Cari Berita

Dissenting Opinion Sebagai Sarana Penyeimbang, Akuntabilitas dan Transparasi Hakim

Armawan- Hakim PN Bangkalan - Dandapala Contributor 2025-05-11 08:00:42
Armawan

Di tengah budaya konsensus yang selama ini terefleksi dari putusan-putusan pengadilan, serta di tengah banyak tuduhan yang dialamatkan pada proses peradilan yang kerap dianggap kurangtransparan dan akuntabel, hakim juga mempunyai “hak untuk berbeda pendapat yang dimuat dalam putusan” yang dapat digunakan untuk menyatakan pendapat hukumnya atas suatu perkara baik berupa perbedaan pendapat (dissenting opinion) maupun alasan berbeda (concuring opinion) dalam penjatuhan putusan.

Dissenting/concuring opinion merupakan pendapat miniritas yang dimuat dalam putusan pengadilan. Hak Dissenting/concuring opinion bagi pendapat minoritas hakim diatur dalam Pasal 14 UU No.  48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sayangnya selama ini hak dissenting/concuring opinion, kurang membudaya dalam praktik peradilan Indonesia sampai dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 yang kemudian membudayakan praktik dissenting/concuring bagi pendapat minoritas hakim, padahal praktik dissenting opinion (pendapat berbeda) selain dapat menjadi salah satu bentuk akuntabilitas dan transparansi juga bisa menjadi penyeimbang dan memperkaya dinamika pembangunan hukum nasional melalui putusan-putusan pengadilan yang berkualitas.

Baca Juga: Menilik Perbedaan Pendapat Hakim (Terlupakan) pada RUU KUHAP

Sejarah Dissenting Opinion

Andrew Lynch (Palguna 2020), mengungkapkan bahwa, praktik dissenting opinion diperkenalkan pada pengadilan di Inggis pada Abad ke-16 kamudian berkembang di negara-negara cammon law lainnya. Berbanding terbalik dengan praktik di negara-negara cammon law, John Merryman mengemukakan bahwa di negara-negara civil law lebih cenderung melarang adanya perbedaan pendapat yang dimuat dalam putusan.

Di Indonesia yang mempunyai tradisi civil law dengan sedikit corak cammon law, baru pertama kali mempraktikan dissenting opinion melalui putusan nomor 71/Pailiti/2000/PN.Niaga.JKT.PST, di mana hakim ad-hoc Pengadilan Niaga Eliyana Tanzah, menyampaikan pendapat perbeda, serta diikuti oleh beberapa putusan niaga lainnya yang juga memuat dissenting opinion, meskipun demikian namun praktik dissenting masih belum membudaya. Baru setelah berdirinya Mahkamah Konstitusi RI pada tahun 2003, praktik dissenting opinion secara resmi diterapkan di Mahkamah Konstitusi dan kemudian membudaya hingga sekarang.

Perlunya Penguatan Lembaga Dissenting Opinion

Penguatan lembaga dissenting opinion adalah keniscayaan, bukan karena keinginan untuk terlihat berbeda, tetapi karena kebutuhan untuk memperkuat integritas peradilan. Beberapa alasan perlunya penguatan lembega dissenting opinion sebagai berikut:

1.   Alasan Yuridis

Pasal 14 ayat (4) UU No.  48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebaagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung. Ketentuan Pasal ayat (4) memberi pesan bahwa Mahkamah Agung bisa mengatur lebih lanjut sidang persmusyawaratan termasuk mengatur pula ketentuan mengenai disseting opinion yang selama ini belum seragam pemahaman dan penerapannya.

2.   Bentuk Transparansi Dan Akuntabilitas Publik Hakim

Seperti dikemudkakan oleh Jimly Asshiddiqie (2006) bahwa dissenting opinion merupakan wujud dari prinsip keterbukaan dan akuntabilitas peradilan. Ini menunjukkan bahwa musyawarah putusan tidak selalu bulat, tetapi melalui proses dialektika yang sehat dan proresional, sehingga pendapat hakim minoritas dimuat dalam putusan selain sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas.

3.   Bentuk Penyeimbang dan pelindung

Di dalam perkara-perkara yang penuh kontroversi dissenting opinion dapat mempunyai fungsi pengimbang putusan dan perlindungan bagi hakim. Fungsi penyeimbang yang dimaksud di sini adalah penyeimbang argumen artinya pendapat mayoritas yang menjadi dasar putusan akhir haruslah lebih kuat dari pendapat minoritas tidak semata-mata karena agregat tetapi karena kedalaman pertimbangan putusan. Selain itu juga dissenting opinion bisa menjadi pelindung bagi hakim yang menolak intervensi dari pihak manapun. Artinya hakim dengan pendapat minoritas tidak akan diasosiasikan dengan pendapat mayoritas.

Tantangan Penguatan Lembaga Dissenting Opinion

1.   Budaya Konsensus Birokrasi

Mewarisi tradisi civil law mengakibatkan peradilan di bawah Mahkamah Agung tidak terlalu kuat dalam tradisi dissenting opinion, karena tradisi civil law lebih mengedepankan tradisi konsensus. Belum lagi lagi dengan masih adanya label junior dan senior, hakim lama dan hakim baru, kadang juga melemahkan disalah satu pihak, karena tidak semua hakim senang dengan adanya dissenting opinion serta secara psikologis tidak pula semua hakim siap untuk menyatakan dissenting opinion.

2.   Potensi Pembelahan

Dissenting opinion adalah baraang mewah bagi profesional tapi ia juga bisa mengakibatkan pembelahan apabila penerapaannya tidak didasarkan pada profesionalisme dan itikad baik. Dissenting opinion akan memicu pembelahan manakalah digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti digunakan untuk menyerang hakim dengan pendapat mayoritas, kepentingan untuk menyelematkan diri sendiri, atau mencari popularitas dari dissenting opinion.

3.   Melemahkan Legitimasi dan Impresifitas Putusan

Penentuan keputusan secara agregatif (2:1) akan menimbulkan kesan bahwa putusan itu lemah dari segi ororitas pendapat. Dapat dibandingkan bila putusan itu diambil dengan suara bulat (3:0), maka secara otoritas pendapat lebih kuat dan tidak akan menimbulkan banyak spekulasi.

Penutup

Dissenting opinion adalah hak dan merupakan bentuk penghormatan pada pendapat hakim minoritas (minority right). Dissenting opinion juga merupakan refleksi demokratis dalam proses peradilan. Di tengah keraguan (doub) pada pendapat hakim mayoritas, hakim minoritas bisa memilih dissenting opinion untuk menyatakan pendapatnya atas suatu perkara.

Baca Juga: Keadilan di Era Digital Nurani di Tengah Kemajuan Teknologi

Dissenting opinion juga merupakan cermin dari kompleksitas hukum dan keberanian hakim untuk berpikir kritis, oleh karena itu dengan dukungan pengaturan dan pemahaman yang baik sebagaimana amanat Pasal 14 ayat (4) UU No.  48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dissenting opinion bisa menjadi salah satu pilar peradilan yang transparansi dan akuntabel. (LDR)


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum