Cari Berita

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di Persidangan

Raja Bonar Wansi Siregar -Hakim PN Cianjur - Dandapala Contributor 2025-11-16 07:00:08
Dok. Penulis.

Anak merupakan anugerah Tuhan yang harus mendapatkan perlindungan sejak dalam kandungan hingga menjadi dewasa. Dalam sejarahnya, perlindungan terhadap anak (legal protection on child) sudah sejak lama dikemukakan. Gagasan mengenai hak anak diawali setelah berakhirnya Perang Dunia I.

Sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat terjadinya peperangan terutama yang dialami oleh perempuan dan anak-anak, seorang aktivis perempuan bernama Eglantyne Jeb mengembangkan 10 pernyataan hak-hak anak pada 1923 diadopsi oleh Save the Children Fund Internasional Union. Kemudian setelah berakhirnya perang dunia II, pada 10 Desember 1948 Majelis Umum PBB mengadopsi deklarasi hak asasi manusia, yang akhirnya 10 deklarasi pernyataan hak anak tersebut diadopsi dan dideklarasikan oleh PBB yaitu dalam konvensi hak anak pada 20 November 1989.

Berkaitan dengan asas kepentingan terbaik bagi anak, dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintahan atau badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.

Baca Juga: Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia

Hal ini disebabkan karena seorang anak belum memiliki kematangan baik secara fisik maupun mental, sehingga membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran.

Konvensi Hak Anak ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia pada 25  Agustus 1990 melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Tindak lanjut dari ratifikasi tersebut, pada 2002 Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Undang-Undang ini merupakan hukum materil (substantive law) yang meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas non diskriminasi, asas kepentingan yang terbaik bagi anak (best interest of the child), asas hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan (the right to life, survival and development) dan asas penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child).

Dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut telah mengalami 2 kali perubahan, yang terakhir dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.

Dari segi hukum formil (procedural law), negara kita telah mengundangkan Undang-Undang Nomor Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang kemudian telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Adanya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tersebut merupakan tonggak baru yang dilakukan Pemerintah dalam memberikan perlindungan secara komprehensif kepada anak yang berhadapan dengan hukum (child in conflict with the law). 

Berdasarkan pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 menyebutkan yang dimaksud dengan anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Adapun anak yang menjadi korban tindak pidana tersebut disebut anak korban. Selanjutnya yang dimaksud dengan anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Seperti yang kita ketahui berbagai macam kasus yang dialami oleh anak korban yang disidangkan di pengadilan, misalnya karena korban kekerasan fisik, kekerasan seksual maupun penelantaran anak. Dari berbagai macam kasus tersebut, anak yang menjadi korban kekerasan seksual (child victims of sexual violence) diposisikan sebagai kaum yang sangat rentan yang sangat membutuhkan perlindungan hukum selama menjalani pemeriksaan di persidangan. Tentu ini wajar dikarenakan anak korban dengan usianya yang sangat muda, masih dalam proses pertumbuhan dasar telah menjadi korban dari perbuatan yang sangat melecehkan dirinya. Adanya perlindungan terhadap anak korban tersebut, diharapkan akan melindungi pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak korban baik dalam hal akademis maupun dalam pertumbuhan sosial anak.

Dalam hukum positif yang berlaku di negara kita saat ini (ius constitutum), berbagai bentuk perlindungan hukum telah diberikan baik kepada anak korban, anak maupun anak saksi. Berikut berbagai perlindungan hukum kepada anak korban kekerasan seksual selama memberikan keterangan di persidangan yang dirangkum dari beberapa peraturan yaitu:

No.

Bentuk Perlindungan

Dasar Pengaturan

1

Sidang dinyatakan tertutup untuk umum terhadap perkara kesusilaan, termasuk yang menjadi korban adalah anak  

Pasal 153 ayat (3) KUHAP

2

Dalam menangani perkara Anak Korban, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara

Pasal 18 UU SPPA

3

Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak Korban tidak memakai toga atau atribut kedinasan

Pasal 22 UU SPPA

4

Identitas Anak Korban wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.

Pasal 199 ayat (1) UU SPPA

5

Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial

Pasal 23 ayat (2) UU SPPA

6

Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban, Penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan

Pasal 27 ayat (3) UU SPPA

7

Dalam hal Anak Korban tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, Hakim dapat memerintahkan Anak Korban didengar keterangannya: di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik atau melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audio visual

Pasal 58 ayat (3) UU SPPA

8

Perlindungan Khusus bagi Anak korban kejahatan seksual dilakukan melalui upaya: a. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; b. rehabilitasi sosial; c. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pasal 69A UU Perlindungan Anak

Selain diatur dalam Undang-Undang, berbagai bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual juga dapat ditemukan dalam peraturan lainnya yaitu melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Perma No. 3 tahun 2017 tersebut, tidak mengatur secara khusus tentang pedoman mengadili perkara anak korban kekerasan seksual, namun norma yang terdapat dalam aturan tersebut dapat diterapkan dalam menangani perkara anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Berikut perlindungan hukum yang diatur dalam Perma tersebut:

No.

Bentuk Perlindungan

Dasar Pengaturan

1

Dalam memeriksa anak korban kekerasan seksual, hakim tidak boleh: menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi anak korban  

Pasal 15 Perma No. 3 tahun 2017

2

Selama persidangan, hakim agar mencegah dan/atau menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum dan/ atau kuasa hukum yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi dan/atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas anak korban

Pasal 7 Perma No. 3 tahun 2017

Pengaturan perlindungan hukum anak korban kekerasan seksual yang diperiksa di persidangan saat ini, masih tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan baik dalam bentuk undang-undang maupun Perma, dan belum diatur tersendiri. Hal ini tentu akan mengakibatkan adanya pengaturan yang tidak terperinci, tumpang tindih bahkan bertentangan satu dengan lainnya.

Seperti halnya pengaturan tentang adanya pendampingan bagi anak korban dalam setiap tingkat pemeriksaan. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak sifatnya wajib sedangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang khusus mengatur terhadap anak korban kejahatan seksual sifatnya tidak wajib. Tentu ini akan menimbulkan standar ganda dalam penerapannya.

Selain itu dalam Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, pemberlakuannya dapat diterapkan terhadap anak korban perempuan yang berhadapan dengan hukum, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah terhadap anak korban laki-laki yang berhadapan dengan hukum, pemberlakuan Perma tersebut dapat diterapkan? Tentu ini akan menimbulkan berbagai persepsi dalam penerapannya.

Diharapkan ke depannya Pemerintah ataupun Mahkamah Agung dapat mengeluarkan peraturan yang secara khusus mengatur tentang pedoman bagi aparat penegak hukum atau hakim dalam memeriksa perkara anak korban kekerasan seksual dalam setiap tingkatan pemeriksaannya. Mengingat eksistensi anak korban kekerasan seksual memiliki tingkat kerentanan yang berbeda baik dengan anak yang berkonflik dengan hukum anak yang menjadi saksi tindak pidana maupun anak yang menjadi korban tindak pidana lainnya.

Baca Juga: Perlindungan Korban Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga Atas Viktimisasi Berganda

 

Daftar Pustaka:

  1. Indriastuti Yustiningsih Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Indonesia “Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual Dari Reviktimisasi Dalam Sistem Peradilan Pidana”.
  2. Supriyadi W. Eddyono, “Pengantar Konvensi Hak Anak”, http://lama.elsam.or.id/downloads/1262854039_20._Konvensi_Hak_Anak.pdf, diakses tanggal 5 Juli 2019.
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
  4. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
  5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
  6. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…