Sebagai negara
hukum, Indonesia memiliki
kewajiban untuk menjamin kepastian hukum serta perlindungan terhadap hak-hak perdata
warga negaranya. Prinsip ini tidak hanya mencakup
penghormatan dan pemenuhan hak, tetapi juga akses terhadap keadilan yang efektif dan
efisien melalui sistem peradilan.
Salah satu prinsip mendasar
dalam sistem peradilan
di Indonesia adalah
asas peradilan yang cepat,
sederhana, dan berbiaya ringan. Asas ini dimaksudkan agar proses penyelesaian
sengketa tidak menjadi berbelit-belit, memakan waktu, atau membebani para
pencari keadilan.
Namun,
dalam praktiknya, sistem hukum kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu
secara tidak bertanggung jawab. Salah satu modus yang kini menjadi sorotan
adalah pengajuan gugatan dengan itikad tidak baik atau dikenal dengan istilah vexatious
litigation.
Baca Juga: Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP
Praktik
ini merujuk pada pengajuan gugatan ke pengadilan bukan untuk mencari keadilan,
melainkan untuk menyulitkan pihak lawan atau sekadar memberikan tekanan
psikologis.
Fenomena tersebut
kerap terjadi dalam proses konsinyasi dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum. Dalam kondisi di mana terdapat
perbedaan pendapat antara
pemilik tanah dan instansi pemerintah mengenai besaran ganti rugi, pihak
ketiga sering melayangkan gugatan terhadap
penerima konsinyasi tanpa dasar hukum
dan fakta yang jelas. Tujuannya semata-mata untuk
menunda atau menghalangi pencairan ganti rugi.
Lebih
memprihatinkan, gugatan dengan motif demikian sering diajukan oleh pihak yang
memiliki kekuatan finansial dan posisi hukum lebih kuat, seperti korporasi,
terhadap individu atau masyarakat dengan pengetahuan hukum dan kemampuan
ekonomi terbatas.
Secara konseptual, vexatious litigation merupakan tindakan
hukum yang dilakukan tanpa dasar hukum yang sah dan tidak didukung oleh fakta yang
layak, semata untuk mengganggu atau merugikan
pihak lawan. Meskipun
istilah ini lebih
dikenal dalam sistem hukum common law,
praktik serupa juga muncul dalam yurisdiksi civil law seperti
Indonesia.
Meski belum terdapat
pengaturan eksplisit mengenai
vexatious litigation dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
sejumlah putusan pengadilan telah mengakui keberadaan prinsip itikad baik dalam
pengajuan gugatan.
Salah satu contohnya dapat ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung No.
769 K/Pdt/2015. Dalam pertimbangannya menyatakan bahwa gugatan yang diajukan
oleh penggugat telah dilakukan tanpa itikad baik karena memanfaatkan kebijakan
tergugat yang telah menunjukkan iktikad baik dalam menyelesaikan sengketa.
Amar putusan tersebut menyatakan menolak gugatan penggugat seluruhnya,
sekaligus membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama. Putusan
ini menegaskan pentingnya prinsip kejujuran dan itikad
baik dalam proses litigasi perdata.
Dengan demikian, meskipun
tidak secara langsung
diatur dalam undang-undang, praktik peradilan di Indonesia
telah menunjukkan bahwa gugatan yang diajukan tanpa
itikad baik dapat ditolak.
Putusan-putusan semacam ini dapat menjadi yurisprudensi atau rujukan bagi Hakim
dan praktisi hukum dalam menilai motif di balik suatu gugatan.
Baca Juga: Urgensi Prinsip Solvabilitas Bagi Hakim di Kasus Kepailitan
Prinsip
itikad baik dalam pengajuan gugatan menjadi sangat krusial dalam rangka menjaga integritas lembaga peradilan serta
memastikan bahwa proses
hukum digunakan sebagaimana
mestinya bukan sebagai alat untuk menekan atau merugikan pihak lain secara
tidak sah. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI