Cari Berita

Meneropong Intervensi dalam Praktik

article | Opini | 2025-06-04 08:15:44

Intervensi diartikan secara umum dalam praktik adalah masuknya pihak ketiga baik oleh karena inisiatif sendiri maupun karena ditarik oleh pihak asal ke dalam sebuah perkara yang sedang disidangkan. Masuknya pihak ketiga ini karena memiliki kepentingan dengan sengketa yang sedang diperiksa di persidanganDasar hukum masuknya pihak ketiga ke dalam sebuah perkara sampai dengan saat ini masih merujuk kepada Bagian Ke-17 Penggabungan dan Penengahan mulai Pasal 279 sampai dengan Pasal 282 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering  atau Rv):Pasal 279 Rv mengatur : “Barangsiapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain dapat menuntut untuk menggabungkan diri atau campur tangan”;Pasal 280 Rv mengatur : “Tindakan-tindakan ini dilakukan dengan surat permohonan pada hari sidang yang telah ditetapkan sebelum atau pada waktu kesimpulan terakhir diambil dalam perkara yang sedang berjalan. Dalam perkara yang diperiksa berdasarkan surat-surat, tindakan itu dilakukan dengan pemberitahuan kepada para pihak disertai pemanggilan mereka untuk menghadap di sidang pengadilan”;Pasal 281 mengatur : “Surat permohonan, yang sekaligus berisi pengangkatan seorang pengacara, memuat nama kecil, nama dan tempat tinggal yang mengajukan permohonan serta dasar alasan permohonan iiu diajukan, semua dengan ancaman batal. Ia dianggap telah memilih tempat tinggal pada pengacaranya, kecuali jika dalam surat permohonannya ia menyatakan memilih tempat tinggal lain”;Pasal 282 mengatur : “Jika hakim yang memutus permohonan itu memerintahkan para pihak untuk melanjutkan perkaranya, maka dalam putusan yang sama itu ditentukan pula kepada mereka harus menghadap di muka persidangan untuk melanjutkan perkaranya itu”Intervensi, dalam praktik dikenal terdapat 3 jenis berdasarkan kepentingan dan tujuan mereka dalam perkara tersebut, yakni:Tussenkomst, adalah pihak ketiga yang masuk ke dalam sebuah perkara untuk membela kepentingannya dengan cara menggugat pihak-pihak asal dalam perkara tersebut baik Penggugat maupun Tergugat;Voeging, adalah pihak ketiga yang masuk ke dalam sebuah perkara untuk membela kepentingannya dengan cara bergabung dengan salah satu pihak dalam perkara asal baik bergabung dengan Penggugat maupun Tergugat;Vrijwaring, adalah pihak ketiga yang masuk ke dalam sebuah perkara untuk membela kepentingannya dengan cara ditarik oleh salah satu pihak dalam perkara asal baik oleh Penggugat maupun Tergugat.Intervensi sebagai pihak yang diakui keberadaannya oleh hukum acara perdata kita, namun aturan-aturan hukum belum ada yang merinci bagaimana persidangan memperlakukan seorang Intervenient mulai protokol ketika masuk di persidangan hingga penghitungan biaya perkara yang harus dikeluarkan seorang intervenient.Pembahasan mengenai intervensi ini akan Penulis kupas sesuai urut-urutan persidangan sebagai berikut:●     Waktu masuknya intervenientBerdasarkan ketentuan Pasal 280 Rv, seorang calon Intervenient dapat masuk ke dalam perkara pokok pada saat sebelum atau pada saat KESIMPULAN ;Dengan kata lain apabila terdapat sebuah persidangan yang memasuki tahap penyampaian Kesimpulan, lalu ada pihak Intervenient yang masuk, maka berdasarkan ketentuan Pasal 280 Rv, Penulis berpendapat: kita dapat menerima Kesimpulan para pihak dalam perkara pokok terlebih dahulu, lalu menerima permohonan intervensi dari Intervenient●     Cara masuk intervenientMengenai cara masuknya seorang calon Intervenient, oleh karena belum ada aturan yang mengatur hal ini, terdapat 2 cara yang berkembang yakni:Calon Intervenient membayar panjar biaya perkara terlebih dahulu di Kepaniteraan Perdata, kemudian hadir di persidangan dan mengajukan permohonan intervensi kepada Majelis Hakim pada saat persidangan.Calon Intervenient menghadiri persidangan, lalu menginterupsi persidangan dan mengajukan permohonan intervensi kepada Majelis Hakim pada saat persidangan hari tersebut hendak ditutup oleh Majelis Hakim.Kemudian pertanyaan selanjutnya, apakah terkait permohonan intervensi tersebut, kepada para pihak asal diberikan kesempatan untuk menanggapi?Kembali lagi oleh karena belum ada aturan mengenai Intervensi secara rinci, terkait hal ini ada 2 pendapat yang berkembang juga yakni:Memberikan kesempatan kepada para pihak dalam perkara asal untuk menanggapi;Untuk permohonan yang mendefinisikan dirinya sebagai Tussenkomst (menggugat), tidak diperlukan tanggapan dari para pihak asal, namun apabila permohonannya mendefinisikan diri sebagai Voeging (bergabung) dan atau sebagai Vrijwaring (ditarik), Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada para pihak dalam perkara asal untuk menanggapi.Setelah ada permohonan dari calon Intervenient tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 282 Rv, maka Majelis Hakim harus memutusnya dalam sebuah Putusan, oleh karena Putusan dalam sebuah perkara hanya ada 1 yakni pada Putusan Akhir, maka putusan mengenai dapat masuknya atau tidak Calon Intervenient ke dalam perkara pokok harus dituangkan ke dalam sebuah putusan sela.Mengenai point cara masuknya Intervenient ini, Penulis berpendapat sebagai berikut:Berdasarkan ketentuan Pasal 280 Rv, dimana surat yang diajukan oleh Calon Intervenient adalah berupa Surat Permohonan dan belum berbentuk surat Gugatan (apabila ia sebagai Tussenkomst) yang diajukan di dalam sebuah persidangan, sehingga Penulis lebih condong memilih kepada pendapat mengenai cara Calon Intervenient masuk adalah dengan menginterupsi persidangan dan belum mendaftarkan diri dengan cara membayar panjar biaya perkara di Kepaniteraan. Setelah Majelis Hakim memutuskan calon intervenient dapat masuk ke dalam perkara asal, maka setelah itu berdasarkan penafsiran Pasal 282 Rv, baru diperintahkan untuk mengikuti persidangan dimana untuk dapat mengikuti persidangan salah satu syaratnya adalah dengan cara membayar panjar biaya perkara.Dalam Amar Putusan Sela Majelis Hakim, Penulis mengusulkan penyebutan pihak Intervensi tussenkomst sebagai PENGGUGAT INTERVENSI. Voeging sebagai PENGGUGAT II/TERGUGAT II ( Tergantung Jumlah Pihak dalam perkara tersebut, dimana pihak Intervenient sebagai pihak yang terakhir dalam posisi dimana ia bergabung). Vrijwaring sebagai PENGGUGAT II/TERGUGAT II (Tergantung Jumlah Pihak dalam perkara tersebut, dimana pihak Intervenient sebagai pihak yang terakhir dalam posisi dimana ia ditarik.Mengenai kesempatan para pihak asal menanggapi permohonan calon intervenient, Penulis berpendapat, apabila permohonan masuk sebagai Tussenkomst, maka menjadi hak prerogatif Majelis Hakim untuk menilai, tetapi apabila permohonan masuk sebagai Voeging atau Vrijwaring maka diperlukan pendapat dari para pihak dalam perkara asal.●     Ketika masukKetika permohonan intervensi diajukan oleh Calon Intervenient, maka perkara pokok harus dihentikan terlebih dahulu, misal tahapan dalam perkara pokok sudah sampai pada Pemeriksaan Saksi dari Tergugat, maka acara untuk selanjutnya harus di pending, menunggu perkara intervensi sampai pada tahapan pemeriksaan Saksi juga.Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a point c, Peraturan MA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, terhadap adanya Intervensi tidak diperlukan Mediasi.  Pada saat setelah Pihak Intervensi Tussenkomst masuk ke dalam Persidangan, ia harus menyusun Surat Gugatan dan membacakannya di persidangan karena surat yang diajukan pada saat hendak masuk masih berupa permohonan, untuk kemudian Gugatan Intervensi tersebut harus dijawab oleh para Tergugat Dalam Intervensi.Yang menjadi pertanyaan bagaimana apabila Intervensi yang diajukan sebagai Voeging atau Vrijwaring?Menurut pendapat Penulis, untuk intervensi yang bersifat Voeging dan Vrijwaring apabila ia bergabung atau ditarik sebagai pihak Penggugat, maka ia tetap wajib membuat surat Gugatan, lain halnya apabila ia bergabung atau ditarik sebagai pihak Tergugat, maka tidak ada surat gugatan yang harus disusun●     PutusanPendapat Penulis sebagai berikut:Dalam Putusan terkait Intervensi Tussenkomst, kita harus membagi Putusan menjadi 2 bagian, yakni dalam perkara asal dan dalam intervensi karena apabila sebagai Tussenkomst kedudukan Penggugat dan Tergugat adalah sebagai pihak yang digugat oleh Pihak Penggugat IntervensiMengenai biaya perkara khususnya Tussenkomst oleh karena ia harus membiayai perkara yang diajukan, maka kepadanya wajib untuk membayar biaya perkara, terkait Voeging atau Vrijwaring sebagaimana hal sebelumnya, apabila ia berkedudukan sebagai Penggugat, maka kepadanya juga harus diperlakukan sebagai Penggugat pada umumnya termasuk mengenai kewajiban untuk membayar biaya perkara, sedangkan apabila berkedudukan sebagai Tergugat, maka ia juga harus diperlakukan sebagai Tergugat pada umumnya.KESIMPULAN:Apa yang Penulis sampaikan ini adalah apa yang pernah Penulis praktikkan selama bertugas sebagai Hakim, kemungkinan perbedaan pendapat baik antar Hakim maupun antar Pengadilan akan sangat mungkin terjadi, hal ini dikarenakan belum adanya aturan yang mengatur secara rinci mengenai Intervensi. Selama ini mengenai penerapan dalam praktik persidangan diserahkan kepada kebijaksanaan Majelis yang bersidang.SARAN: Mendorong kiranya Mahkamah Agung segera menyusun Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur mengenai Hukum Acara Intervensi guna mengisi kekosongan hukum. (asn/fac)

Intervensi dan Permasalahannya di Pengadilan

article | Opini | 2025-05-07 13:30:32

Dalam praktik peradilan perdata, dikenal suatu tindakan hukum oleh pihak ketiga yang merasa haknya terganggu atas suatu gugatan yang dikenal dengan istilah Intervensi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Intervensi adalah campur tangan dalam perselisihan antara dua pihak (orang, golongan, negara, dan sebagainya). Intervensi tidak diatur dalam HIR, RBg, ataupun Undang-Undang khusus sehingga berdasarkan Pasal 1 aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk menigisi kekosongan hukum terhadap perkara Intervensi maka digunakanlah beberapa aturan diantaranya Pasal 70 RV dan 279 RV sebagai dasar hukum Intervensi di Pengadilan Indonesia sampai saat sekarang ini.Setelah melihat penegertian dan beberapa dasar hukum yang terdapat dalam RV terkait intervensi tersebut maka jelaslah terlihat bahwa diantara perselisihan dua pihak, ada pihak ketiga yang memiliki hak atau punya peran yang seharusnya hadir di dalam perkara tersebut akan tetapi belum diikutsertakan, pada praktiknya intervensi dibagi atas 3 (tiga) jenis atau bentuk intervensi yakni:Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada salah satu pihak; salah satu mantan Hakim Agung A. Mukti Arto memberikan pendapat terhadap pihak dalam voeging memiliki syarat-syarat yang diperlukan agar dapat ditetapkan sebagai pihak antara laim a) permintaan masuk sebagai pihak berisi tuntutan hak tertentu, b) adanya kepentingan hukum langsung dari pihak ketiga yang ingin dilindungi dengan mendukung salah satu pihak berperkara; dan c) kepentingan tersebut harus memiliki keterkaitan dengan pokok perkara yang sedang diperiksa.Tussenkomst adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara pokok atas dasar inisiatif sendiri karena ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi jenis ini diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat;Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat), karakteristik vrijwaring sebagai berikut a) esensinya merupakan penggabungan tuntutan, b) salah satu pihak yang bersengketa, dalam hal ini tergugat menarik pihak ketiga ke dalam sengketa yang dihadapi, c) keikutsertaan pihak ketiga timbul karena paksaan, bukan karena inisiatif sendiri.PROSEDUR INTERVENSI DAN BERBAGAI PERMASALAHAN INTERVENSI DALAM PRAKTIK PERADILANPada praktik intervensi saat ini, prosedur beracara intervensi pun berubah, dengan adanya e-Court maka sebagaimana kita ketahui dalam SK KMA 363/KMA/SK/XJJ/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik pada huruf C nomor 6 terkait gugatan intervensi huruf a sampai dengan k memuat dengan jelas prosedur gugatan intervensi yang mana pihak ketiga gugatan intervensi wajib memenuhi persyaratan sebagai pengguna terdaftar dan/atau pengguna lain dan segala sesuatu yang berkaitan dengan intervensi semuanya melalui e-Court mulai dari pendaftaran, pemberitahuan kepada pihak, sampai dengan ditutupnya akses pihak intervensi dalam e-Court apabila ditolak oleh Majelis Hakim.         Namun dalam praktik persidangan muncul permasalahan berkaitan dengan intervensi. Apakah semua Hakim punya kesamaan presepsi dalam mengambil keputusan dalam beberapa permasalahan diantaranya sebagai berikut:Apabila pihak intervenient telah diterima dan agenda sidang telah melewati jawab-jinawab, akan tetapi pihak Penggugat dalam perkara pokok mencabut gugatan dan Tergugat menyetujui pencabutan tersebut, apakah pihak Intervenient perlu dimintakan persetujuan atau tidak? Setelah penulis melakukan diskusi dan tanya jawab kepada beberapa Hakim, ditemukan pula 2 pendapat dalam mengambil tindakan pada kasus tersebut.Pandangan pertama berpendapat bahwa pihak intervenient tidak perlu dimintakan persetujuan oleh karena pada prinsipnya perkara intervensi tidak dapat berdiri sendiri sehingga apabila pokok perkara dicabut maka intervensi secara otomatis juga hilang;Pandangan kedua berpendapat bahwa pihak intervenient tetap perlu dimintakan persetujuan oleh karena telah diakui sebagai pihak dalam perkara tersebut melalui pemeriksaan yang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim sehingga pencabutan tetap meminta persetujuan intervenient.Apabila terdapat perdamaian antara Penggugat dan Tergugat dalam perkara pokok, bagaimana dengan perkara intervensinya?Apabila terjadi seperti pertanyaan di atas maka langkah apa yang sebaiknya diambil oleh Majelis Hakim. Apakah Majelis Hakim dapat menganggap hal tersebut sebagai kabul sebagian sehingga dibuatkan acta van dading atau Majelis Hakim dapat memberikan nasihat sebagaimana Pasal 132 HIR/156 RBg kepada para pihak agar perkara tersebut dicabut sehingga apabila nantinya intervenient tetap merasa haknya dilanggar dapat mengajukan gugatan sendiri sehingga asas sederhana, cepat, dan biaya ringan tetap berjalan. Namun juga menjadi permasalahan apabila pihak Penggugat dan Tergugat tetap berkeinginan mendapatkan suatu acta van dading sehingga menjadi sebuah kerancuan terhadap posisi pihak intervenient sendiri dalam perkara tersebut, apakah dianggap secara otomatis hilang atau dapat mengambil langkah progresif dengan membuat acta van dading yang isinya juga memuat terkait pencabutan perkara intervensi itu sendiri.KESIMPULAN/PENUTUPPenulis sendiri berpendapat, bahwa untuk permasalahan nomor 1 setuju dengan pendapat pertama yang mana oleh karena pada prinsip dasarnya bahwa intervensi tidak dapat berdiri sendiri maka pihak intervenient tidak perlu dimintai persetujuan saat pencabutan gugatan. Selain itu juga terhadap permasalahan nomor 1 dan 2, demi terciptanya asas sederhana, cepat, dan biaya ringan serta terkait dengan upaya hukum yang harus dilakukan oleh pihak intervenient karena nantinya apabila intervensi dilanjutkan maka tidak akan dapat dilakukan upaya hukum banding, dikarenakan perkara pokok telah selesai dengan adanya perdamaian. Sehingga lebih tepat apabila diberikan nasihat kepada pihak untuk mencabut gugatan apabila penggugat dan tergugat sudah berdamai. Dari beberapa permasalahan di atas, masih terdapat perbedaan pendapat diantara beberapa Hakim yang mana seharusnya hal ini dapat dijadikan satu pendapat yang sama sehingga tidak adanya perbedaan dalam mengambil keputusan dalam kasus posisi yang benar-benar sama. SK KMA 363/KMA/SK/XJJ/2022 hanya menyamakan presepsi terkait prosedural yang sudah tidak relevan lagi apabila melihat RV, akan tetapi tidak mengakomodir permasalahan teknis yudisial yang dijabarkan di atas, sehingga penulis berpendapat solusi atas permasalahan tersebut adalah dengan membentuk suatu Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai pedoman tersendiri terkait intervensi atau melalui rapat pleno kamar, sehingga dapat menjadi pedoman bagi Hakim tingkat pertama khususnya dan Pengadilan dibawah Mahkamah Agung untuk dapat memiliki satu presepsi tanpa adanya perbedaan pendapat yang menyebabkan adanya disparitas penanganan masalah teknis terkait intervensi. (EES, FAC, MCNB)