”Menimbang, bahwa oleh karena Anak dijatuhi pidana maka haruslah
dibebani pula untuk membayar biaya perkara”, sepintas bunyi pertimbangan hukum terkait pembebanan biaya perkara,
yang termuat dalam template penulisan putusan pidana anak sebagaimana SK KMA
Nomor : 359/KMA/SK/XII/2022.
Terkait pembebanan biaya perkara terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum, UU SPPA tidak mengatur secara khusus sehingga landasan
hukumnya masih berpedoman kepada ketentuan KUHAP. KUHAP mengatur biaya perkara
dibebankan kepada siapapun yang diputus pidana, kecuali dalam hal putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum, atau Terdakwa telah mengajukan
permohonan pembebasan biaya perkara yang telah disetujui oleh Pengadilan, maka
biaya perkaranya dibebankan kepada negara.
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan pembebanan
biaya perkara akan memunculkan suatu kewajiban bagi orang yang dihukum untuk membayar
sejumlah uang yang timbul sebagai akibat dari proses perkara yang sedang
dijalaninya, tidak terkecuali terhadap Anak.
Baca Juga: Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak
Ketentuan ini dirasa bertolak belakang dengan beberapa
ketentuan lain yang berkaitan dengan anak. Contoh pada ketentuan penjatuhan
pidana denda terhadap anak, meskipun sama-sama menimbulkan kewajiban untuk
membayar sejumlah uang, UU SPPA mengatur pidana denda tersebut diganti dengan
pelatihan kerja, apabila dalam hukum materiilnya anak diancam pidana kumulatif
penjara dan denda. Selain itu, pidana denda juga tidak termasuk sebagai salah
satu jenis pemidanaan yang diatur dalam UU SPPA.
Ketentuan lainnya dapat dilihat pada aturan mengenai
pembebanan restitusi terhadap anak sebagaimana diatur dalam PP Nomor 43 Tahun
2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana jo. Perma
Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian
Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana, yang menyebutkan dalam
hal pelaku tindak pidana adalah anak maka Termohon adalah orang tua/Wali anak,
yang juga berkewajiban untuk melaksanakan pemberian restitusi kepada korban.
Beberapa ketentuan tersebut mengalihkan
tanggung jawab anak untuk dibebani hukuman maupun kewajiban berupa pembayaran sejumlah
uang, baik dengan melimpahkan pembebanannya kepada orang tua/Wali ataupun
diganti dengan jenis pemidanaan lainnya.
Menurut Penulis alasan yang melandasinya dikarenakan
anak dianggap belum cakap untuk menafkahi dirinya sendiri dan berhak untuk dilindungi
hak-haknya, termasuk tumbuh kembangnya. Bila dihubungkan dengan konteks pembebanan
biaya perkara terhadap anak, timbul pertanyaan apakah Anak yang berkonflik
dengan hukum patut dibebankan kewajiban membayar biaya perkara?
Dasar Hukum Pembebanan Biaya Perkara
Sebelum berlakunya KUHAP, ketentuan mengenai biaya
perkara dalam Hukum Acara Pidana diatur dalam Pasal 378 HIR. Pasal ini
menyebutkan tiap orang yang dikenakan hukuman, harus pula dihukum membayar
biaya perkara.
Hanya jika dibebaskan sama sekali atau dibebaskan
dari segala hukuman, maka biaya perkara itu ditanggung oleh negara. Setelah berlakunya
KUHAP, ketentuan tersebut dicabut dan diganti dengan Pasal 222 KUHAP yang mengatur
bahwa siapapun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam
hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara
dibebankan pada negara.
Pengecualian Pembebanan Biaya Perkara
Pengecualian terhadap pembebanan biaya perkara diatur
pada Pasal 222 ayat (2) KUHAP, yang menyebutkan apabila Terdakwa sebelumnya
telah mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara
berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, maka biaya perkara
akan dibebankan pada negara.
Pengecualian lain juga diatur dalam SEMA
Nomor 1 tahun 2017, pada rumusan kamar pidana yang menyebutkan meskipun bukan
merupakan jenis pidana yang dimaksud dalam Pasal 10 KUHP, pembebanan biaya
perkara haruslah didasari atas rasa peri kemanusiaan dan keadilan yang
bermartabat. Rumusan ini kemudian mendasari diambil alihnya pembebanan biaya
perkara kepada negara terhadap Terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup.
Pembebanan Biaya Perkara terhadap Anak
Telah disinggung sebelumnya bahwa belum terdapat
aturan di dalam UU SPPA yang mengatur secara khusus terkait pembebanan biaya
perkara anak, sehingga untuk penjatuhannya masih berpedoman kepada Pasal 222
KUHAP.
Pada prinsipnya, UU Perlindungan Anak mengatur
bahwa setiap anak berhak untuk dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya. Undang-undang
ini juga mengatur bahwa orang tua mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk
mengasuh, memelihara, dan melindungi anak, serta menjamin tumbuh kembangnya.
Hal mana sebelumnya telah diatur dalam UU
Kesejahteraan Anak yang menyebutkan orang tua merupakan pihak yang pertama kali
bertanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan anak baik secara rohani,
jasmani maupun sosial.
Didasarkan pada berbagai ketentuan tersebut dapat
disimpulkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh
anaknya, termasuk membiayai kebutuhan hidupnya sampai nantinya anak tersebut
mencapai usia dewasa.
Terkait konteks ini, apakah orang tua/Wali juga
berkewajiban untuk menanggung pembebanan atas biaya perkara anaknya?
Dalam prespektif UU Perlindungan Anak dan UU
Kesejahteraan Anak, anak dianggap sebagai individu yang belum mampu untuk
membiayai hidupnya sendiri dan masih memerlukan pengasuhan orang tua/Walinya.
Hal ini yang kemudian mendasari adanya aturan atau
kebijakan yang sedapat mungkin menghindarkan anak dari hukuman maupun kewajiban
bersifat materiil. Salah satunya UU SPPA, pada ketentuan pendahulunya yaitu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, khususnya Pasal 23
ayat (2) mencantumkan pidana denda sebagai jenis pidana pokok yang dapat
dijatuhkan kepada anak. Ketentuan ini kemudian diganti dengan Pasal 71 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 (UU SPPA), yang justru menghilangkan jenis
pidana denda bagi anak.
Begitupun dalam hal, anak diancam pidana yang
bersifat kumulatif berupa penjara dan denda, Pasal 71 ayat (3) UU SPPA mengatur
pidana denda tersebut diganti dengan pelatihan kerja. Selain UU SPPA, ketentuan
lain yang juga mengalihkan kewajiban anak atas pembayaran sejumlah uang
terdapat dalam ketentuan mengenai restitusi yang dimohonkan terhadap pelaku
anak.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2) PP Nomor
43 Tahun 2017 jo Pasal 1 angka 6 Perma Nomor 1 Tahun 2022, yang justru
mengalihkannya tanggungjawab pelaksanaan pemberian restitusi dari anak kepada
orang tua/Walinya.
Mengacu kepada semangat yang terkandung dalam UU
Perlindungan Anak dan UU Kesejahteraan Anak tersebut, maka selayaknya kewajiban
pembayaran biaya perkara tidak dibebankan terhadap anak, melainkan sebaiknya
dialihkan kepada orang tua/Wali sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk
mengasuh dan membiayai anak.
Baca Juga: Arsip Pengadilan 1932 : Cikal Bakal Lahirnya Fidusia Di Indonesia
Hal mana selaras dengan asas yang terkandung dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak yang lebih mengutamakan kepentingan terbaik bagi
anak, serta kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya. Namun, tentunya terkait
pembebanan biaya perkara ini, perlu untuk diatur secara khusus di dalam ketentuan
UU SPPA maupun ketentuan lainnya, sehingga pembebanannya tidak semata-mata hanya
didasarkan kepada ketentuan Pasal 222 KUHAP. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI