Cari Berita

Reformasi Hukum Acara Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang

article | Opini | 2025-07-25 08:50:23

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan bentuk perbudakan modern yang telah menjadi perhatian global. Indonesia termasuk dalam kategori negara sumber, transit, dan tujuan, sehingga penanganannya memerlukan kebijakan hukum yang menyeluruh. Meskipun secara substantif telah diatur dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007, sistem acara masih mengacu pada KUHAP yang belum mengakomodasi perlindungan korban secara optimal. Hal ini memunculkan urgensi reformasi hukum acara sebagai bagian integral dalam peningkatan efektivitas penegakan hukum TPPO. Kajian hukum acara dalam penanganan TPPO telah banyak dilakukan. Secara umum, Hukum Acara Pidana di Indonesia belum sepenuhnya responsif terhadap karakteristik khusus TPPO yang bersifat lintas negara, terorganisir, dan berdampak langsung pada kerentanan korban, terutama perempuan dan anak-anak. Sulastri (2022) kendala utama dalam penuntutan perkara TPPO di Indonesia adalah ketidaksesuaian antara norma hukum acara dalam KUHAP dan prinsip perlindungan korban dalam hukum internasional. Korban tidak mendapatkan perlindungan maksimal selama proses hukum, sehingga menyebabkan rendahnya partisipasi korban dalam pembuktian, dan minimnya akuntabilitas terhadap pelaku. Sementara itu, menurut laporan UNODC Global Report on Trafficking in Persons (2022), banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, belum memiliki sistem hukum acara yang mengintegrasikan prinsip-prinsip victim-centered approach. Padahal, Protokol Palermo yang diratifikasi Indonesia sejak 2009 mewajibkan untuk mengadopsi prosedur hukum yang menjamin kenyaman, keamanan, dan hak-hak korban selama proses hukum berlangsung. Dalam konteks ASEAN, ASEAN Convention Againts Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP) (2015) telah menjadi rujukan  dalam reformasi sistem hukum negara anggota. Konvensi ini mendorong pembentukan protokol hukum acara khusus, baik dalam tahap penyelidikan, penuntutan, maupun proses pengadilan. Implementasi ACTIP di Indonesia masih belum terintegrasi ke dalam sistem hukum acara nasional, sehingga perlu dirumuskan pendekatan lex specialis dalam bentuk peraturan pelaksana dari UU TPPO yang lebih teknis dan operasional atau mengatur hukum acara pidana khusus untuk TPPO. KUHAP yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tidak dirancang untuk menghadapi bentuk kejahatan modern seperti TPPO.  Kelemahan utama KUHAP dalam konteks TPPO adalah tidak adanya pendekatan berbasis korban (victim-centered approach) yang eksplisit dalam setiap tahapan proses pidana. Misalnya, dalam proses penyidikan dan pemeriksaan saksi/korban (pasal 112 dan 117 KUHAP), tidak diatur mekanisme perlindungan khusus bagi korban yang mengalami trauma berat atau yang berada dalam posisi rentan, seperti perempuan dan anak-anak. Akibatnya, korban perdagangan orang kerap mengalami reviktimisasi saat diperiksa secara berulang, tanpa pendampingan psikolog maupun hukum. Alat bukti yang diakui KUHAP terbatas pada lima jenis sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP. Dalam praktiknya, pembuktian unsur eksploitasi sebagai unsur penting dalam TPPO menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 sering kali membutuhkan bukti tidak langsung atau dokumentasi digital, yang belum sepenuhnya diakomodasi oleh KUHAP dan tidak mengatur pemeriksaan jarak jauh, seperti penggunaan video conference, untuk melindungi korban dari intimidasi atau tekanan psikologis dalam ruang sidang. KUHAP juga tidak secara tegas membatasi peluang mediasi penal atau penghentian perkara dalam kasus serius seperti TPPO, yang bertentangan dengan semangat non-derogable rights dan prinsip non-negotiable atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini menjadi celah penyalahgunaan wewenang oleh penegak hukum yang berpotensi melemahkan perlindungan korban dan pengungkapan sindikat. Atas hal itu, KUHAP sebagai hukum acara pidana umum tidak memadai menghadapi tantangan penanganan TPPO secara efektif dan berkeadilan. Dibutuhkan pembaharuan hukum acara pidana yang bersifat khusus, setidaknya melalui penguatan pengaturan teknis acara pidana untuk kasus TPPO, baik dalam bentuk peraturan pelaksana UU TPPO maupun revisi terhadap KUHAP dengan pendekatan modern dan berbasis HAM. Penanganan TPPO yang kompleks menuntut sistem hukum acara pidana yang adil dan responsif terhadap karakteristik khusus kejahatan ini. Dalam konteks ini, dibutuhkan adanya lex specialis dalam hukum acara yang mengatur secara khusus proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan TPPO. Secara normatif, prinsip lex specialis derogat legi generali memungkinkan pembentukan hukum acara pidana yang berbeda dari KUHAP apabila ada jenis tindak pidana yang memiliki karakteristik khusus. Hal ini diakui dalam berbagai peraturan di Indonesia, salah satunya dalam pasal 63 ayat (2) KUHP, yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan diatur dalam undang-undang umum dan undang-undang khusus, maka yang berlaku adalah undang-undang yang khusus. Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, undang-undang ini masih  berfokus pada aspek substantif dan belum mengatur prosedur hukum acara secara komprehensif. Akibatnya, aparat penegak hukum tetap menggunakan KUHAP yang bersifat umum dan belum mengakomodasi kebutuhan perlindungan korban serta teknik pembuktian yang lebih relevan dengan kasus TPPO. Aspek hukum acara yang seharusnya diatur dalam lex specialis antara lain: Mekanisme pemeriksaan korban dalam pendekatan trauma-informed, khususnya untuk perempuan dan anak-anak korban eksploitasi seksual.Penggunaan alat bukti elektronik dan digital dalam kasus perdagangan orang lalu lintas negara, termasuk komunikasi daring, dokumen perjalanan palsu, dan transaksi keuangan.Perlindungan identitas korban dan saksi, termasuk penggunaan tirai atau pemeriksaan melalui video conference untuk mencegah intimidasi saat persidangan.Pendampingan psikologis dan hukum sejak tahap awal proses penyidikan hingga putusan akhir. Studi komparatif menunjukkan bahwa negara seperti Filipina dan Amerika Serikat telah menetapkan lex specialis dalam hukum acara untuk penanganan TPPO, guna memastikan perlindungan korban dan efektivitas penegakan hukum. Filipina, melalui Republic Act No.9208 (Anti-Trafficking in Persons Act of 2003) dan Expanded Anti-Trafficking in Persons Act (RA 10364 tahun 2012), mewajibkan penyidik bersertifikat, perlindungan identitas korban, penggunaan video conference, serta dukungan hukum dan psikologis. Amerika Serikat, melalui Trafficking Victims Protection Act (TVPA) of 2000 dan berbagai amandemennya, menetapkan protokol khusus, seperti pemeriksaan oleh forensic interviewer, perintah perlindungan, dan layanan hukum gratis, yang terintegrasi dengan layanan sosial. Pendekatan ini bersifat restoratif dan berbasis HAM. Indonesia, yang masih mengandalkan KUHAP sebagai lex generalis, perlu mengadopsi pendekatan serupa dengan reformasi hukum acara: Membentuk unit penanganan khusus di kepolisian dan kejaksaan, melatih aparat dalam pendekatan berbasis korban, menyusun SOP nasional berbasis Palermo Protocol dan ACTIP; Integrasi perlindungan hukum, psikologis, dan sosial terhadap korban; Peraturan Pelaksana dari UU Nomor 21 Tahun 2007 dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur teknis hukum acara; Revisi KUHAP untuk membuka ruang prosedur khusus dalam kasus-kasus kejahatan transnasional terorganisir; Pembentukan unit pengadilan atau majelis khusus TPPO. Reformasi ini penting untuk memperkuat perlindungan korban dan menunjukkan komitmen Indonesia terhadap standar internasional pemberantasan TPPO. (YPY/LDR)

Laporan dari Bangkok: MA RI dan MA Thailand Sukses Gelar Workshop TPPO

article | Berita | 2025-05-19 08:20:12

Bangkok- Mahkamah Agung RI bekerjasama dengan Mahkamah Agung Filipina dan Mahkamah Agung Thailand, di bawah kerangka Kelompok Kerja Pendidikan dan Pelatihan Peradilan ASEAN (Working Group Judicial Education and Training (WG-JET) berhasil menyelenggarakan Workshop Model Professional Development Program For Asean Judges On Trafficking In Persons Revision And Implementation Bagi Peradilan ASEAN. Kerjasama ini melibatkan Badan Strategi Kebijakan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Philippines Judicial Academy, Judicial Training Institute Thailand dan Sekretariat CACJ Indonesia dan Thailand.Workshop ini didukung oleh United Nations Office for Drugs and Crime (UNODC) dan Australia ASEAN Counter Trefficking Program (ASEAN-ACT). Workshop berlangsung 2 hari pada 14 dan 15 Mei 2025 di Bangkok, dan dilanjutkan dengan pelaksanaan Rapat Koordinasi WG-JET pada tanggal 16 Mei 2025.Program ini merupakan upaya WG-JET CACJ untuk melaksanakan mandat Butir 12 (iii) Deklarasi Cebu yang menyatakan :Mempelajari Model Program Pengembangan Profesional bagi Hakim pada Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) untuk diajukan dan di adopsi oleh Peradilan ASEAN.Sebagaimana diketahui, menindak lanjuti penandatangan ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP) pada tahun 2015. UNODC pada tahun 2018 untuk pertama kali menyusun dokumen model of Professional Development untuk Pengetahuan TIndak Pidana Perdagangan orang (TPPO) bagi Hakim, yang pada intinya bertujuan untuk membekali peradilan regional dengan pengetahuan khusus, perangkat, dan jaringan kolaboratif yang dibutuhkan untuk secara efektif menangani masalah perdagangan manusia yang kompleks. Dengan mendorong pendekatan yang berpusat pada korban dan mempromosikan kerja sama lintas batas, program ini berupaya untuk memperkuat kapasitas sistem peradilan ASEAN dalam memerangi perdagangan manusia dan melindungi hak-hak individu yang rentan.Workshop ini dimaksudkan untuk meninjau kembali relevansi dokumen tersebut dan mendorong adopsi dokumen tersebut ke dalam kebijakan Pendidikan dan Pelatihan Hakim pada masing-masing Peradilan ASEAN secara merata. Workshop berlangsung pada tanggal 14-15 Mei 2025 dan kemudian dilanjutkan dengan Rapat WG JET pada 16 Mei 2025.“Tujuan bersama kita cukup jelas yaitu memastikan bahwa peradilan-peradilan ASEAN memiliki pengetahuan, sensitifitas, dan perangkat yang diperlukan untuk menangani perkara TPPO, dengan metode yang berpusat kepada korban (victim centered), responsive terhadap gender (gender responsive) dan memperhatikan trend perkembangan transnasional termasuk penyalahgunaan teknologi”, ungkap wakil Co-Chair WG JET dari Indonesia, Hakim Agung, Dr. Lucas Prakoso dikutip oleh DANDAPALA.TPPO merupakan masalah yang sangat serius, International Labour Organization (ILO) melansir data bahwa 11 juta atau lebih dari separuh korban kerja paksa di dunia, adalah korban di Asia Pasifik. Mayoritas korban perdagangan orang yang terjadi di Asia Tenggara adalah 83 persen perempuan untuk eksploitasi seksual dan 82 persen laki-laki untuk kerja paksa. Global Report on Trafficking in Persons 2024, juga menyatakan bahwa di tahun 2023, 74% dari pelaku TPPO beroperasi sebagai Kejahatan Terorganisir, yang juga menimbulkan kompleksitas dalam penanganan perkara TPPO.Selanjutnya keberadaan pelatihan hakim ASEAN dalam TPPO merupakan upaya konkrit untuk mendorong kerja sama dan standardisasi yang lebih besar dalam pelatihan hukum, yang pada akhirnya mendorong program pengembangan kapasitas regional yang lebih kuat bagi lembaga peradilan ASEAN.Pengadopsian Program Model TPPO yang direvisi mencerminkan komitmen CACJ untuk memperkuat kapasitas lembaga peradilan ASEAN dalam kasus TPPO domestik dan transnasional, memastikan bahwa hakim dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan, menggunakan pendekatan yang peka terhadap korban dalam mengadili kasus TPPO.Workshop diikuti oleh total 50 peserta. Tiap peradilan ASEAN diwakili oleh masing-masing 2 orang perwakilan yang terdiri dari 1 orang hakim TPPO dan 1 orang perwakilan pusdiklat peradilan negara tersebut. Perwakilan UNODC dan Perwakilan ASEAN ACT.Delegasi Mahkamah Agung RI dipimpin oleh Dr. Lucas Prakoso, yang bertindak mewakili Co-Chair WG JET Indonesia dan didampingi oleh Bambang Hery Mulyono (Kepala BSDK MARI), Dr. Sriti H Astiti (Hakim Yustisial), Rikatama Budiyantie (Hakim Yustisial), Dr. Aria Suyudi (Staf Khusus Ketua MARI/LO CACJ), Dr. Dian Rositawati (Tim Asistensi Pembaruan MARI) dan Dr. Edy Hudiata (Hakim Yustisial).Acara dibuka dengan sambutan dari Dr. Lucas Prakoso dilanjutkan dengan sambutan Justice (Ret) Rosmari Carandang sebagai Co-Chair CACJ, yang dilanjutkan dengan sambutan dari Ms. Pakakrong Sritongsook, Deputy Secretary-General Judicial Training Institute Representative of WG-JET Thailand, Dr. Rebecca Miller, Regional Coordinator, Human Trafficking and Migrant Smuggling, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Regional Office for Southeast Asia and the Pacific (ROSEAP), dan sambutan virtual dari H.E. Tiffany McDonald Duta Besar Australia kepada ASEAN.Workshop telah menyepakati untuk menyederhanakan 12 Modul yang saat ini ada pada Model for Professional Development for TIP menjadi 11 Modul. Sebagaimana diketahui, Model for Professional Development 2018 memuat Modul-Modul yang meliputi:Modul 1 – Pengantar TPPO.Modul 2 – Kerangka Hukum Nasional, Internasional Hukum Nasional, Preseden.Modul 3 – Pendidikan Publik dan Pemahaman.Modul 4 – Dukungan Korban.Modul 5 – Pengelolaan Korban.Modul 6 – Manajemen Perkara bagi Perkara TPPO.Modul 7 – Barang Bukti.Modul 8 – Hukum Acara Pidana TPPO.Modul 9 – Bantuan Timbal Balik/Kerjasama Hukum Internasional.Modul 10 – Penulisan Yudisial dan Analisis.Modul 11 – Kerjasama/Koordinasi antara Lembaga.Modul 12 – Hak-hak Para pihak.Adapun penyederhanaan meliputi penggabungan Modul 4 dan 5, serta memindahkan Modul 3 menjadi Modul 11. Selain itu juga Model Professional Development ini juga akan memasukkan elemen seperti penggunaan bukti elektronik, dan aspek Perlindungan Data Pribadi, untuk menyesuaikan dengan perkembangan terkini perkara TPPO.Penyusunan Modul ini akan dilanjutkan dengan serangkaian agenda sepanjang tahun 2025 dan 2026, yang akan terdiri dari Workshop Validasi Modul, yang sedianya akan dilaksanakan Minggu IV Juli 2025, dan dilanjutkan dengan Judicial Knowledge Exchange yang akan dilakukan 2 (dua) gelombang, dengan Lao PDR, Malaysia, Singapore, Thailand sebagai peserta pada gelombang pertama, dan Brunei, Cambodia, Myanmar, Vietnam sebagai peserta pada gelombang kedua. (as/ikaw/wi)

Jejak Perdagangan Orang Modus Kawin Kontrak di China Berakhir 4 Tahun Penjara

article | Berita | 2025-03-27 05:05:00

Jakarta- Warga Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar), Susanti (42) dihukum 4 tahun penjara. Sebab, Susanti terbukti mencoba memperdagangkan 3 wanita ke China dengan modus kawin kontrak. Bagaimana ceritanya?Hal itu terungkap dalam salinan putusan kasasi yang dikutip DANDAPALA, Kamis (27/3/2025). Di mana kasus bermula saat petugas Imigrasi  Bandara Soekarno-Hatta, Priya Alta Pradana memerika dokumen keimigrasian terhadap 3 WNI yaitu Salsa, Selvi dan Sakilah. Berdasarkan dokumen, ketiganya akan berangkat ke Shanghai lewat Guangzhou.Namun Priya Alta Pradana tidak percaya begitu saja. Ia menanyakan kepada ketiganya tujuan ke China dan mengaku akan menemui suaminya. Priya Alta Pradana lalu mencecar dokumen pernikahan dan ketiganya bisa menunjukannya.Tapi lagi-lagi Priya Alta Pradana tidak percaya dan meminta foto pernikahan mereka. Di sinilah kejanggalan ketiganya mulai terungkap. Sebab, ketiganya tidak bisa menunukan foto pernikahan mereka. Priya Alta Pradana yang sudah merasakan ada kejanggalan sehingga melakukan penundaan penerbangan kepada ketiaganya. “Lalu menyerahkan kepada Saksi Nungki Ariyanto (Petugas Imigrasi) untuk dilakukan pendalaman lebih lanjut,” demikian bunyi fakta hukum yang terungkap.Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, mereka akhirnya mengaku direkrut oleh Yunita, Didi Salim dan Susanti. Proses itu juga dibantu oleh Budiman Sapryadi, M Ridwan dan Suharto Sutjipto. Semua alur itu dibiayai oleh Fong Yu (DPO).“Sebelum diberangkatkan ke China, Salsa, Selvi dan Sakilah mengetahui identitas WNA China yang akan menikahinya namun hanya dijanjikan akan mendapatkan uang mahar sebesar Rp 30 juta dan uang sebesar Rp 5 juta setiap bulannya. Serta perhiasan emas, handphone, biaya perawatan dan biaya belanja apabila bersedia menjalani kawin kontrak dengan WNA China,” bebernya.Setelah itu, pihak Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta menyerahkan proses selanjutnya ke aparat kepolisian. Aparat bergerak dan mengambil nama-nama yang terlibat dalam kasus perdagangan orang tersebut. Susanti sendiri ditangkap di KFC Kisamaun, Tangerang pada 6 Oktober 2023.Dari penyidikan, didapati fakta hukum Yunita merekrut ketiga korban dengan mendapatkan upah Rp 5 juta. “Terdakwa berperan memberangkatkan tiga korban untuk melakukan kawin kontrak dengan wagna negara China dan memperoleh keuntungan sebesar Rp 13 juta per setiap orang,” urainya.Akhirnya komplotan itu diproses hingga ke pengadilan dengan berkas terpisah. Pada 6 Mei 2024, PN Tangerang menyatakan Susanti terbukti membantu atau melakukan percobaan untuk membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara. “Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan,” demikian bunyi putusan PN Tangerang.Putusan itu lalu dikuatkan di tingkat banding. Jaksa tidak terima dan mengajukan kasasi. Apa kata MA?“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kota Tangerang tersebut,” kata ketua majelis Dwiarso Budi Santiarto dengan anggota Hidayat Manao dan Sutarjo.  Adapun panitera pengganti Arman Surya Putra.MA menilai putusan PN Tangerang yang dikuatkan di tingkat banding sudah tepat dan benar. Majelis kasasi menyatakan Susanti terbukti membantu untuk membawa Warga Negara Indonesia ke luar wilayah negara dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia.“Sehingga perbuatan Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur Pasal 10 juncto Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, sebagaimana dakwaan Pertama Penuntut Umum,” kata majelis kasasi. Berkas kasus di atas bisa didownload link di bawah ini:https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/11f00a078e7641b6aff2313330303031.html

Laporan dari Bangkok: Ini 10 Rekomendasi UNODC Terhadap Proses Peradilan TPPO

article | Berita | 2025-03-16 15:10:34

Bangkok- Perdagangan manusia untuk tujuan mengeksploitasi korban dalam kegiatan kejahatan kriminal merupakan salah satu tren yang paling memprihatinkan di Asia Tenggara. Lalu apa rekomendasi United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) terhadap proses peradilan dalam memerangi tindak pidana perdagangan orang (TPPO)?Sebagaimana diketahui, fenomena di atas telah ada selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Tetapi sejak awal tahun 2021, skala dan cakupannya telah meningkat ke tingkat krisis. Laporan tentang korban yang dieksploitasi di tempat penampungan penipuan yang dibangun khusus di Kamboja, Republik Demokratik Rakyat Laos (PDR) dan Myanmar, serta Philipina, Malaysia, Vietnam, dan tempa tlain, terus bertambah. Korban telah diperdagangkan dari seluruh negara-negara ini dan juga dari wilayah lain, termasuk Asia Selatan, Asia Tengah, Afrika, dan Eropa. Para korban perdagangan manusia ini dipaksa untuk menipu orang di seluruh dunia, yang kemudian menarik perhatian, rasa frustrasi, dan bahkan kemarahan masyarakat internasional, yang semakin ingin melihat apayang dilakukan kawasan ASEAN untuk melindungi korban perdagangan manusia dan untuk memerangi kejahatan terorganisasi transnasional yang lebih luas di mana eksploitasi terhadap korban telah terjadi.United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC)atau Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan, mengundang perwakilan hakim dan jaksa dari kesembilan negara di Asia Tenggara, minus Myanmar untuk bersama-sama mendiskusikan pengalaman penegakan hukum, kendala yang dihadapi, dan solusi yang ditawarkan untuk mengurangi atau menanggulangi kejahatan tersebut. Menindaklanjuti undangan tersebut, Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Nunukan, Dewantoro dan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Pinang Dr Sayed Fauzan ditunjuk oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Ditjen Badilum MA) untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan lokakarya regional ini.Lokakarya itu digelar dalam Regional Workshop OnStrengthening Criminal Justice Response To Trafficking For Forced Criminality In Southeast Asia Region (Lokakarya Regional Tentang Penguatan Respon Peradilan Pidana Terhadap Perdagangan Manusia Untuk Kejahatan yang Dipaksa di Kawasan Asia Tenggara) pada 18-19 Februari 2025 di Bangkok, Thailand.UNODC menganalisis 15 putusan pidana yang penting dari negara-negara ASEAN dan mencoba mengkajinya dengan dasar hukum Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Kejahatan TerorganisasiTransnasional (the United Nations Convention against Transnational Organized Crime/UNTOC) dan Protokol tambahannya untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Manusia, TerutamaPerempuan dan Anak-anak (Protokol PerdaganganManusia) atau Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children(Trafficking in Persons Protocol), serta Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak (ASEAN Convention against Trafficking in Persons, Especially Women and Children/ACTIP).Lokakarya regional ini membahas bentuk ekspolitasi siapa saja yang dimasukkan dalam perundang-undangan tindak pidana pemberantasan perdagangan orang (TPPO) nasional; prinsip tidak menghukum korban (non-punishment principle) bagaimana cara mengidentifikasiantara korban TPPO yang dimanfaatkan untuk melakukan tindak pidana dengan korban TPPO yang kemudian berubah menjadi pelaku TPPO; analisis profil pelaku dan korban; klasifikasi kejahatan pelaku di berbagai negara dengan cara membuktikan actus reus dan mens reaTPPO; bagaimana cara membedakan antara perdagangan manusia dengan migrasi tenaga kerja; dan penggunaan kontrak perjanjian kerja oleh pelaku untukmenjerat korban TPPO agar tidak melaporkan TPPO. Lokakarya ini menginginkan bagaimana caranya para penegak hukum peradilan pidana dapat mengungkap pelaku yang mempunyai derajat paling tinggi dalammelakukan TPPO; perlunya Teknik investigasi khusus seperti penggunaan informan, penyadapan atau operasi penyamaran untuk mengungkap TPPO dalam kejahatan yang terorganisasi. Dalam menganalisa kasus, Lokakarya ini mengajarkan agar pengadilan di ASEAN tidak hanya mendasarkan pembuktian atas keterangan saksi karena adanya keraguan akan kebenaran keterangan saksi dan inkonsistensi kesaksian korban. Perlunya analisis mendalam terhadap bukti dokumen dan bukti fisik. Pengadilan diharapkan menjelaskan bagaimana alasan yang memberatkan dan alasan yang meringankan dapat berkorelasi jelas terhadap jenis dan jumlah pengenaan pidana bagi terdakwa. Dalam kasus di mana terdakwanya diminta membayar restitusi atau kompensasi, tindakan harus diambil untuk memastikan bahwa aset pelaku dicari sehingga korban perdagangan manusia dapat diberi kompensasi yang sesuai. Jika hal ini tidak memungkinkan, maka harus jelas bagaimana kompensasi dan restitusiakan diperoleh. Jika orang-orang yang didakwamelakukan tindak pidana perdagangan manusia memiliki sedikit aset, jaksa harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa mereka tidak hanya mengejar pelaku utama yang terlibat, namun juga mengejar mereka yang telah memperoleh keuntungan paling signifikan dari eksploitasi korban. Dok. PenulisDalam kasus seperti itu, jaksa harus memeriksa teori dan ruang lingkup kasus mereka untuk memastikan bahwa hal itu mencakup melampaui keraguan yang wajar dari seluruh pelaku kejahatan inti, sehingga aset para pelaku tersebut dapat dicari.Di beberapa negara ASEAN, korban TPPO tidak dapat diajak bekerja sama untuk mengungkap siapa pelaku sesungguhnya karena ada ancaman tuntutanhukum SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), yang menimbulkan kekhawatiran khusus bagi negara-negara yang mencoba untuk membawa penjahat level tinggi ke pengadilan dan menegakkan prinsip non-hukuman bagi korban. Terakhir, Lokakarya ini menekankan perdagangan manusia, sebagai kejahatan terorganisasi transnasional, melibatkan bukti lintas berbagai yurisdiksi. Pelaku memanfaatkan ketidakmampuan atau keengganan negara untuk bekerjasama agar dapat menikmati impunitas. Meskipun beberapa negara memiliki yurisdiksi atas perdagangan manusia yang terjadi di negara tujuan yang disebutkan dalam kasus-kasus yang dianalisis, kasus-kasus ini tidak mencerminkan upaya negara untuk bekerja sama dalam membawa pelaku yang berkuasa ke pengadilan. Negara-negara harus mempertimbangkan cara menjalankan yurisdiksi ekstrateritorial mereka atas para pelaku perdagangan manusia untuk menangkap penjahat terorganisasi di seluruh rantai perdagangan manusia dan hingga ke tingkat paling senior di negara tujuan yang paling banyak mendapat keuntungan dari perdagangan manusia dalam operasi penipuan, termasuk melalui penggunaan bantuan hukum timbal balik dan ekstradisi.Di akhir kegiatan, UNODC merekomendasikan kepada setiap perwakilan dalam melakukan proses peradilan pidana terhadap kasus TPPO untuk kejahatan paksa, untuk:Menafsirkan dan menerapkan peraturan perundang-undangan dalam negeri sesuai dengan hukum regional dan internasional.Menjelaskan bagaimana unsur fisik dan mental dari'perdagangan manusia' telah terbukti melampaui keraguan yang wajar.Menjelaskan bentuk eksploitasi yang menjadi tujuan perdagangan manusia.Menjelaskan bagaimana unsur-unsur 'partisipasi dalam kejahatan terorganisir' telah terbukti.Memperjelas bagaimana prinsip non-hukuman telah ditafsirkan dan diterapkan.Memberikan hukuman yang mempertimbangkan beratnya pelanggaran.Menjelaskan bagaimana perintah restitusi dan kompensasi telah dihitung dan ditegakkan.Mengumpulkan dan menggunakan bukti untuk mengejar pelaku kejahatan pada tingkat tertinggi organisasi. Melakukan penuntutan terhadap setiap subjek hukum yang terlibat dalam perdagangan orang untuk melakukan tindak pidana.Bekerjasama secara internasional dalam melawan kasus perdagangan manusia lintas negara

Kasus TPPO, Safiq Dihukum 8 Tahun Penjara dan Restitusi Rp 129 Juta

article | Sidang | 2025-01-15 07:10:19

Lebak- Pengadilan Negeri (PN) Rangkasbitung menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara kepada Safiq dan 6 tahun penjara kepada Abay Sobariah. Keduanya dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO)." Para Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Turut Serta Melakukan Percobaan Membawa Warga Negara Indonesia ke luar Wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk di Eksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia” sebagaimana Dakwaan Tunggal Penuntut Umum," kata ketua majelis hakim saat membacakan putusan Selasa (14/1/2025).Duduk sebagai ketua majelis Novita Witri,  dengan hakim anggota Wahyu Iswantoro dan Sarai Dwi Sartika." Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I SAFIQ Bin NUR MUHAMMAD dengan pidana penjara selama 8 tahun dan Terdakwa II ABAY SOBARIAH Binti MADHALIM JASI dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda kepada masing-masing Terdakwa sebesar Rp 250 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan kurungan," ucap majelis.Selain itu, kedua terdakwa juga dibenani untuk membayar Restitusi secara tanggung renteng sebesar Rp.129.732.000 kepada Para Saksi Korban dengan rincian sebagai berikut:- Saksi Korban Ningsih Amanda Putri sebesarRp.32.985.000 berdasarkan Surat Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban No.A.2752.R/KEP/SMP-LPSK/IX Tahun 2024tanggal 02 September 2024 tentang Penilaian Ganti Rugi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban);- Saksi Korban Remiwati sebesarRp.32.170.000,00 (tiga puluh dua juta seratus tujuh puluh ribu rupiah) berdasarkan Surat Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban No.A.2753.R/KEP/SMP-LPSK/IX Tahun 2024tanggal 02 September 2024 tentang Penilaian Ganti Rugi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban);- Saksi Korban Raodah sebesar Rp.32.125.000,00(tiga puluh dua juta seratus dua puluh lima ribu rupiah) (berdasarkan Surat Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban No.A.2754.R/KEP/SMP-LPSK/IX Tahun 2024tanggal 02 September 2024 tentang Penilaian Ganti Rugi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban);- Saksi Korban Ayu sebesar Rp.32.452.000,00(tiga puluh dua juta empat ratus lima puluh dua  ribu rupiah) (berdasarkan Surat Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban No.A.2755.R/KEP/SMP-LPSK/IX Tahun 2024tanggal 02 September 2024 tentang Penilaian Ganti Rugi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban);"Dengan ketentuan apabila dalam waktu 30 hari setelah Putusan berkekuatan hukum Para Terdakwa tetap tidak membayar, maka harta benda miliknya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar restitusi dan apabila hartanya tidak mencukupi untuk membayar restitusi tersebut, maka kepada Para Terdakwa dikenakan pidana pengganti berupa pidana penjara masing-masing selama 6 (enam) bulan," ucap majelis.