diberi ruang untuk tidak menerapkan sanksi pidana meskipun secara hukum formil terdakwa bersalah, jika menjatuhkan pidana dianggap tidak adil atau tidak manusiawi dalam konteks tertentu.

Dalam praktik peradilan di Indonesia, dikenal dua jenis putusan pidana, yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum adanya putusan akhir, dengan tujuan menanggapi keberatan terdakwa terhadap dakwaan jaksa penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHAP. Sementara itu, putusan akhir adalah putusan yang berfungsi untuk menutup serta menyelesaikan suatu perkara.

Putusan akhir sendiri terbagi menjadi dua bentuk, yakni putusan pemidanaan dan putusan bukan pemidanaan. Putusan pemidanaan dijatuhkan apabila tindak pidana terbukti dan terdakwa dikenai hukuman. Sedangkan putusan bukan pemidanaan meliputi putusan bebas, yaitu apabila dakwaan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, serta putusan lepas, yakni ketika perbuatan yang didakwakan terbukti namun bukan merupakan tindak pidana atau terdapat alasan penghapus pidana.

Apabila dikaitkan dengan konsep permaafan hakim, muncul pertanyaan: bagaimana jika dalam suatu perkara terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah serta meyakinkan sesuai Pasal 183 KUHAP, tetapi Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa tidak perlu dijatuhi pidana, atau dengan kata lain hakim memberikan maaf? Sebagaimana diketahui, dalam sistem peradilan pidana Indonesia, putusan akhir hanya terbagi menjadi dua, yakni putusan pemidanaan (jika terbukti) dan putusan bukan pemidanaan (bebas atau lepas). Sementara itu, konsep permaafan hakim justru melihat bahwa meskipun unsur-unsur tindak pidana telah terpenuhi, hakim tetap dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan hukuman ataupun tindakan terhadap terdakwa.

Jika putusan permaafan hakim dimasukkan ke dalam kategori putusan bebas, maka hal tersebut merupakan kekeliruan, sebab dalam putusan bebas terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam permaafan hakim, terdakwa tetap terbukti melakukan tindak pidana namun memperoleh pengampunan dari hakim. Oleh karena itu, putusan permaafan hakim tidak dapat diklasifikasikan sebagai putusan bebas.

Apabila putusan permaafan hakim dimasukkan ke dalam kategori putusan lepas, maka permaafan tersebut dianggap sebagai dasar penghapusan pidana. Padahal, dalam KUHP Nasional, penghapusan pidana hanya didasarkan pada adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf. Jika permaafan hakim digolongkan sebagai alasan pemaaf, maka konsep permaafan hakim menjadi tidak relevan lagi karena hakim tidak perlu memberikan permaafan. Sebaliknya, jika dikategorikan sebagai alasan pembenar, maka hal itu juga tidak tepat, sebab permaafan hakim tidak termasuk dalam jenis alasan pembenar yang diatur dalam KUHP.

Selanjutnya jika putusan atas permaafan hakim dirumuskan ke dalam putusan pemidanaan maka akan berbenturan dengan pemaknaan dari putusan pemidanaan. Meskipun dalam permaafan hakim tindak pidana yang dilakukan terdakwa terbukti, akan tetapi dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional sudah ditegaskan bahwa dalam permaafan hakim tidak dijatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan, sehingga putusan hakim adalah bersalah tanpa pidana.

Kemudian jika dikaitkan dengan syarat-syarat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP bahwa putusan pemidanaan memuat “pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan”, dan dengan tidak dipenuhinya ketentuan tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Dalam permaafan hakim, terdakwa dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana, tetapi kemudian terdakwa tidak dijatuhi pidana ataupun dikenakan tindakan. Apabila permaafan hakim dirumuskan sebagai putusan pemidanaan maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum, dan permaafan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum.

KUHAP sebagai hukum acara yang mengatur mengenai hukum formil belum mengatur struktur putusan permaafan. Kemudian dalam rumusan RUU KUHAP mendatang juga belum disebutkan pula mengenai struktur putusan permaafan. Mengacu pada Pasal 197 KUHAP dan Pasal 199 KUHAP, kemudian mengacu pula pada Pasal 192 RKUHAP dan 194 RKUHAP, yang pada pokoknya hanya mengatur mengenai muatan ataupun struktur mengenai putusan pemidanaan dan putusan yang bukan merupakan pemidanaan. Sedangkan apabila yang dikehendaki dalam permaafan hakim adalah putusan permaafan maka hal terseut belum diatur.

Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023

KESIMPULAN

Uraian dan analisa tersebut memberikan pengertian bahwa putusan atas permaafan hakim tidak mungkin dirumuskan ke dalam salah satu bentuk putusan baik bebas, lepas, maupun pemidanaan. Berdasarkan uraian dan analisa penulis berpendapat bahwa putusan permaafan ini harus diatur tersendiri, apakah itu dengan pembaharuan yang merujuk kepada RUU KUHAP pada masa yang akan datang ataupun Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung untuk secara khusus mengatur bentuk putusan permaafan hakim. (ypy/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI