Dalam praktik peradilan
perdata, dikenal suatu
tindakan hukum oleh pihak ketiga yang merasa haknya
terganggu atas suatu gugatan yang
dikenal dengan istilah Intervensi. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Intervensi adalah campur tangan dalam perselisihan antara dua
pihak (orang, golongan, negara, dan sebagainya). Intervensi tidak diatur dalam
HIR, RBg, ataupun Undang-Undang khusus sehingga berdasarkan Pasal 1 aturan
peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk menigisi
kekosongan hukum terhadap perkara Intervensi maka digunakanlah beberapa aturan
diantaranya Pasal 70 RV dan 279 RV sebagai dasar hukum Intervensi di Pengadilan
Indonesia sampai saat sekarang ini.
Setelah melihat penegertian dan beberapa dasar hukum yang
terdapat dalam RV terkait intervensi tersebut maka jelaslah terlihat bahwa
diantara perselisihan dua pihak, ada pihak ketiga yang memiliki hak atau punya
peran yang seharusnya hadir di dalam perkara tersebut akan tetapi belum
diikutsertakan, pada praktiknya intervensi dibagi atas 3 (tiga)
jenis atau bentuk intervensi yakni:
- Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada salah satu pihak; salah satu mantan Hakim Agung A. Mukti Arto memberikan pendapat terhadap pihak dalam voeging memiliki syarat-syarat yang diperlukan agar dapat ditetapkan sebagai pihak antara laim a) permintaan masuk sebagai pihak berisi tuntutan hak tertentu, b) adanya kepentingan hukum langsung dari pihak ketiga yang ingin dilindungi dengan mendukung salah satu pihak berperkara; dan c) kepentingan tersebut harus memiliki keterkaitan dengan pokok perkara yang sedang diperiksa.
- Tussenkomst adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara pokok atas dasar inisiatif sendiri karena ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi jenis ini diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat;
- Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat), karakteristik vrijwaring sebagai berikut a) esensinya merupakan penggabungan tuntutan, b) salah satu pihak yang bersengketa, dalam hal ini tergugat menarik pihak ketiga ke dalam sengketa yang dihadapi, c) keikutsertaan pihak ketiga timbul karena paksaan, bukan karena inisiatif sendiri.
PROSEDUR INTERVENSI DAN BERBAGAI
PERMASALAHAN INTERVENSI DALAM PRAKTIK PERADILAN
Pada praktik
intervensi saat ini, prosedur beracara intervensi pun berubah, dengan adanya e-Court
maka sebagaimana kita ketahui dalam SK KMA 363/KMA/SK/XJJ/2022 tentang Petunjuk
Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata
Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik pada huruf C nomor 6 terkait
gugatan intervensi huruf a sampai dengan k memuat dengan jelas prosedur gugatan
intervensi yang mana pihak ketiga gugatan intervensi wajib memenuhi persyaratan
sebagai pengguna terdaftar dan/atau pengguna lain dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan intervensi semuanya melalui e-Court mulai dari
pendaftaran, pemberitahuan kepada pihak, sampai dengan ditutupnya akses pihak
intervensi dalam e-Court apabila ditolak oleh Majelis Hakim.
Baca Juga: In Memoriam Lilik Mulyadi: Penulis, Akademisi, dan Sang Pengadil
Namun dalam praktik persidangan muncul permasalahan berkaitan dengan intervensi. Apakah semua Hakim punya kesamaan presepsi dalam mengambil keputusan dalam beberapa permasalahan diantaranya sebagai berikut:
Apabila pihak intervenient telah diterima dan agenda sidang telah melewati jawab-jinawab, akan tetapi pihak Penggugat dalam perkara pokok mencabut gugatan dan Tergugat menyetujui pencabutan tersebut, apakah pihak Intervenient perlu dimintakan persetujuan atau tidak? Setelah penulis melakukan diskusi dan tanya jawab kepada beberapa Hakim, ditemukan pula 2 pendapat dalam mengambil tindakan pada kasus tersebut.
- Pandangan pertama berpendapat bahwa pihak intervenient tidak perlu dimintakan persetujuan oleh karena pada prinsipnya perkara intervensi tidak dapat berdiri sendiri sehingga apabila pokok perkara dicabut maka intervensi secara otomatis juga hilang;
- Pandangan kedua berpendapat bahwa pihak intervenient tetap perlu dimintakan persetujuan oleh karena telah diakui sebagai pihak dalam perkara tersebut melalui pemeriksaan yang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim sehingga pencabutan tetap meminta persetujuan intervenient.
Apabila terdapat
perdamaian antara Penggugat dan Tergugat dalam perkara pokok, bagaimana dengan
perkara intervensinya?
Apabila terjadi seperti pertanyaan di atas maka langkah
apa yang sebaiknya diambil oleh Majelis Hakim. Apakah Majelis Hakim dapat
menganggap hal tersebut sebagai kabul sebagian sehingga dibuatkan acta van dading
atau Majelis Hakim dapat memberikan nasihat sebagaimana Pasal 132 HIR/156
RBg kepada para pihak agar perkara tersebut dicabut sehingga apabila nantinya intervenient
tetap merasa haknya dilanggar dapat mengajukan gugatan sendiri sehingga asas
sederhana, cepat, dan biaya ringan tetap berjalan. Namun juga menjadi
permasalahan apabila pihak Penggugat dan Tergugat tetap berkeinginan
mendapatkan suatu acta van dading sehingga menjadi sebuah kerancuan
terhadap posisi pihak intervenient sendiri dalam perkara tersebut, apakah
dianggap secara otomatis hilang atau dapat mengambil langkah progresif dengan
membuat acta van dading yang isinya juga memuat terkait pencabutan
perkara intervensi itu sendiri.
KESIMPULAN/PENUTUP
Penulis sendiri
berpendapat, bahwa untuk permasalahan nomor 1 setuju dengan pendapat pertama
yang mana oleh karena pada prinsip dasarnya bahwa intervensi tidak dapat
berdiri sendiri maka pihak intervenient tidak perlu dimintai persetujuan saat
pencabutan gugatan. Selain itu juga terhadap permasalahan nomor 1 dan 2, demi
terciptanya asas sederhana, cepat, dan biaya ringan serta terkait dengan upaya
hukum yang harus dilakukan oleh pihak intervenient karena nantinya apabila
intervensi dilanjutkan maka tidak akan dapat dilakukan upaya hukum banding, dikarenakan
perkara pokok telah selesai dengan adanya perdamaian. Sehingga lebih tepat
apabila diberikan nasihat kepada pihak untuk mencabut gugatan apabila penggugat
dan tergugat sudah berdamai.
Baca Juga: Kode Etik Hakim: Ibarat Perahu Di Tengah Badai
Dari beberapa permasalahan di atas, masih terdapat perbedaan pendapat diantara beberapa Hakim yang mana seharusnya hal ini dapat dijadikan satu pendapat yang sama sehingga tidak adanya perbedaan dalam mengambil keputusan dalam kasus posisi yang benar-benar sama. SK KMA 363/KMA/SK/XJJ/2022 hanya menyamakan presepsi terkait prosedural yang sudah tidak relevan lagi apabila melihat RV, akan tetapi tidak mengakomodir permasalahan teknis yudisial yang dijabarkan di atas, sehingga penulis berpendapat solusi atas permasalahan tersebut adalah dengan membentuk suatu Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai pedoman tersendiri terkait intervensi atau melalui rapat pleno kamar, sehingga dapat menjadi pedoman bagi Hakim tingkat pertama khususnya dan Pengadilan dibawah Mahkamah Agung untuk dapat memiliki satu presepsi tanpa adanya perbedaan pendapat yang menyebabkan adanya disparitas penanganan masalah teknis terkait intervensi. (EES, FAC, MCNB)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum