article | History Law | 2025-09-29 09:50:45
NULLA poena sine lege (tiada hukuman tanpa undang-undang) merupakan salah satu prinsip paling penting dalam hukum pidana. Sebagai bagian dari asas legalitas, prinsip ini melarang penerapan hukum secara retroaktif (berlaku surut), demi menjamin kepastian hukum dan melindungi individu dari kesewenang-wenangan. Tapi, hal itu pernah tidak berlaku di Jerman saat dipimpin Adolf Hitler. Bagaimana kisah lengkapnya?Pada sistem hukum Indonesia, larangan retroaktif termuat di Pasal 1 ayat (1) KUHP Nasional: “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”Dalam penelusuran DANDAPALA, Senin (29/9/2025), meski telah menjadi asas universal sejak abad ke-19, Jerman pernah menerobos ketentuan ini pasca insiden Kebakaran Reichstag (Reichstagsbrand). Pada Senin, 27 Februari 1933 sekitar pukul 21.00, terjadi peristiwa kebakaran di Reichstag—gedung parlemen di Berlin. Seorang komunis Belanda bernama Marinus van der Lubbe (24) ditangkap di TKP dan mengaku sebagai pelaku. Hingga hari ini, masih timbul perdebatan apakah ia memang bertindak sendiri atau dimanfaatkan oleh Nazi.Tepat keesokan harinya, Presiden Hindenburg atas desakan Kanselir Hitler menerbitkan Dekret Presiden Reich untuk Perlindungan Rakyat dan Negara (Verordnung des Reichspräsidenten zum Schutz von Volk und Staat), atau juga dikenal sebagai Dekret Kebakaran Reichstag (Reichstagsbrandverordnung). Dengan segera, pemerintah membatasi hak kebebasan hak berserikat dan berkumpul, kebebasan pers, serta hak kepemilikan. Pemerintah juga memiliki akses terhadap surat, pos, telegraf, dan komunikasi telepon, serta perintah penggeledahan dan penyitaan rumah di luar batas undang-undang.Selain berbagai pembatasan, Presiden juga memperberat beberapa hukuman dalam Strafgesetzbuch (KUHP Jerman). Sebelumnya, Pasal 81 (pengkhianatan), Pasal 229 (peracunan), Pasal 307 (pembakaran), Pasal 311 (ledakan), Pasal 312 (banjir), Pasal 315 (perusakan rel kereta api), dan Pasal 324 (membahayakan masyarakat umum dengan racun) diancam dengan hukuman penjara paling lama seumur hidup. Namun kini, ancaman terhadap kejahatan-kejahatan tersebut diperberat dengan pidana mati.Tak berhenti sampai di situ, Adolf Hitler mengesahkan UU tentang Penetapan dan Pelaksanaan Hukuman Mati (Gesetz über Verhängung und Vollzug der Todesstrafe) pada 29 Maret 1933. Secara eksplisit, peraturan ini menyebut dekret Presiden Reich yang terbit 28 Februari 1933 berlaku surut untuk tindakan yang terjadi antara 31 Januari hingga 28 Februari 1933. Artinya, ketentuan ini meliputi peristiwa Kebakaran Reichstag yang terjadi pada 27 Februari 1933.Karena regulasi sebelumnya dirancang retroaktif demi mengeksekusi Marinus van der Lubbe, undang-undang ini memiliki julukan sinis: Lex van der Lubbe. Padahal, Pasal 116 Konstitusi Weimar menyatakan suatu perbuatan hanya dapat dihukum jika sebelumnya telah ditetapkan oleh undang-undang. Dengan kata lain, rezim Nazi menerobos prinsip nulla poena sine lege supaya pelaku pembakaran Reichstag dapat dijatuhi pidana mati, sekaligus langkah awal bagi Hitler untuk menjalankan pemerintahan otoriternya. Setelah berbulan-bulan menjalani proses persidangan, van der Lubbe akhirnya dinyatakan bersalah dan berakhir di tiang guillotine pada 10 Januari 1934. Di tahun 1967, hukumannya sempat diubah menjadi delapan tahun penjara, sebelum dibatalkan sama sekali pada 1980. Namun, putusan ini segara menuai protes sehingga dianulir oleh Mahkamah Agung Jerman tiga tahun kemudian. Pada 6 Desember 2007, Jaksa Agung Monika Harms memberikan grasi anumerta kepada van der Lubbe dengan alasan hukum rezim Nazi saat itu telah “melanggar keadilan fundamental”.