Cari Berita

AI (artificial intelligence): Alat Bantu Dalam Pengambilan Putusan Hakim

Bayu A. Wicaksono - Dandapala Contributor 2025-03-24 08:30:36
Dok. Penulis

Pernahkah kita membayangkan menjadi aparatur peradilan pada tahun 1980an? tentunya semua tugas yudisial harian dilakukan secara manual, baik dari proses registrasi perkara, distribusi, persidangan, pembuatan putusan sampai pemberitahuan putusan. Saat itu mungkin mesin ketik masih dapat dihitung jumlahnya yang tersedia di pengadilan-pengadilan kita. 

Bandingkan dengan tugas yudisial kita saat ini sudah sangat lekat dengan teknologi dan sistem informasi, bahkan proses manual hanya sebagai backup & mitigasi jika terdapat error pada sistem informasi. Dalam jangka waktu ini pekerjaan teknis yudisial di pengadilan sudah berubah hampir 180 derajat. Perkembangan penggunaan teknologi informasi di pengadilan meningkat pesat semenjak  tahun 2019 sampai saat ini.

Terdapat 4 aplikasi utama saat ini terkait proses peradilan yang dipergunakan di lingkungan Mahkamah Agung (MA) dan peradilan dibawahnya seperti SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara), E-Court, E-Berpadu, dan Direktori Putusan. Selain itu terdapat puluhan aplikasi lain yang beragam bentuk dan penggunaannya. Disadari atau tidak semua aplikasi yang digunakan saat ini masih terbatas pada mempermudah proses mengadministrasikan perkara dan belum menyentuh pada proses pengambilan keputusan hakim.

Baca Juga: Keadilan di Era Digital Nurani di Tengah Kemajuan Teknologi

Ius est ars boni et aequi” hukum adalah seni menerapkan keadilan dan hal-hal yang baik. Adagium ini memberikan pandangan bagi kita bahwa salah satu tugas hakim dalam memutus perkara harus didasari atas “seni”, yang mana seni memerlukan rasa yang bersumber dari hati manusia. Saat ini hakim dituntut harus memiliki kemampuan seni untuk mengolah rasa dan teknologi sesuai perkembangan zaman secara bersamaan. 

Dalam praktik keseharian kita saat ini, hampir dapat dipastikan hakim mengandalkan referensi hukum dan ketentuan hukum yang didapatkan dari internet, baik yang dikeluarkan secara resmi oleh MA dalam Direktori Putusan, website, dll, maupun dari sumber-sumber lain yang tersedia secara bebas menggunakan peramban seperti “Google”, “Safari” dan yang mungkin lebih canggih lagi yang dilengkapi dengan AI (artificial intelligence) seperti Microsoft Copilot, ChatGPT, BingAI, dll.

Perkembangan teknologi yang pesat ini mungkin sekali lagi akan mengubah wajah peradilan kita 10 tahun kedepan yang menyasar kerja-kerja teknis yudisial seperti pengambilan putusan. Hal ini mungkin akan lebih cepat terjadi, mengingat Ketua MA saat itu Muhammad Syarifuddin menyampaikan dalam laporan tahunan MA tahun 2023 pada bulan Februari 2024 bahwa kedepannya MA mengembangkan teknologi AI dalam bentuk  Decision Support System (DSS) yang dapat memberikan informasi kepada hakim jika terdapat kemungkinan kesamaan antara satu perkara dengan lainnya untuk mengurangi disparitas putusan dan aplikasi ini rencananya akan diujicobakan pada bulan September 2024.

Perlu diakui kemampuan AI saat ini terus meningkat, pertimbangan etis, teknis, dan praktis tentang apakah AI dapat atau seharusnya mengambil alih atau membantu peran hakim di ruang sidang terus menjadi bahan perdebatan. Perkembangan AI dalam profesi hakim saat ini berkembang terkait dengan pemberian nasihat, membantu dalam analisis data hukum, pemilihan preseden/yurisprudensi, bahkan dalam menyimulasikan putusan pengadilan berdasarkan data historis. 

Dalam dekade terakhir ini beberapa negara telah mencoba mengintegrasikan AI ke dalam sistem peradilan mereka seperti:

  1. Aplikasi Correctional Offender Management Profiling for Alternative Sanctions (COMPAS) yang dikembangkan oleh Equivant, perusahaan teknologi yang bekerja sama dan digunakan oleh pengadilan negara bagian New York di Amerika Serikat. Aplikasi ini menganalisis penilaian yang terstandarisasi yang mencakup penilaian atas residivisme, riwayat kriminal, sikap batin dalam melakukan kejahatan, personalitas terdakwa, latar belakang keluarga, keterikatan sosial terdakwa, latar belakang penggunaan narkoba, dan kesehatan mental yang akan di proses dan menghasilkan analisis referensi bagi hakim untuk menentukan pemidanaan yang cocok diberikan kepada terdakwa. 

  2. Mahkamah Agung Brazil mengembangkan aplikasi “VICTOR” untuk menganalisis dan menyaring dokumen serta membantu dalam pengambilan keputusan hukum. VICTOR membantu dalam memilah kasus yang relevan untuk dipertimbangkan oleh hakim. Selain itu VICTOR juga membantu hakim dengan mengidentifikasi isu-isu hukum yang dikategorikan sebagai “General Repercussion” yaitu konsep yang digunakan MA Brazil dalam menentukan apakah suatu kasus memiliki dampak yang luas dan signifikan terhadap masyarakat yang melibatkan interpretasi prinsip hukum tertentu yang telah ditentukan. Aplikasi VIKTOR ini juga berhasil mengurangi jumlah perkara kasasi di MA Brazil dari 118.700 perkara pada tahun 2007 menjadi hanya 11.400 perkara pada tahun 2022.

Tujuan penggunaan aplikasi-aplikasi ini secara umum adalah untuk memodernisasi sistem adjudikasi dan pengembangan kemampuan membuat putusan oleh hakim. Dengan AI, pengambilan keputusan dapat didasarkan pada analisis data yang objektif dan konsisten. Selain itu memperkecil adanya disinformasi atas suatu ketentuan hukum atau putusan terdahulu serta referensi lainnya yang dapat memperkaya khasanah pertimbangan hakim dalam putusannya. 

Inovasi-inovasi ini menunjukkan bagaimana teknologi, khususnya AI, dapat diintegrasikan ke dalam struktur hukum tradisional untuk meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas layanan hukum. Namun tetap mengakomodasi nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki seorang hakim dalam mempertimbangkan putusan atas suatu pokok permasalahan karena pada akhirnya AI hanya dijadikan alat bantu dalam membuat suatu putusan yang mencerminkan nilai keadilan, kepastian dan kebermanfaatan. 

Terdapat kritik dan tantangan sistem AI untuk membantu pengambilan keputusan hakim dalam menghadapi tantangan besar dalam hal transparansi dan keandalannya. Salah satu isu utama adalah kurangnya penjelasan tentang bagaimana rekomendasi dihasilkan oleh algoritma AI. Menurut David Searls Direktur Project VRM Harvard University, algoritma sering kali bertindak sebagai "Black Box”, dengan membuat rekomendasi tanpa menunjukkan bagaimana keputusan tersebut diambil, AI tidak dibuat untuk dapat menjelaskan bagaimana ia menganalisis suatu data, yang dapat dilakukan hanyalah proses dengan memasukan “Input” yaitu data-sata yang menjadi indikator dan akan menghasilkan “Output” berupa rekomendasi tanpa memberikan alasan-alasan kerja yang sering kali dibutuhkan hakim untuk membuat putusannya. 

Hal ini menimbulkan keraguan tentang apakah keputusan yang dibantu oleh AI dapat diandalkan sepenuhnya, mengingat kurangnya transparansi dapat mempengaruhi kepercayaan publik akan suatu putusan hakim. Penggunaan AI dalam hukum tidak boleh mengurangi peran hakim sebagai "seniman" dalam menilai dan mengolah fakta-fakta kasus. Hakim harus menggabungkan intuisinya yang bertahun diasah dengan analisis AI untuk mencapai putusan yang baik, hakim kedepan perlu melatih kemampuan membaca hasil AI dan menerapkan penilaian moral serta pengetahuan hukum. 

Baca Juga: Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah

 Perubahan wajah peradilan kita adalah sebuah kepastian dan nampaknya perubahan itu akan menjadi lebih cepat, begitu pula dengan kerja yudisial didalamnya namun semua perubahan itu harus sejalan dengan nilai-nilai keadilan untuk memastikan bahwa keputusan yang dihasilkan adil, bermanfaat dan berkepastian. (FAC, YBB, BS)

*Calon Hakim Pengadilan Negeri Palangkaraya

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum