Cari Berita

Intervensi dan Permasalahannya di Pengadilan

Indra Tua Hasangapon Harahap, SH, MH (Hakim PN Tolitoli) - Dandapala Contributor 2025-05-07 13:30:32
Dok. Penulis

Dalam praktik peradilan perdata, dikenal suatu tindakan hukum oleh pihak ketiga yang merasa haknya terganggu atas suatu gugatan yang dikenal dengan istilah Intervensi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Intervensi adalah campur tangan dalam perselisihan antara dua pihak (orang, golongan, negara, dan sebagainya). Intervensi tidak diatur dalam HIR, RBg, ataupun Undang-Undang khusus sehingga berdasarkan Pasal 1 aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk menigisi kekosongan hukum terhadap perkara Intervensi maka digunakanlah beberapa aturan diantaranya Pasal 70 RV dan 279 RV sebagai dasar hukum Intervensi di Pengadilan Indonesia sampai saat sekarang ini.

Setelah melihat penegertian dan beberapa dasar hukum yang terdapat dalam RV terkait intervensi tersebut maka jelaslah terlihat bahwa diantara perselisihan dua pihak, ada pihak ketiga yang memiliki hak atau punya peran yang seharusnya hadir di dalam perkara tersebut akan tetapi belum diikutsertakan, pada praktiknya intervensi dibagi atas 3 (tiga) jenis atau bentuk intervensi yakni:

  1. Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada salah satu pihak; salah satu mantan Hakim Agung A. Mukti Arto memberikan pendapat terhadap pihak dalam voeging memiliki syarat-syarat yang diperlukan agar dapat ditetapkan sebagai pihak antara laim a) permintaan masuk sebagai pihak berisi tuntutan hak tertentu, b) adanya kepentingan hukum langsung dari pihak ketiga yang ingin dilindungi dengan mendukung salah satu pihak berperkara; dan c) kepentingan tersebut harus memiliki keterkaitan dengan pokok perkara yang sedang diperiksa.
  2. Tussenkomst adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara pokok atas dasar inisiatif sendiri karena ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi jenis ini diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat;
  3. Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat), karakteristik vrijwaring sebagai berikut a) esensinya merupakan penggabungan tuntutan, b) salah satu pihak yang bersengketa, dalam hal ini tergugat menarik pihak ketiga ke dalam sengketa yang dihadapi, c) keikutsertaan pihak ketiga timbul karena paksaan, bukan karena inisiatif sendiri.

PROSEDUR INTERVENSI DAN BERBAGAI PERMASALAHAN INTERVENSI DALAM PRAKTIK PERADILAN

Pada praktik intervensi saat ini, prosedur beracara intervensi pun berubah, dengan adanya e-Court maka sebagaimana kita ketahui dalam SK KMA 363/KMA/SK/XJJ/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik pada huruf C nomor 6 terkait gugatan intervensi huruf a sampai dengan k memuat dengan jelas prosedur gugatan intervensi yang mana pihak ketiga gugatan intervensi wajib memenuhi persyaratan sebagai pengguna terdaftar dan/atau pengguna lain dan segala sesuatu yang berkaitan dengan intervensi semuanya melalui e-Court mulai dari pendaftaran, pemberitahuan kepada pihak, sampai dengan ditutupnya akses pihak intervensi dalam e-Court apabila ditolak oleh Majelis Hakim.

Baca Juga: In Memoriam Lilik Mulyadi: Penulis, Akademisi, dan Sang Pengadil

         Namun dalam praktik persidangan muncul permasalahan berkaitan dengan intervensi. Apakah semua Hakim punya kesamaan presepsi dalam mengambil keputusan dalam beberapa permasalahan diantaranya sebagai berikut:

Apabila pihak intervenient telah diterima dan agenda sidang telah melewati jawab-jinawab, akan tetapi pihak Penggugat dalam perkara pokok mencabut gugatan dan Tergugat menyetujui pencabutan tersebut, apakah pihak Intervenient perlu dimintakan persetujuan atau tidak? Setelah penulis melakukan diskusi dan tanya jawab kepada beberapa Hakim, ditemukan pula 2 pendapat dalam mengambil tindakan pada kasus tersebut.

  1. Pandangan pertama berpendapat bahwa pihak intervenient tidak perlu dimintakan persetujuan oleh karena pada prinsipnya perkara intervensi tidak dapat berdiri sendiri sehingga apabila pokok perkara dicabut maka intervensi secara otomatis juga hilang;
  2. Pandangan kedua berpendapat bahwa pihak intervenient tetap perlu dimintakan persetujuan oleh karena telah diakui sebagai pihak dalam perkara tersebut melalui pemeriksaan yang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim sehingga pencabutan tetap meminta persetujuan intervenient.

Apabila terdapat perdamaian antara Penggugat dan Tergugat dalam perkara pokok, bagaimana dengan perkara intervensinya?

Apabila terjadi seperti pertanyaan di atas maka langkah apa yang sebaiknya diambil oleh Majelis Hakim. Apakah Majelis Hakim dapat menganggap hal tersebut sebagai kabul sebagian sehingga dibuatkan acta van dading atau Majelis Hakim dapat memberikan nasihat sebagaimana Pasal 132 HIR/156 RBg kepada para pihak agar perkara tersebut dicabut sehingga apabila nantinya intervenient tetap merasa haknya dilanggar dapat mengajukan gugatan sendiri sehingga asas sederhana, cepat, dan biaya ringan tetap berjalan. Namun juga menjadi permasalahan apabila pihak Penggugat dan Tergugat tetap berkeinginan mendapatkan suatu acta van dading sehingga menjadi sebuah kerancuan terhadap posisi pihak intervenient sendiri dalam perkara tersebut, apakah dianggap secara otomatis hilang atau dapat mengambil langkah progresif dengan membuat acta van dading yang isinya juga memuat terkait pencabutan perkara intervensi itu sendiri.

KESIMPULAN/PENUTUP

Penulis sendiri berpendapat, bahwa untuk permasalahan nomor 1 setuju dengan pendapat pertama yang mana oleh karena pada prinsip dasarnya bahwa intervensi tidak dapat berdiri sendiri maka pihak intervenient tidak perlu dimintai persetujuan saat pencabutan gugatan. Selain itu juga terhadap permasalahan nomor 1 dan 2, demi terciptanya asas sederhana, cepat, dan biaya ringan serta terkait dengan upaya hukum yang harus dilakukan oleh pihak intervenient karena nantinya apabila intervensi dilanjutkan maka tidak akan dapat dilakukan upaya hukum banding, dikarenakan perkara pokok telah selesai dengan adanya perdamaian. Sehingga lebih tepat apabila diberikan nasihat kepada pihak untuk mencabut gugatan apabila penggugat dan tergugat sudah berdamai.

Baca Juga: Kode Etik Hakim: Ibarat Perahu Di Tengah Badai

Dari beberapa permasalahan di atas, masih terdapat perbedaan pendapat diantara beberapa Hakim yang mana seharusnya hal ini dapat dijadikan satu pendapat yang sama sehingga tidak adanya perbedaan dalam mengambil keputusan dalam kasus posisi yang benar-benar sama. SK KMA 363/KMA/SK/XJJ/2022 hanya menyamakan presepsi terkait prosedural yang sudah tidak relevan lagi apabila melihat RV, akan tetapi tidak mengakomodir permasalahan teknis yudisial yang dijabarkan di atas, sehingga penulis berpendapat solusi atas permasalahan tersebut adalah dengan membentuk suatu Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai pedoman tersendiri terkait intervensi atau melalui rapat pleno kamar, sehingga dapat menjadi pedoman bagi Hakim tingkat pertama khususnya dan Pengadilan dibawah Mahkamah Agung untuk dapat memiliki satu presepsi tanpa adanya perbedaan pendapat yang menyebabkan adanya disparitas penanganan masalah teknis terkait intervensi. (EES, FAC, MCNB)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum