Cari Berita

Diklat SPPA Terpadu, Penyamaan Persepsi Peradilan Anak antar Penegak Hukum

Ria R. Dewanti - Dandapala Contributor 2025-09-27 17:00:26
Dok. Istimewa

Bogor- Ada yang berbeda dari penyelenggaraan Diklat Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Terpadu yang diselenggarakan oleh Badan Strajak Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia sejak Senin 15 September 2025 sampai dengan Jumat 26 September 2025. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya Diklat SPPA kali ini mengundang para peserta yang berasal dari berbagai instansi. 

Sesungguhnya banyak peran yang dilakukan dalam mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Di sana ada peran PK Bapas, Peksos, Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, Orang Tua/wali Anak, Penasihat Hukum, dan Hakim. 

Dengan adanya kesamaan persepsi antara aparat penegak hukum tentu akan mempermudah keberhasilan dalam menangani perkara Anak. Konvensi hak anak diakui di dunia internasional meliputi prinsip dasar konvensi hak anak seperti non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, dan menghargai pandangan anak. 

Baca Juga: Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak

Anak berhadapan dengan hukum atau biasa disingkat ABH terdiri dari anak berkonflik dengan hukum, anak sebagai saksi tindak pidana dan anak sebagai korban tindak pidana. Dari segi usia, anak berkonflik dengan hukum adalah anak yang berusia 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 

Sedangkan Anak sebagai saksi tindak pidana adalah anak belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang bisa memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di sidang pengadilan mengenai peristiwa yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri. Kemudian anak sebagai korban tindak pidana merupakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental maupun kerugian ekonomi dari adanya tindak pidana. 

Diklat SPPA Terpadu ini menjadi sangat penting karena memadukan tidak hanya peran aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana anak, namun juga mengenai tata cara pembayaran restitusi, penerapan hukum anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 2023, serta penerapan Restorative Justice dan Diversi dalam perkara anak. 

Pada akhirnya Hakim diharapkan dapat berperan adil, arif dan bijaksana dalam mengadili perkara anak. Bagaimana cara memeriksa seorang anak yang masih berumur 5 tahun yang menjadi saksi korban dalam suatu tindak pidana, dan anak saksi ini tidak mau berbicara di persidangan. Ada teknik interview yang bisa dipelajari dan diterapkan dalam persidangan. 

Penting pula ketaatan aparat penegak hukum di dalam persidangan untuk tidak mengenakan atribut. Serta memenuhi hak-hak anak dalam setiap tingkat pemeriksaan baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 

Pada pelatihan ini dijelaskan pula mengenai peran Bapas yang salah satunya menyusun penelitian masyarakat terhadap anak berkonflik dengan hukum serta peran pekerja sosial dalam mendampingi anak sebagai saksi dan anak sebagai korban tindak pidana. Putusan hakim yang tidak mempertimbangkan penelitian masyarakat atau litmas adalah batal demi hukum. 

Baca Juga: Meneroka Konfigurasi Rechterlijk Pardon dalam UU SPPA

Pada pelatihan ini dijelaskan pula peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan di setiap tingkat pemeriksaan baik di penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan salah satunya dalam hal fasilitasi restitusi dan pemenuhan hak prosedural. 

Para peserta yang terdiri dari aparat penegak hukum dari berbagai instansi melakukan analisa kasus tindak pidana anak guna memberikan kepentingan terbaik bagi anak. Diskusi dilakukan dengan cara presentasi dari pemateri, brainstorming, tanya jawab serta mengerjakan pop quiz. (IKAW/FAC)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI