Cari Berita

Victim Precipitation di KUHP Baru: Peluang Pembaruan atau Ancaman Victim Blaming?

Sri Septiany Arista Yufeny - Dandapala Contributor 2025-11-07 15:25:08
Dok. Penulis.

Reformasi pemidanaan melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 (KUHP Nasional) menghadirkan pembaruan penting mengenai pedoman pemidanaan. Salah satu manifestasinya adalah pengakuan kontribusi korban dalam tindak pidana sebagai faktor yang dapat menjadi alasan tidak dijatuhkannya pidana penjara bagi terdakwa. Pasal 70 ayat (1) huruf (h) KUHP Nasional mengatur bahwa “Pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan bahwa korban tindak pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya tindak pidana tersebut.”

Kebijakan ini dimaksudkan untuk memperkuat prinsip proporsionalitas pemidanaan dan  memberi ruang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana alternatif yang lebih konstruktif.

Namun demikian, penerapannya menimbulkan pertanyaan serius: apakah kebijakan tersebut memperkuat keadilan restoratif atau justru membuka peluang penyimpangan terhadap perlindungan korban?

Baca Juga: Family Courts And Restorative Justice For Children In Criminal Cases

Landasan Viktimologi dan Teori Victim Precipitation

Hans von Hentig pertama kali memperkenalkan teori bahwa ciri kepribadian dan perilaku tertentu membuat beberapa individu lebih rentan menjadi korban. Lalu Marvin E. Wolfgang kemudian mempopulerkan istilah victim precipitation  dalam studinya bahwa sekitar 26% kasus pembunuhan dipicu oleh korban. Akan tetapi, perkembangan viktomologi kontemporer menjukkan bahwa teori ini kerap disalahgunakan untuk melegitimasi victim blaming (menyalahkan korban atas kejadian yang dialaminya), khususnya dalam kejahatan berbasis relasi kuasa seperti kekerasan seksual atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Dalam konteks hukum positif Indonesia, sistem peradilan pidana selama ini berfokus pada pemulihan dan perlindungan hak korban, bukan menyudutkan. Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum secara tegas melarang hakim untuk menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang menyalahkan, merendahkan, atau mengintimidasi perempuan.

Dengan pergeseran paradigma ini perlu tinjauan lebih lanjut mengenai parameternya, agar hakim tidak salah menjatuhkan putusan yang dapat merugikan korban. Oleh sebab itu, peran korban harus dianalisis secara akurat dengan memeriksa hubungan kausal langsung, intensitas tindakan korban, ketimpangan relasi atau kerentanan, serta konteks sosial dan psikologis. Tanpa pendekatan menyeluruh, penerapan konsep ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan baru.

Ketiadaan Kriteria dan Risiko Disparitas

Sebagai pedoman, Pasal 70 ayat (1) huruf (h) KUHP Nasional masih menyisakan kekosongan pengaturan. Ketentuan tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai bentuk perilaku korban yang dapat dikualifikasikan sebagai pendorong tindak pidana, kriteria pembuktian keterlibatan korban dan mekanisme perlindungan hak korban dalam proses yudisial. Dalam ayat (2) ketentuan tersebut pun hanya mengatur ketidakberlakuan ayat (1) yakni apabila a) Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; b) Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus; c) Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat; atau d) Tindak Pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara. Ketiadaan aturan yang jelas ini berpotensi menimbulkan disparitas penerapan dan ketidakpastian hukum.

Perbandingan Hukum Internasional

Di Amerika Serikat konsep ini diatur dalam Sentencing Guidelines for US Court §5K2.10 tentang Victim’s Conduct (Policy Statement) bahwa jika korban berkontribusi secara signifikan dalam memprovokasi terjadinya tindak pidana, pengadilan dapat mengurangi pidana dengan mempertimbangkan karakteristik fisik korban, persistensi provokasi, hingga proporsionalitas respons terdakwa. Pedoman tersebut secara tegas dikecualikan untuk tindak pidana berbasis kekerasan seksual, sehingga tetap menjaga perlindungan korban yang rentan. Formulasi yang serupa penting untuk dipertimbangkan dalam konteks Indonesia.

Problematika Penerapan Pasal 70 ayat (1) huruf (h) KUHP Nasional

Adapun dalam konteks hukum Indonesia, penerapan pasal ini berpotensi menimbulkan beberapa tantangan, diantaranya:

  1. Normalisasi pembenaran. Pelaku dapat berdalih “korban memicu tindakan” atau kerap disebut dengan victim blaming, terutama dalam kasus KDRT, kekerasan seksual, dan perundungan. Ketentuan ini menggeser pesan moral hukum pidana dengan mengevaluasi perilaku korban.
  2. Alat pembelaan yang eksploitatifAdvokat dapat menggunakan narasi stereotip terhadap korban untuk mengurangi pidana pelaku.
  3. Minimnya pedoman yudisial. Tanpa parameter baku, penilaian menjadi sangat subjektif dan rentan bias.
  4. Kontradiksi terhadap kerangka perlindungan korban. Berpotensi mengurangi akses korban terhadap pemulihan dan keadilan restoratif.

Rekomendasi Penguatan Implementasi

Untuk mencegah penyimpangan dalam penerapan, diperlukan pedoman teknis seperti perumusan Perma atau SK KMA tentang pedoman penerapan Pasal 70 KUHP Nasional, yang memuat setidaknya:

  1. Pembatasan eksplisit pengecualian pada kejahatan berbasis gender, anak, dan relasi kuasa timpang;
  2. Kriteria baku dan terukur soal “mendorong” atau “menggerakkan”, parameter objektif mengenai intensitas dan relevansi perilaku korban terhadap terjadinya kejahatan;
  3. Ketentuan pembuktian kontribusi korban;
  4. Keterlibatan ahli psikologi forensik dalam menilai relasi pelaku dan korban;
  5. Instrumen perlindungan hak korban sepanjang proses peradilan, agar proses hukum tetap berprespektif pemulihan dan non- diskriminatif.

Penutup

Pasal 70 ayat (1) huruf (h) KUHP Nasional memberikan peluang penting memperkuat proporsionalitas dalam pemidanaan melalui perspektif viktimologi. Namun, tanpa pedoman penerapan yang jelas dan terukur, konsep victim precipitation berpotensi menggeser sebagian beban kesalahan pada korban serta bertentangan dengan prinsip perlindungan korban, yang pada akhirnya dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana.

Oleh karena itu, Indonesia perlu memastikan bahwa perlindungan terhadap korban tidak dikompromikan oleh perluasan diskursus viktimologi. Kepentingan pemidanaan yang berimbang hanya dapat tercapai melalui kerangka normatif dan prosedural yang menjamin keadilan bagi semua pihak. (ikaw/ldr)

Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Referensi

  • Eddy O.S. Hiariej, dkk. Anotasi KUHP Nasional, Rajawali Pers, 2025
  • Hans von Hentig. The Criminal & His Victim. Yale University Press, 1948.
  • Marvin E. Wolfgang. “Victim Precipitated Criminal Homicide.” Journal of Criminal Law, Criminology & Police Science 48(1), 1957.
  • Sandra Walklate. Handbook of Victims and Victimology. Routledge, 2011.
  • UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
  • Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
  • Sentencing Guidelines for US Court §5K2.10(https://www.federalregister.gov/documents/2025/01/02/2024-31279/sentencing-guidelines-for-united-states-courts), diakses pada 28 Oktober 2025 pukul 15.54 WITA

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…